
Aku ingin
memujamu. Menikmati setiap nada suaramu yang menggema di setiap sudut
telingaku. Aku ingin membanggakanmu. Merasakan tiap degupan malu pada detak
dijantungku setiap aku menatap matamu. Aku ingin memilikimu. Melengkapi kekosongan
ragu yang tanpa kau sadari menyebabkanmu hampa. Aku ingin menemanimu. Mengusir
setiap kemauan sesat yang merayapi hati. Aku
menyukaimu. Kau tahu?
“Za,” panggiilnya saat aku berusaha tenggelam dalam pesona memikat darinya. Aku
tersentak. Gugup. Aku sibuk mencari-cari buku diatas mejaku agar aku bias
pura-pura tak ketahuan memandanginya. Wajahku menghangat saat tak kutemukan
sebuah bukupun diatas meja. Aku mengigit bibir bawah dengan panik. “Kau ketahuan sedang memandangiku
lagi,” ucapnya lembut. Aku tersenyum getir sambil memandang wajah tenang yang
memukau itu.
“Ma-maaf, “ kataku lirih. Aku segera
mengeluarkan buku dari dalam tas dan menaruhnya diatas meja,”Bisa diteruskan?” pintaku sedikit mengiba. Tidak enak juga apabila dia pulang karena aku sudah
kesekian kalinya melamun di depan matanya.
Dia menelengkan kepala,” Kau sudah mengatakan
itu 10 kali dan pada akhirnya aku selalu menemukanmu tengah melamun memandangku.”
Dia tertawa renyah. Tubuhku melemas seketika melihat senyuman dan tawa yang meluluhkan
jiwa itu. Namun, aku segera tersadar kembali karena tak ingin terlihat bodoh
lagi dimatanya.
“Bapak masih mau mengajari saya, kan ?” tanyaku
ragu.
“Ngh ?” Dia berhenti tertawa sesaat setelah
mendengar pertanyaanku, lalu memandangku dengan tatapan aneh. “Tentu saja, Seza … Bapak dibayar untuk memberikanmu
tambahan pelajaran..” Dia mengalihkan pandangannya ke atas meja sesaat, ”Tapi
jika kau ingin berhenti, itu tidak masalah,” lanjutnya kemudian. Aku segera panic
mendengar penuturan Pak Ren barusan.
“Tidak, Pak! Saya tidak ingin berhenti!”
“Haha.” Dia tertawa lagi. Aku bingung kenapa
Pak Ren sering sekali tertawa. Aku mengerutkan kening, ”Kalau begitu, kenapa kau
keluarkan buku bahasa Inggris? bukankah Bapak dibayar untuk mengajarimu
matematika?” tanya Pak Ren disela tawanya. Aku tersentak kaget dan segera
mengalihkan pandanganku keatas meja, tepatnya pada buku yang terletak
diatasnya. Persis didepanku. Aku menepuk dahi segera setelah aku menyadari
letak kesalahanku. Ah, bodohnya aku.
***
“Aku tau kau guruku dan selamanya kita tak
mungkin bersama. Status kita terlalu jauh mungkin bagi kebanyakan orang,
statusku sebagai seorang mahasiswa sebuah universitas negeri sedangkan kau
adalah guru privat yang cerdas dan penuh dengan kharisma yang luar biasa. Tapi,
aku benar-benar tak bisa berhenti memikirkanmu. Setiap malam aku tak bisa tidur
tanpa sedetikpun mengusir sosokmu dari ingatanku. Kharismamu benar-benar bisa
membuatku berdiri kaku dan mati kutu, apalagi tatapanmu sanggup mengunci
kendali tubuhku.” Aku meneguk ludah sesaat,”Aku tidak tau apa yang sedang
terjadi padaku, setiap waktu, aku menunggu kedatanganmu, dan setiap waktu pula
aku selalu tak bisa melawan daya pesonamu dari mataku.
“Aku ... Aku, aku sadar aku menyukaimu saat
perlahan-lahan rasa rindu mulai menggerayangi syaraf di hatiku, mengingatmu
membuatku selalu tersenyum tanpa sebab dan membuat semua itu mengambil alih
kesadaranku sendiri, lalu memenuhiku dengan segalanya tentang dirimu … hanya
sosokmu.” Aku menunduk. Tak sanggup memandang matanya. Jantungku berdegup tanpa
tujuan yang pasti, yang jelas jantungku berdegup sangat cepat. Menjadikannya
debaran paling hebat yang pernah kurasakan seumur hidupku.
