Cewek itu memandangnya.
Memandang cowok berbadan tegap yang berdiri tepat dihadapannya. Cowok itu masih
memegang daun pintu rumahnya yang baru saja ia buka untuk seorang cewek yang
terlihat asing di matanya. Cewek yang dibukakan pintu terlihat terengah-engah
dibawah guyuran hujan yang begitu derasnya.
“Richi ...,” panggil
cewek itu dengan senyuman lebar di matanya dan seberkas kelegaan di matanya. Yang
dipanggil ‘Richi’ hanya terdiam menatap lekat cewek itu dengan bingung
bercampur heran. Ia tidak mengenali cewek yang memanggil namanya seakan ia
mengenal dirinya. Ia mengerutkan kening.
“Who are you?”, tanya Richi akhirnya. Cewek itu hanya bisa tertegun,
senyuman yang mengembang, kini hilang ditelan derasnya hujan. Nafasnya yang
semula terengah-engah, mulai kembali menjadi hembusan normal, tapi sinar di
matanya meredup pasti. Tak tau apa yang harus diperbuat, ia mencoba meyakinkan
diri bahwa cowok yang selama ini dirindunya disetiap hembusan nafasnya itu
hanya berusaha bergurau layaknya ketika mereka masih bermain bersama.
Cewek itu menagakkan
tubuhnya, membiarkan hujan yang semakin deras membuatnya menggigil karena
dingin air yang membasahi setiap jengkl kulitnya. “Kau bercanda?”, pertanyaan
itu terlontar begitu saja dari bibirnya yang bergetar,”A..Aku Arya.. Sahabat
masa kecilmu!”, lanjut cewek yang mengaku bernama Arya itu dengan suara parau. Richi
mengangkat alis tidak mengerti.

“Aku tidak pernah punya
teman bernama Arya ...”
Arya memandang Richi
dari tepi lapangan basket. Memandang sahabat masa kecilnya yang kini telah
tumbuh menjadi cowok yang tampan dan keren. Arya berjalan dan berhenti tepat di
garis terluar lapangan basket saat Richi dengan tangkas memasukkan bola basket
ke dalam ring. ‘Bagaimana bisa lupa?’,
tanyanya dalam hati.’Apakah berada di
Inggris selama 5 tahun telah membuatmu lupa padaku?’, lanjutnya. Ia terus
memandang Richi dengan tatapan kosong, hingga tiba-tiba sebuah bola basket
melambung kearahnya.
DUAKK!
“Aww!!” Arya
mengerang. Terhuyung ke belakang dan terhempas ke tanah tepat sesaat setelah
sebuah bola basket berhasil mendarat di kepalanya. Richi yang merasa melempar
bola itu, langsung berlari dengan kening berkerut ke tempat Arya terjatuh
karena bola lemparannya.
“Are you okay?” tanya Richi singkat dan segera memungut bola basket
yang tergeletak di samping Arya. Arya menyipitkan mata saat mendongak dan
menatap wajah Richi yang silau karena sinar matahari dari belakang tubuhnya.
Ia melihat mata itu
dengan sangat jelas. Mata dengan sorotan tajam Burung Rajawali yang selalu
menatapnya jenaka disertai tawa manja dulu ketika mereka masih bermain bersama.
Ia tak dapat melupakan sorotan yang selalu menemani masa kecilnya itu. Takkan
pernah mampu. Namun, mata yang kini ia tatap bukanlah mata yang selalu berbinar
menatapnya setiap waktu itu. Kini, mata itu tak ubahnya sorotan tajam biasa
yang sama sekali bukan Richi sahabatnya dulu.
“Hei!” Richi
melambaikan telapak tangannya di depan mata Arya yang hanya tetap diam
memandangnya. Ia sama sekali tak tau mengapa gadis yang kemarin pagi datang ke
rumahnya dengan nafas memburu dan basah kuyub karena hujan itu memandangnya
dengan tatapan seperti itu. Jujur, ia tidak mengenal cewek itu sama sekal, tapi
melihat wajahnya yang sedih saat itu membuat Richi merasa bersalah juga.
Karena tak mendapat
jawaban dari Arya, Richi hanya mengangkat alis dan mengedikkan bahunya. Ia
berdiri tegak dan langsung berlari kembali ke arah lapangan basket tanpa
mempedulikan Arya. Ia kembali bermain basket bersama teman-teman barunya
diiringi decak kagum dari setiap anak yang melihat permainan basketnya. Ia
bahkan lupa untuk membantu Arya berdiri dan Arya hanya merespon itu dnegan
senyuman kecil yang hampir tak nampak dari wajahnya.