Hening. Dia tak menjawab ‘pernyataan’ cintaku
barusan. Sedangkan aku sendiri tak mampu menyembunyikan salah tingkahku
dihadapannya. Sungguh. Aku tak tau apa yang harus kulakukan saat ini,
menunggunyakah ? atau menganggap diamnya sebagai ‘pernyataan’ yang sama?
“Maaf.” Akhirnya suara yang selalu kurindukan
itu memecah keheningan diantara kami. Aku mendongak, mencoba melihatnya. Dia sedang
berdiri membelakangiku, dengan punggung yang tegap itu. Meski begitu, sepatah
kata yang baru saja diucapkannya itu mampu mematahkan semangat begitu saja. Aku
seolah tengah terjatuh ke jurang yang sangat dalam dan gelap. Sakit. Debaran
itu semakin menjadi-jadi sekarang. Aku mengigit bibir untuk mengenyahkan rasa
nyeri di ulu hatiku dan menghentikan segera air mata yang meronta keluar dari
pelupuk mataku.
Aku menatapnya tak percaya. Hanya itu yang
diucapkan olehnya, tak ada kata yang lain lagi. Itukah jawabannya ? hanya kata ’maaf’
saja ? aku terus mencoba membentengi mataku dengan menggigit bibir, bahkan kali
ini lebih keras lagi. Perlahan, kulihat dia berjalan pergi meninggalkanku tanpa
sekalipun menoleh kearahku atau hanya sekedar memelukku untuk menyatakan
permintaan maafnya. Dia juga tak repot berkata sampai jumpa atau yang
lain. Setidaknya itulah yang kuharapkan
darinya untuk paling tidak penghibur buatku.
Dia jahat ataukah aku yang terlalu bodoh dengan
mengharapkannya melakukan hal-hal yang aku inginkan termasuk menerima
pernyataan cintaku ? kurasa jawabanya adalah yang terakhir. Aku terlalu bodoh. Dan
hujanpun turun rintik-rintik, semakin lama, butiran kecil itu berubah menjadi
butiran air yang besar hingga membasahi seluruh taman ini, semuanya. Termasuk
hatiku yang kurasa telah hancur berkeping-keping menjadi seonggok debu. Aku
menangis.
***
Aku memandang sosoknya lagi setelah selama
sebulan ia telah mundur dari pekerjaanya sebagai guru privatku. Dan selama itu
pula aku sudah tak pernah bertemu sosoknya lagi. Padahal, sosok inilah yang
paling ingin kuhapus dari memoriku tapi, mengapa saat usahaku hamper berhasil,
dia kembali lagi? Namun, aku segera sadar jika tujuannya dating kemari bukanlah
untuk kembali ataupun untuk meminta maaf padaku karena kejadian di taman
sebulan lalu. Dia membawa sepucuk surat berwarna coklat dengan hiasan klasik
disekelilingnya.
“Apa-” kata-kataku menggantung. Tak sanggup
rasanya aku meneruskan kata-kataku setelah ia menolakku sebulan lalu. Jangankan
hanya mengucapkan beberapa kata padanya, memandangnya saja sudah membuatku
seperti ingin bunuh diri.
“Surat undangan …” Dia tersenyum dengan senyum
yang tetap seperti dulu. Manis dan penuh pesona. Ah, aku segera mengusir
lamunan yang dulu setiap hari kulakukan tiapkali aku bersamanya. Sudah cukup! Aku
tak mau lagi terjebak dalam imajinasuku untuk kesekian kalinya. Aku tahu ada
sedikit getaran aneh pada nada suaranya,”Surat undangan pernikahanku,” lanjutnya.
Aku terkejut. Darahku berdesir dengan cepat dan jantungku tak henti-hentinya menghalau beban yang saling berhimpit disetiap urat nadiku. Kinerja tubuhku seakan sedang berhenti bekerja dalam beberapa detik terakhir setelah kata-katanya menyihirku. Buntu. Aku tak bias mencerna kata-katanya dengan baik.
Aku terkejut. Darahku berdesir dengan cepat dan jantungku tak henti-hentinya menghalau beban yang saling berhimpit disetiap urat nadiku. Kinerja tubuhku seakan sedang berhenti bekerja dalam beberapa detik terakhir setelah kata-katanya menyihirku. Buntu. Aku tak bias mencerna kata-katanya dengan baik.
Aku hanya diam terpaku memandang sosok yang
selalu memenuhi kalbuku dengan kerinduan yang tak berkeputusan ini. Berhentilah.
Aku tak tau apa yang bisa kuperbuat saat ini. Sakit dan nyeri lagi-lagi
mengusik kenyamanan hatiku. Tak kusangkan ini semua akan terjadi padaku. Tak
pernsh terlintas sejenakpun dalam benakku bahwa dia akan mengantarkan surat
seperti ini kerumahku. Untukku. Aku meremas erat genggaman pintu rumahku yang
sedari tadi tak kulepaskan.
Aku tersenyum getir. Mencoba menyembunyikan
kesedihan dan kekecewaanku padanya.”Selamat,” ucapku
dengan sedih walaupun wajahku kubuat seceria dan sebahagia mungkin, ”Selamat
atas pernikahan bapak, semoga bahagia,” lanjutku sambil menerima surat dari
tangannya. Dia tersenyum lagi.
“Terima kasih.” Dia berbalik setelah
mengatakannya, melangkah lagi seperti dulu. Hanya punggung tegap itu saja yang
selalu kupandang tiap kali dia berhasil menghancurkan hatiku. Dia. Yang selalu
memunggungiku saat aku benar-benar telah merasa sangat bodoh karena telah
mengharapkannya kembali. Akan bersamaku. Yang ternyata hanya khayalanku saja.
Kami tak akan pernah bisa bersama seperti yang pernah kuucapkan dulu padanya. Aku
mahasiswa dan dia guru privat. Ini tidak adil.
“Selamat tinggal,” kataku lirih, air mata
perlahan kembali membasahi pipiku,”Pak Ren.”
***
Tak pernah lagi aku melihat sosoknya setelah
itu, aku juga tak dating pada pesta pernikahannya. Sudah enam bulan, sama sekali
tak terasa. Kenapa aku tiba-tiba teringat lagi padanya? padahal sekarang aku
telah bersama Rio, pacarku yang sangat baik dan selalu memperhatikanku. Sudah enam bulan pula aku bersamanya, tepat setelah Pak Ren menghancurkan hatiku. Namun,
aku benar-benar tak kuasa melupakan wajah, bahkan suara Pak Ren dari telingaku.
Rio. Kebetulan sekali namanya berinisial sama
dengan Pak Ren, jumlah huruf penyusunnya pun sama. Kebetulan yang indah sekali.
Rio dan Ren. Aku tersenyum. Membayangkan sifat mereka yang juga hamper mirip. Tegas,
kharismatik,lugu, dan tak pernah membosankan, aku menemukan semua kesamaan itu
baru-baru ini. Kesamaan yang sebelumnya tak pernah kusadari. Rio seperti
malaikat bagiku, dia dating dalam kehidupanku dengan tiba-tiba dan tanpa kuduga
pula dia membuatku melupakan kesedihanku pada Pak Ren sedikit demi sedikit
dengan keberadaanya disisiku.
“Za …” Aku tersentak. Sebuah suara tiba-tiba
masuk kelubang telinga dan mengusik lamunanku. Aku memandang Rio yang
memandangku dengan senyum yang manis,”Kau ketahuan sedang memandangiku lagi,” ucap Rio dengan senyum nakalnya. Aku tercekat. Jantungku seakan berhenti
berdetak saat itu juga. Perlahan, sosok Pak Ren bergerak tepat sama dengan Rio
saat ini, bayangannya yang dulu saat ia masih mengajarku. Aku menganga dan
seakan memoriku kembali merajut masa lalu yang telah kutinggalkan dulu. Memori
tentang Pak Ren.
“Rio?” Aku tergagap menyebut namanya. De javu? Lagi? Sudah beberapa kali aku mengalami ini dan selalu terjadi saat aku
bersama Rio.
“Ya?” Dia menelengkan kepala. Aku semakin sulit
bernafas. Sama. Caranya menelengkan kepala persis seperti Pak Ren. Napasku
memburu saat aku teringat lagi pada masa laluku. Benang-benang impulsku mencoba
bermain dengan ingatan lampauku.