“Kau memang sudah
berubah ... benar-benar berbeda ...,” ucapnya pelan.
‘Kenapa kau selalu bisa menemukanku?’
Richi terhenyak saat
sebuah suara muncul tiba-tiba dalam benaknya. Ia tidak jadi melakukan lay up-nya dan hampir tersungkur apabila
ia tidak menumpunya dengan kaki kirinya. Bola basket yang baru saja ia drible, segera menggelinding tak tentu
arah setelah lepas dari tangannya. Richi memegang bagian belakang kepalanya
yang berdenyut dengan rasa sakit yang membuatnya pusing.
Melihat keadaan Richi, teman-temannya segera menghampirinya, namun tak satupun dari suara mereka yang berhasil terdengar oleh Richi. Richi sendiri menjadi bingung melihat mulut teman-temannya yang seakan mengucapkan sesuatu, tapi tak satupun dari suara mereka yang tertangkap oleh telinganya. Richi seakan berada dalam keheningan aneh yang menyesakkan dadanya. ‘Ada apa?’, tanyanya dalam hati pada dirinya sendiri. Ditengah kesadarannya yang mulai menipis, Richi sempat menangkap bayangan Arya yang mencoba menerobos kerumunan.
Ketika tangan Arya berhasil menyentuhnya, Richi hanya bisa melihat bayangan hitam yang perlahan mengepunya hingga kegelapan benar-benar menenggelamkannya dalam kesunyian.

‘Karena aku adalah Rajawali..’
Arya terdiam. Ia tak mampu mengatakan sepatah katapun usai Mama Richi dengan gamblang menceritakan kejadian yang menimpa Richi setelah kecelakaan saat bermain bersama Arya dulu. Mama Richi mengungkap semua yang ingin diketahui oleh Arya diiringi air matanya yang tak mampu berhenti mengalir disetiap kata yang ia ucapkan.

Ia sama sekali tak tau
apa yang harus dilakukannya saat ini, ia mendekat dan memeluk Mama Richi dengan
lembut walaupun tubuhnya bergetar. Ia menatap kosong dinding ruang UKS dengan
perasaan yang sangat kacau. Ia juga ingin sekali menangis mengetahui kenyataan
bahwa dirinya telah hilang dari memori Richi karena Amnesianya, tapi ia tak
mampu dan ia tak berani. Hatinya hancur menjadi bagian yang saling terpisah
tanpa tau bagaimana cara menyatukannya kembali. Harus bagaimana?
‘Kenapa
kau selalu bisa menemukanku?’ tanya Arya pada Richi yang dengan tersenyum
sombong menatapnya geli. Ia tersenyum nakal menyadari kebingungan Arya.
‘Karena aku adalah Rajawali..’ jawabnya dengan wajah polos,’Aku adalah Rajawali yang hebat dan kuat! Mataku setajam Rajawali.. aku bisa menemukanmu dimanapun kau berada!’ ia tergelak mendapati wajah Arya yang langsung kusut begitu ia menyelesaikan kalimatnya.
‘Kau ini bodoh,ya? Kau bukan Rajawali!’ Arya menatap kesombongan Richi dengan kesal.
‘Aku Rajawali! Kau harus mengakui!’ setelah itu Richi tertawa kembali dan segera berlari sambil merentangkan kedua tangannya seperti sayap burung dan mulai mengepakkannya. Ia tertawa dengan gembira dan mengacuhkan Arya yang memandangnya dengan kening berkerut. Namun, Arya segera mengikuti gerakan Richi. Ia merentangkan kedua tangannya dan mengepakkannya layaknya seekor burung. Ia tertawa.
Tiba-tiba, Richi membelokkan arah larinya. Ia merasa bahwa Burung Rajawali pasti akan terbang lebih jauh lagi dari tempatnya berputar-putar. Ia berlari tanpa menyadari bahwa ia tengah mengarah ke sebuah jalan raya yang tepat pada saat itu, lewat sebuah motor dengan kecepatan tinggi.
Pengendara
itu tak sempat mengerem laju kendaraan motornya hingga tanpa bisa dicegah lagi,
ia menabrak Richi.