“Ren.” Tiba-tiba nama Pak Ren dengan cepat
mendesis keluar dari mulutku. Rio terlihat kaget mendengar aku menyebut nama
Pak Ren. Air mataku perlahan mengalir turuntanpa kusadari. Kenapa? Kenapa
sosoknya bisa melekat seerat itu pada Rio? Aku membekap mulutku agar tak kukeluarkan suara isakan tangis.
“Ada apa sih, Za?”
“Jawab!” Aku membalasnya cepat. Tenggorokanku
tercekat hingga sulit sekali rasanya menelan ludahku sendiri. Rio mengerutkan
kening dengan wajah cemas.
“Jawab?” Dia membeo kata-kataku. Meminta
kepastian.
“Apa-“ Suaraku terbata-bata. Aku tidak tau dan
tidak sadar bahwa pengarih sosok Pak Ren sangat besar pada diriku hingga aku
tak bisa mengontrol diriku sendiri begitu menyangkut tentang dirinya, "hubunganmu
dengan Pak Ren?”
Dia diam.
Dia diam.
Aku menunggunya. Tapi, dia masih tetap diam. Sama sekali tak bergeming. Aku sudah tak sabar, buru-buru kuseka air mataku dengan punggung tangan. Aku meneguk ludah sambil tetap memandang Rio yang menatapku nanar.
“Aku,” Akhirnya dia membuka mulut. Dia meneguk
ludah juga,”Aku adiknya.”
***
Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya. Aku
berlutut sambil memegang nisan yang tertancap diam. Tanah merah yang masih beru
itu terlihat begitu menyakitkan mata. Sakit. Lagi-lagi dadaku terasa sangat
remuk saat kubaca nama yang tergores pada nisan itu. Rio memelukku paksa
walaupun aku berusaha meronta darinya. Mencoba mengenyahkan dia dari sisiku
saat ini.
Tapi akhirnya aku tak mampu, dia memelukku
erat. Tenagapun tak cukup besar untuk melawannya apalagi dengan kondisi yang
seperti ini. Begitu rapuh. Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Sedih. Lagi. Menangis.
Entah untuk keberapa kalinya aku meneteskan aire mata hanya karena satu nama. Kenapa
dia membuat semuanya menjadi serba sulit? Kenapa dia menyembunyikan kenyataan
pahit yang merobek kalbu seperti ini? Kenapa Pak Ren? Katakan padaku!
“Maaf.” Rio mendesah. Aku masih menangis didadanya.
Tak tau apa yang harus aku katakan untuk menjawab pernyataan maafnya. Pikiranku buntu untuk
kesekian kali hingga rasanya aku sudah lelah untuk berpikir. Aku ingin berhenti
merasakan sakit yang menghujam lewat di ulu hatiku. Lelah, benar aku lelah
dengan semua kenyataan beruntun ini. Aku hanya ingin menangis, setidaknya untuk
saat ini. Aku diam. Masih sesenggukan dalam tangisku. Kenangan dulu bersama Pak
Ren perlahan mengisi penuh kedua bola mata, hati, dan pikiranku.
Bagaimana dia tertawa, mencoba menghiburku,
berusaha sekuat tenaga mengajariku hingga aku benar-benar bisa menghadapi
soal-soal di universitas. Aku membayangkan bagaimana wajahnya yang selalu
menyelimuti malamku, menemani tidurku, aku menangis semakin keras. Pak Ren,
sudah berapa kali kau membuatku kalang kabut seperti ini? menangis itu sakit! Apa
kau tahu itu?
“Kenapa?” Aku menangis lagi
sambil memukul dadanya. Meluapkan segala kesedihan di hatiku sebelum nantinya
benar-benar membuatku kehilangan nyawa. Rio mempererat pelukannya padaku.
“Karena ... karena dia yang memintanya,” ucap
Rio dengan sedikit tergagap, ”D-dia tahu bahwa dia tak akan pernah bisa
membahagiakanmu dengan keadaanya yang-” Rio menghela napas berat,”sakit
jantung.” Suara Rio mulai terdengar bergetar. Kurasa, ia sedang berusaha
menahan tangis.”Dan dia juga tahu bahwa ia tak akan lama lagi hidup didunia
ini. Karena itu dia tidak menerima pernyataan cintamu walaupun
sebenarnya saat itu hatinya hancur berkeping-keping.”