‘Brukkk!’ Tubuh Richi terlempar, menghempas, dan bergulingan di tanah dengan tubuh bersimbah darah. Arya berhenti berlari dan menyaksikan tubuh Richi yang diam. Pengendara itu segera memacu motornya kembali sesaat setelah ia menyadari bahwa ia baru saja menabrak tubuh seorang anak kecil. Arya tak bisa apa-apa. Ia tercekat dan hanya bisa memandang dengan jantung berdegup.

‘Richiiiiiiiiiii!!’
***
Arya terdiam di kamarnya. Tidak tau lagi harus bagaimana setelah Mama Richi mengungkapkan bahwa saat itu Richi menderita gegar otak yang cukup parah dan memutuskan untuk membawa Richi ke Inggris agar ia bsa mendapatkan perawatan yang maksimal serta peralatan canggih yang dapat memulihkannya dengan cepat. Namun rupanya takdir berkata lain, Richi terpaksa harus kehilangan memorinya entah untuk jangka waktu berapa lama.
Arya menyadari bahwa saat itu, ia memang tidak mau mengakui bahwa Richi memiliki penglihatan seperti Rajawali dan tidak hanya memiliki sorotan yang seperti Rajawali, tapi kini ia sadar dan ia tau bahwa Richi memang memilikinya. Mata yang selama ini selalu dirindunya dan ditunggunya. Keadaan sekarang ini sangatlah berbeda dengan saat dulu ia selalu bermain bersama Richi. Kini Richi bahkan tak mengingat satu kenanganpun tentang dirinya.

Jujur, rasanya sangat
sakit. Sakit sekali rasanya mengetahui dirinya telah dilupakan oleh orang yang
membuatnya merasakan cinta pertama.‘
Harus bagaimana?’
Harus bagaimana?’
Arya baru saja keluar dari perpustakaan
sekolah dengan membawa beberapa buah buku ditangannya. Ia sangat bingung dengan
apa yang harus diperbuatnya untuk mengalihkan perhatiannya agar ia tidak harus
merasakan sakit tiap kali memikirkan soal Richi. Ia menyukai buku dan ia yakin
untuk sementara waktu, ia bisa mengalihkan perhatiannya pada Richi dengan
buku-buku yang baru saja dipinjamnya.
Sudah 2 minggu sejak ia
mengetahui kebenaran mengenai amnesia Richi dan ia sangat kesal karena tak
mampu menemukan pengalih perhatian dari masalahnya itu. Sekarang, ia tak lagi
menatap Richi dengan marah atau bahkan menuduhnya telah begitu saja melupakan
dirinya hanya karena berada di Inggris selama 5 tahun seperti apa yang ia duga
pada awalnya. Kini, semuanya telah menjadi sangat jelas di matanya. Ia pun tak
pernah lagi mencoba untuk berbicara pada Richi seperti tak pernah mengenalnya
sama sekali.
Sesungguhnya, ini
adalah hal yang berat baginya tapi harus ia lakukan. Ia merindu tanpa tau,
menjauh tanpa pernah menyentuh, padahal orang yang sangat ingin ditemuinya
telah berada di depan mata. Ia sendiri masih tak habis pikir, mengapa teman
yang selalu dinantinya kini kehilangan semua memori tentang dirinya. Ia
mengerti ini semua kehendak Tuhan, tapi tetap saja ia tak bisa menerimanya. Kepada
siapa ia akan meluapkan segalanya dan untuk siapa semua rasa rindunya, jika
bukan untuk orang yang selama ini ditunggunya itu.
Arya terus berperang
melawan pemikirannya sendiri dan sama sekali tidak memperhatikan jalan yang
dilaluinya.
“Bruk!”
“Ah!” buku di tangan
Arya langsung berjatuhan. Ia mengerang menyadari kelalaiannya. Segera ia
selipkan rambut panjangnya di belakang telinga dan mulai berjongkok lalu
memunguti buku-bukunya.
“I am sorry. Are you okay?” tanya seseorang yang langsung ikut
berjongkok dan memunguti buku-buku Arya tanpa diminta. Arya tertegun. Perlahan,
ia mendongakkan kepala dan mendapati Richi tengah membantunya memunguti
buku-bukunya. ‘Ah, dunia ini memang
sempit!’ keluhnya dalam hati.
“Richi ...,” panggil Arya
tanpa sadar. Richi mendongak dan menangkap tatapan Arya dengan alis terangkat.