Aku masih menangis. Meresapi tiap kata yang keluar dari mulut Rio walaupun aku juga tau tak semua kata masuk ketelinga dan kuproses dalam otakku. Sudah kubilang, otakku seperti berhenti bekerja saat ini.
“Dia memintaku menjagamu tepat saat dia telah
mengantarkan surat undangan palsu itu. Dia tahu kau takkan pernah datang ke
pernikahan bohongan itu.” Rio melepaskan pelukannya dariku. Mencoba melihat
aku yang rapuh dan hancur. ”Yang jelas, dia sangat mencintaimu,” lanjutnya. Tangisanku
semakin menjadi-jadi. Kini aku tahu. Aku tahu Pak Ren tak pernah berusaha
membuatku hancur. Tidak pernah.
Tapi aku tak bisa memaafkannya! Dia pergi …
meninggalkanku di dunia ini tanpa permisi. Bahkan tak ada yang memberitahuku
tentang ini. Lalu pada siapa rasa sakit ini aku lampiaskan? Kepada siapa aku
meminta pertolongan? Hatiku seakan sudah tak berbentuk lagi mengingat begitu
banyaknya rasa yang tertanam semu. Penuh dengan derita. Menyakitkan sekali. Apa kau tahu rasanya, Pak Ren?
“Aku … benci …,” kataku terbata-bata disela
tangisanku.
Rio menggeleng cepat sambil terus menatapku,
air mata ternyata berhasil menyebrang ke pipinya. “Jangan ... kumohon..” Dia
menggigit bibirnya seperti caraku menahan tangis seperti biasanya, ”Jangan…”
“Lalu kepada siapa rasa sakit ini aku
lampiaskan?” Aku menarik kerah bajunya, ”Kepada siapa? Katakan padaku! Katakan
padaku saat ini juga!” Aku melepaskan genggamanku dari kerah bajunya. Menangis
dan terus menangis, tak tau apa yang harus kuperbuat saat ini. Aku lemah, tak
berdaya, dan rapuh ... tak pernah kurasakan hidup sepahit ini sebelumnya. Sunguh
baru pertama kali ini kurasakan. Bagaimana aku tidak menangis apabila orang
yang kucintai ternyata juga mencintaiku tapi tak pernah mengatakannya padaku? Lalu disaat aku tahu, dia telah pergi? Bahkan tak bisa lagi kulihat untuk
selama-lamanya? Aku harus bagaimana?
Pak Ren. Aku malah akan lebih bahagia apabila
seandainya kau jujur padaku saat itu. Tentang perasaanmu dan juga tentang
semuanya. Kau suka melihatku begini ? Kau sengaja? Kau bahkan sama sekali tak pernah memikirkan bagaimana jadinya aku
nanti tanpa dirimu.. apa kau kira dengan hanya menyuruh adikmu ini menemaniku
maka semuanya akan selesai ? Happy ending
? Bahagia selamanya? Kau salah! Ini kenyataan dan dunia ini bukanlah negeri
dongeng yang menceritakan kisah khayalanmu, di dunia ini hanya Tuhan yang
berhak mengatur semuanya, sudahkah kau tanya pada-Nya? Benarkah semua yang
kau lakukan ini? Jawab aku !
Air mataku terus mengalir deras tanpa mau
berhenti sedetikpun. Rupanya tangisku selama ini masih belum cukup banyak untuk
mengeringkan air mataku kali ini. Seakan ada sejuta ember air mata yang
berjibun dan memenuhi mataku. Tinggal menumpahkanya satu persatu maka semuanya
akan selesai. Selesai tanpa sadar bahwa semuanya telah dimulai. Tuhan, inikah
jalan takdir-Mu?
“Za…” Suara lembut Rio menancap tepat di gendang telingaku. Aku tak mendongak untuk sekedar melihatnya. Aku tetap diam dalam tangisku. Menumpahkan segala derita di hati yang sudah tak sanggupku bendung lagi. Sama sekali tak sanggup. ”Cukup bila … kau lampiaskan semuanya padaku,” ucap Rio selanjutnya. Aku tertegun mendengarnya.