Richi menghembuskan
nafas pendek.”Aku tak mengenalmu, tapi mengapa sikapmu menyatakan seolah-olah
kau telah mengenalku sejak lama?” ia berhenti memungut buku.
‘Karena
aku memang mengenalmu..’ jawab Arya dalam hati. Ia masih
diam. Menatap lekat wajah teman masa kecil yang selalu sirindunya itu. Hanya
perubahan kecil yang tampak pada fisik Richi. Rambutnya masih tetap hitam dan
sorotan Rajawali yang seakan tak pernah pudar dari matanya.
Richi mengalihkan
pandangan sesaat untuk menghindari tatapan Arya,”Sebentar lagi, aku akan
kembali lagi ke Inggris.. jadi, maaf jika aku tak mengingatmu ...”
“Kenapa kembali?” sahut
Arya cepat. Richi terdiam sejenak.

“Karena aku harus check up lagi luka di kepalaku yang
akhir-akhir ini sering sakit lagi.. mungkin aku akan kembali kesini 3 tahun
kedepan saat aku benar-benar telah sembuh..” Richi berdiri, meletakkan
buku-buku yang ia pungut dari lantai ke dalam pelukan Arya dan segera melangkah
pergi. Arya tak mampu berkata apa-apa lagi selain diam. Mengunci seribu kata
yang sebenarnya ingin ia ungkapkan kepada Richi. Ia hanya membiarkan air
matanya lewat di pipi tanpa berusaha untuk menahannya lagi.
Hari yang dikatakan Richi
segera tiba. 2 minggu yang terasa berlalu dengan sangat cepat bagi Arya. Ia
menjadi gadis yang pemurung akhir-akhir ini, sama sekali tak mau bercanda tawa
bersama teman-temannya di sekolah dan hanya diam saat ditanya mengapa ia
begitu. Hari ini juga, ia dan orangtuanya akan segera pergi mengantar Richi ke
bandara. Ia menghela nafas sambil memandang langit yang mendung.
Ia mengamati Richi dari
jendela kamarnya yang langsung menghadap tepat di depan rumah Richi. Richi
sedang sibuk keluar masuk rumah untuk menyiapkan barang yang akan ia butuhkan
dalam keberangkatannya menuju Inggris nanti. Arya sangat bimbang. Ia tak mau
kehilangan Richi untuk kedua kalinya karena Richi rahjawalinya, tapi ia juga
tak tau apa yang harus diperbuatnya untuk mencegah Richi untuk kembali ke
Inggris.
Ia menghempaskan
tubuhnya di atas tempat tidur dengan rasa malas yang luar biasa. Ia sudah tak
mau lagi membaca buku atau sibuk mengotak-atik komputer untuk mengalihkan
perhatiannya dari Richi setelah ia mendengar sendiri dari Richi bahwa ia akan
kembali ke Inggris dalam jangka waktu dekat. Ia bahkan sama sekali tak
menyentuh buku-buku yang ia pinjam selama 2 minggu dari perpustakaan sekolah
itu dan membiarkannya terbengkalai di atas meja belajarnya.
Bagaimana ia bisa
dengan tenang membaca buku sedangkan orang yang selama ini ditunggunya akan
berangkat lagi ke Inggris dan meninggalkannya? Walaupun Richi juga bilang bahwa
ia kemungkinan akan kembali dalam 3 tahun kedepan, tapi tetap saja masih sulit
baginya untuk dengan mudah melepaskan Richi begitu saja. Apa yang harus
dilakukannya?
Arya mengacak rambut dan menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia tidak lagi mampu berpikir dengan jernih di sela waktu yang tinggal sedikit ini.

“Arya! Ayo kita segera
berangkat juga mengantar Richi!” teriak Mama Arya dari depan pintu kamarnya. Ia
menggelengkan kepala dan segera bangkit dari tempat tidurnya dengan pikiran
jenuh.
‘Kenapa
kau selalu bisa menemukanku?’
Richi mengernyit
kesakitan saat kepalanya yang terluka berdenyut nyeri. Lagi. Suara yang
akhir-akhir ini selalu berputar diotaknya terngiang lagi di telinganya. ‘Suara siapa itu?’ ia terus bertanya
entah kepada siapa tanpa mampu menemukan jawaban yang diinginkannya. Ia mencoba
menyembunyikan raut wajahnya yang kesakitan dari orangtuanya dengan mengalihkan
wajahnya pada sisi lain mobil ketika
mobil terus berjalan menuju bandara.