“Melampiaskan padamu? Apa menurutmu itu
akan berguna? Nggak, Rio.” Aku membantah keras ucapanya walaupun dengan suara
yang tersendat-sendat. Aku mendongak juga menatap matanya yang layu seperti
bunga musim gugur. Dia menatapku balik dengan pandangan yang tak dapat
kuterka artinya.
“Mungkin,” jawabnya, ”Sakit hatimu begitu
besar. Bahkan aku tahu pasti sangat sakit! Biarkan aku menjadi pelarianmu. Berapa kali pun kau butuhkan, aku akan datang, aku akan menghiburmu. Aku takkan
pernah membuatmu jatuh, takkan pernah membuatmu terpuruk untuk kedua kali. Cukup apabila kau pukul aku setiap hari untuk menguras habis semua amarahmu
pada kakakku. Aku yakin aku akan baik-baik saja asalkan kau tak membencinya. Kalau masih kurang-”
“Kau pikir aku akan tega melakukan itu?” Aku
menatap matanya dengan amarah yang meluap-luap lalu menggelengkan kepalaku
dengan tak habis pikir, ”Kau mengenalku hanya sebatas itu? Hanya sebatas orang
yang melakukan pelampiasan dan segala macam yang kau sebutkan? Kau jahat!” Aku berdiri dengan sempoyongan, tak kusadari bahwa tubuhku selemah ini. Aku
memegang kepalaku yang terasa amat pening, setelah itu aku tidak tau kenapa
semuanya menjadi serba gelap. Aku tak mampu melihat apapun selain hanya
mendengar sebuah teriakan:
“Seza!”
“Seza!”
***
Kepalaku terasa seperti dihimpit ribuan tong
minyak tanah. Berat dan sakit sekali! Ruangan gelap dihadapanku seperti
berputar-putar tiada habisnya. Aku ingin membuka mata tapi aku tak bisa! sangat
berat, aku tak kuasa dan aku sangat takut berada di sini ... di ruang gelap ini …
apa yang terjadi denganku?
Aku berusaha mengingat kejadian demi kejadian
seperti sebuah ruangan bioskop yang sangat besar dan aku kembali pada
kegelisahanku, pada kekecewaanku, pada …
Tes…
Aku tersentak kaget saat kurasakan setetes air
menetes tepat di hidungku. Setetes air yang tak kutau dari mana asalnya.
Tes…
Lagi-lagi, menetes perlahan satu demi satu … hujankah atau hanya perasaanku saja? Nyatakah?
“Za, aku memang tak tau derita sebesar apa yang sedang
menyelimutimu.” Tiba-tiba sebuah suara tertangkap indera pendengaranku, ”Aku
juga tak tau luka selebar apa yang ada di hatimu, tapi aku ingin menghapusnya,
aku ingin menutupnya seerat mungkin …sampai tak bisa dibuka lagi…” Aku tertegun
dan mulai menyadari bahwa itu suara Rio. “Aku … aku … bukannya aku jahat dengan
menuduhmu macam-macam, tapi itu semua karena aku tahu bahwa kau takkan pernah
bisa melakukannya … aku hanya ingin bersamamu …menjagamu dari segala kekecewaan …
“Awalnya, kupikir kakak terlalu jahat karena telah menyuruhku menemanimu. Aku sudah punya pacar waktu itu tapi kuputuskan karena kakak. Aku tahu umur kakak takkan lama lagi. Untuk itu aku ingin berbuat sesuatu untuknya, aku mulai hadir di kehidupanmu walaupun sebenarnya aku tak suka.”
Deg! Jantungku seperti baru saja dihantam oleh sebuah batu yang besar. Terpaksa? Jadi semua ini apa? Aku menaruh kepalaku di antara kedua lutut dengan rasa sakit yang tak terkira. Adik dan kakak … sama saja …
“Itu awalnya …,” lanjutnya lagi, ”Tapi, akhirnya
aku jadi benar-benar menyayangimu. Bahkan, aku selalu bahagia jika aku berada
di dekatmu.” Aku mendongak, walaupun yang kulihat tetap sebuah ruang kosong, ”Kakak
benar, dia mencoba melihatku memandang lebih jauh lagi tentang cinta; cinta
yang sesungguhnya dan bukan cinta yang hanya sekadar main-main. Aku sudah cukup
dewasa untuk itu, untuk mengenalmu dan untuk memahamimu. Aku tahu kau tidak
mencintaiku karena di hatimu selalu hanya ada satu sosok, yaitu Kak Ren … Aku
bisa memahami itu lebih dari siapa pun, asalkan aku selalu ada bersamamu bagiku
itu sudah cukup buatku.”
“Kalau begitu jangan pernah tinggalkan aku.” Aku membuka mata secara tiba-tiba, tak tau aku mendapatkan kekuatan darimana untuk bisa mengembalikan kesadaranku. Rio memandangku dengan raut kaget.
“Za? Kau sudah …”
“Ya, aku sudah sadar dan aku juga sudah
mendengar semuanya …” Aku memotong ucapannya cepat. Rio tampak salah tingkah
walaupun matanya masih terlihat sembab karena baru saja menangis. “Jika semua
yang kau katakan itu benar, maka jangan pernah meninggalkanku, jangan pernah
menghilang …” Rio menatapku dengan pasti.
“A-Aku takkan pernah melakukannya, tapi jika
kau masih menyukai Kak Ren, aku-”
“Jika aku terus memikirkannya, dia takkan pernah bisa tenang, untuk apa aku memikirkan orang yang bahkan tak pernah bisa kulihat lagi, tapi jujur saja rasa padanya masih ada … hanya beri aku waktu.” Aku mencoba untuk duduk. Rio tak menatapku, dia memandang lantai dengan wajah masam. Kami berada dalam keheningan selama beberapa saat lamanya, aku sendiri tak tau seberapa lama keheningan itu membungkam kami.
“Tidak.” Tiba-tiba dia bersuara. Aku menoleh
padanya. ”Aku tak bisa menunggu selama itu.” Dia menatapku tajam. Aku tercekat
sesaat, ”Aku butuh cintamu saat ini, bahkan seharusnya sejak enam bulan yang lalu. Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Jadi, terserah padamu pikirkan
baik-baik dan berikan jawabannya padaku di taman sore ini.”
Aku menunduk. Mencoba memahami perasaanku
sendiri. Apakah aku mencintainya ataukah hanya menjadikannya pelampiasanku
seperti niatku semula? Tapi, sebentar kemudian sebuah pemikiran yang tak tau
berasal darimana munculnya. Kulihat dari sudut mataku, Rio berbalik dan
melangkah menuju pintu.
“Aku menyukaimu.” Rio berhenti tepat saat dia
akan membuka pintu. Dia terlihat meremas ganggang pintu.
“Jangan berbohong!”
“Untuk apa aku berbohong? Agar kau tak pergi? Tak
ada gunanya bagiku membohongimu kecuali jika kau adalah pelampiasanku. Kau
bilang kau suka berada di dekatku tapi kau bahkan tak pernah mengerti bagaimana
perasaanku padamu.”
“Tapi, tadi kau bilang aku harus memberimu
waktu untuk-” Dia terdiam saat dia berbalik dan memandangku yang berurai air
mata. Dia memejamkan mata sesaat dan kemudian berjalan kearahku. Aku
memandangnya dengan kening berkerut. Dia berhenti tepat didepanku lalu, tanpa
kuduga dia memelukku. Dia memelukku sangat erat seperti tak mau untuk
melepaskanku. Aku bahkan tak sempat berpikir apa-apa karena semua ini berlalu
bergitu cepat.
“Aku janji … Aku akan selalu ada untukmu,
sekarang, dan untuk selamanya …” Aku tertegun tapi, sejurus kemudian aku
merasakan bibirku tersenyum. Aku membalas pelukannya.
***
ReplyDelete✔ alat pembesar penis
✔ obat kuat sex
✔ obat pembesar penis
✔ obat perangsang wanita
✔ produk kesehatan
✔ sex toys pria
✔ sex toys wanita
✔ obat pelangsing badan
Your Article Is This Very Helpful Thanks For Sharing...:)
ReplyDeleteVimax Vimax Asli Vimax Original Vimax Herbal Vimax Canada Agen Vimax Agen Vimax Asli Vimax Asli Canada Obat Vimax Obat Pembesar Penis Pembesar Penis Pembesar Alat Vital Vimax Pembesar Penis
terima kasih gan atas infonya ...