Bayangan Arya juga
perlahan mulai memenuhi otaknya, wajah sedih Arya sama sekali tak mampu
ditepisnya tiap kali ia mendapati Arya tengah memandangnya dari jauh. Ia tidak
ingat. Ia tidak ingat kapan ia pernah bertemu dengan Arya sehingga Arya bisa
begitu mengenalnya sedangkan ia tidak. Bagaimana mengatakannya? Richi memegang
kepalanya yang semakin terasa pusing jika ia berusaha memaksakan diri untuk
mengingat Arya. Ia masih tidak berhasil mengorek apapun tentang Arya dari
ingatannya. Yang ia tau, saat masih kecil ia sudah terbangun di sebuah rumah
sakit dan mendapati 2 orang yang mengaku sebagai mama dan papanya.
Setelah itu, ia mulai
berlajar memanggil kedua orang yang tak dikenalnya itu dengan sebutan mama dan
papa. Satu hal yang ia masih mengingat dengan sangat jelas. Bahasa Indonesia. Ia
sendiri tak tau bagaimana bisa ia berbicara menggunakan Bahasa Indonesia dengan
sangat lancar padahal ia tinggal di Inggris. Oleh sebab itulah, ia juga tak
mampu menganggap Arya penipu karena ia sendiri sepertinya pernah tinggal di
Indonesia.
Richi melamun sepanjang
perjalanan hingga sebuah suara membuyarkan lamunannya.
“Arya! Arya! Arya!”
Mama Arya terlihat sangat bingung mencari keberadaan Arya yang langsung
menghilang begitu mereka sampai di tempat pengecekan paspor dan koper oleh
petugas bandara. “Aduh, Arya kan tidak hafal jalan di bandara ini! Dia kemana
sih?” tanya Mama Arya pada dirinya sendiri sambil terus melihat lalu lalang di
sekitarnya.
“Ada apa, tante?” tanya
Richi segera setelah menangkap hal yang tidak beres.
“Arya.. ia tidak ada
dimanapun padahal ia masih terus bersama tante hingga sampai disini! Begitu
tante memandang ke arah lain, ia sudah tidak ada di dekat tante!” jawab Mama
Richi dengan wajah bingung bercampur khawatir.
Richi mengerutkan
kening dan berpikir sejenak,”Biar saya cari, tante!” usul Richi yang tanpa
disuruh, segera pergi meninggalkan orang tuanya dan orang tua Arya yang hanya
memandangnya dengan wajah penuh harap. Richi berjalan tak tentu arah, ia
sendiri juga bingung harus mencari Arya kemana. Ia mulai berhenti berjalan di
tengah kerumunan orang yang melewatinya dan sesekali menabraknya secara tidak
sengaja.
“Aku harus mencari
kemana?” tanyanya pada diri sendiri. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri berharap
dapat menemukan sosok Arya ditengah kerumunan itu. Tapi, ia tak jua menemukan
Arya. Ia mulai gelisah. Ia melangkah lagi dan melihat ke depan tepat saat ia
melihat Arya tengah berdiri menghadap kaca jendela bandara yang mengarah ke
landasan pesawat. Richi segera berlari menerobos kerumunan dan berdiri tepat di
belakang Arya.
Arya tersentak saat ia
merasakan sebuah tangan menyentuh bahunya. Ia menoleh dan lebih terkejut lagi
saat mendapati Richilah yang baru saja menyentuh bahunya. Arya tersenyum kecil
sambil menggeleng.
“Mamamu mencarimu,”
kata Richi melihat reaksi Arya yang hanya diam saja melihatnya.
“Kenapa kau selalu bisa
menemukanku?” Richi tersentak. Ia mundur dengan perlahan dan menatap Arya tak
percaya. Kalimat yang selama ini selalu terngiang di telinganya baru saja ia
dengar dari bibir Arya. Richi memegang kembali kepalanya yang terasa sangat
sakit. Ia mengerutkan kening semampunya untuk mengurangi rasa sakit yang kini
membuatnya merasa pusing.
Arya yang melihat itu hanya mampu memandang Richi dengan wajah heran. Tapi, Arya tau bahwa itu adalah efek dari kalimat yang baru saja ia ucapkan pada Richi. Kalimat yang pernah ia ucapkan dulu padanya.”Ternyata ...,” kata Arya lagi dan berbalik menghadap Richi,”Tidak semuanya benar-benar hilang dari ingatanmu.”