ReplyDeleteVimax
Viagra
Obat Kuat
Obat Pembesar Penis
Klg
Obat Penggemuk Badan
ReplyDeleteObat Peninggi Badan
Obat Pelangsing Badan
Fatlos Beauty
Cream Pemutih Wajah
Obat Pemutih Kulit Badan
Perontok Bulu
Obat Penghilang Tato
Alat Pembesar Payudara
thank you
ReplyDeleteViagra
Obat Kuat
Obat Viagra
Obat Kuat Viagra
Viagra Asli
Viagra Usa
Viagra
Greetings admin
ReplyDeleteI like your topic, after reading your article very helpful at all and can be a source of reference
I will wait for your next article updates
Thank you, for sharing
Penirum
Penirum Asli
Obat Penirum
Obat Pembesar Penis
Titan Gel
Vimax
Hammer Of Thor
Penirum
Penirum Asli
Obat Penirum
Obat Pembesar Penis
Titan Gel
Vimax
Hammer Of Thor
I LIKE YOUR TOPIC
ReplyDeleteVIMAX
VIMAX ASLI
VIMAX CANADA
OBAT VIMAX
VIAGRA
VIAGRA ASLI
PROEXTENDER
PROEXTENDER ASLI
THANK YOU FOR SHARING
ReplyDeleteVIAGRA
VIAGRA ASLI
VIAGRA USA
OBAT VIAGRA
OBAT KUAT VIAGRA
CIRI VIAGRA ASLI
VIAGRA
VIAGRA ASLI
CIRI VIAGRA ASLI
OBAT KUAT
CELANA HERNIA
I will wait for your next article updates
ReplyDeleteThank you, for sharing
Extenze
Extenze Asli
Obat Extenze
Extenze Original
Distributor Extenze
Jual Extenze
Ciri Extenze Asli
Greetings admin
ReplyDeleteI like your topic, after reading your article very helpful at all and can be a source of reference
I will wait for your next article updates
Thank you, for sharing
JUAL KLG DI BANDUNG
JUAL TESTO ULTRA DI BANDUNG
JUAL PENIRUM DI BANDUNG
JUAL VIMAX DI BANDUNG
JUAL HAMMER OF THOR DI BANDUNG
Greetings admin
ReplyDeleteI like your topic, after reading your article very helpful at all and can be a source of reference
I will wait for your next article updates
Thank you, for sharing
JUAL EXTENZE DI BANDUNG
JUAL VIAGRA DI BANDUNG
VAKUM BATHMATE HYDROMAX
JUAL PROEXTENDER DI BANDUNG
VAKUM PEMBESAR PENIS
JUAL TITAN GEL DI BANDUNG
Greetings admin
ReplyDeleteI like your topic, after reading your article very helpful at all and can be a source of reference
I will wait for your next article updates
Thank you, for sharing
KLG
TESTO ULTRA
PENIRUM
VIMAX
HAMMER OF THOR
Greetings admin
ReplyDeleteI like your topic, after reading your article very helpful at all and can be a source of reference
I will wait for your next article updates
Thank you, for sharing
EXTENZE
VIAGRA
VAKUM BATHMATE HYDROMAX
PROEXTENDER
VAKUM PEMBESAR PENIS
TITAN GEL
Greetings admin
ReplyDeleteI like your topic, after reading your article very helpful at all and can be a source of reference
I will wait for your next article updates
Thank you, for sharing
HAMMER OF THOR
HAMMER OF THOR ASLI
OBAT PEMBESAR PENIS
EXTENZE
EXTENZE ASLI
Greetings admin
ReplyDeleteI like your topic, after reading your article very helpful at all and can be a source of reference
I will wait for your next article updates
Thank you, for sharing
HAMMER OF THOR
HAMMER OF THOR ASLI
OBAT PEMBESAR PENIS
EXTENZE
EXTENZE ASLI
Greetings admin
ReplyDeleteI like your topic, after reading your article very helpful at all and can be a source of reference
I will wait for your next article updates
Thank you, for sharing
Obat Aborsi
Jual Obat Aborsi
Obat Penggugur
Obat Aborsi Ampuh
Obat Cytotec
Jual Obat Cytotec
Obat Aborsi Dokter
Obat Penggugur Kandungan
Obat Abosi 1 Bulan
Obat Abosi 2 Bulan
Obat Abosi 3 Bulan
Obat Abosi 4 Bulan
Obat Abosi 5 Bulan
Obat Abosi 6 Bulan