Samar-samar, Richi melihat bayangan seorang gadis kecil yang menatapnya dengan wajah heran sambil mengucapkan sesuatu yang tidak ia tahu. Ia mengigit bibir karena merasakan nyeri yang semakin menjalar ke seluruh otaknya, terutama luka di kepalanya dulu. Arya mulai khawatir dan memutuskan untuk menyudahi pembicaraan yang mungkin bisa membuat Richi semakin merasa tersiksa dengan rasa sakit yang menyelubungi kepalanya.
“Ayo kita kembali ...,”
ajak Arya. Ia berjalan ke arah Richi dan menggandeng tangan Richi tanpa meminta
persetujuan dari Richi. Tangan Richi menegang. Tubuhnya tak begitu saja menurut
saat Arya dengan lembut menariknya pergi. Ia tetap diam di tempatnya semula
berdiri. Arya yang menyadari itu segera menoleh dan mendapati Richi yang
memandangnya dengan sorotan tajamnya. “Kenapa?” tanya Arya pelan.
Richi hanya terdiam
sambil meredam sakit di kepalanya dengan perlahan menghapus apa yang ingin ia
paksakan untuk mengingatnya. Karena tak mendapat jawaban, Arya hanya
menelengkan kepala dan mulai menarik tangan Richi lagi dengan agak keras agar
Richi mau beranjak dari tempatnya sebelum ia ketinggalan pesawat, tapi Richi
sama sekali tak bergerak dan malah membiarkan Arya menariknya tanpa arti.
“Ayolah ... kau kan
Rajawali ... kau bilang kau Rajawali ... dan kau memang Rajawali ... Rajawaliku ...” Arya mengucapkan kata terakhirnya dengan agak pelan agar Richi tak
mendengarnya.
“Jika ...” Richi tiba-tiba bersuara dan membuat Arya berhenti menariknya. Ia memandang Richi.”Jika kau memang bagian dari masa laluku,” lanjutnya,”Maukah kau menungguku? Hingga aku dapatkan kembali semua memori tentang dirimu yang tersembunyi dalam otakku? Hingga tiba waktuku untuk kembali padamu, bisakah aku bersamamu? Mampukah kau menantiku hingga kudapatkan kembali kenangan tentang diriku bersamamu? Jika aku Rajawalimu ... bisakah kau bersabar untuk itu?” Arya termenung beberapa saat merasakan arti dari barisan pertanyaan yang dilontarkan oleh Richi. Ia kaget ketika menyadari sinar di mata Richi yang dulu selalu menemaninya kini kembali mengusiknya.

Jantung Arya berdetak
dengan cepat. Ia menutup matanya dan menggenggam erat tangan Richi.
Arya melambai kearah
pesawat Richi yang baru saja lepas landas dari bandara. Air matanya mengalir
dengan deras, tapi sebuah senyuman terkembang dengan indah di wajahnya. Ia sama
sekali tak tau apa yang harus ia katakan untuk menjawab rentetan pertanyaan
Richi dan memutuskan untuk membawa Richi berlari sebelum ia benar-benar
tertinggal oleh pesawat dan membuat orang tua mereka berdua cemas.
Ia tau ini yang terbaik
bagi Richi. Ia mengerti saat ia menggenggam erat tangan Richi. Richi
membutuhkan perawatan agar ia kembali mengingatnya. Mengingat kenangan mereka. Di
saat ia berlari dan menarik Richi, ia memutuskan untuk menjawab sebelum Richi
pergi darinya untuk kedua kali.


‘Ya,
aku akan menunggumu.. jika itu akan menghabiskan waktuku, aku akan tetap
menantimu.. aku telah menunggumu selama 5 tahun dan kurasa aku masih bisa
menunggumu selama 3 tahun lagi, atau selama apapun yang kau minta.. hingga tiba
saatnya kau mengingatku, mengingat masa lalumu bersamaku.. aku akan menantimu
dan takkan pernah ragu, karena kau Rajawaliku..’
ReplyDelete✔ alat pembesar penis
✔ obat kuat sex
✔ obat pembesar penis
✔ obat perangsang wanita
✔ produk kesehatan
✔ sex toys pria
✔ sex toys wanita
✔ obat pelangsing badan