Ratna Juwita
“Kau
harus membawanya kembali! Ia akan mati jika di sini!” Erza berteriak kalang
kabut. “Kacau! Kacau!” ia kembali melampiaskan kekesalannya. Mengotak-atik
sistem dimensinya.
Aku gugup. Bingung. Tak tau apa yang harus kuperbuat,
sedangkan manusia bercawat dengan wajah setengah kera itu memandang berkeliling
dengan mata merengek. Ia seakan segan pada seluruh monitor yang mengacu
kepadanya.
***
“Huuh..,” aku menghembuskan nafas tertahan. Kupegang erat
tangan kasar dan besar si manusia purba tanpa mampu menatapnya. Besar badannya melebihi
kami, tapi ia tidak ganas karena ia berada pada masa food producing. Seharusnya aku hanya meneliti diam-diam, tapi
manusia purba ini menemukanku dan tanpa kusadari mengikutiku tanpa kuketahui. Insting
‘menghilangkan hawa keberadaan’ yang memang mengalir dalam darahnya membuat
semuanya menjadi rumit.
Tidak hanya akan mati jika ia tidak dikembalikan sebelum
waktu berlalu 12 jam sesudahnya, tapi ini juga merupakan sebuah pelanggaran UU
Penelitian abad 23. Para peneliti dilarang keras melakukan apapun pada masa
lalu yang dapat mengubah masa depan, sehingga mengancam hilangnya 90 juta
penduduk Tata Surya Galaksi Andromeda.
“Ugh..ugh uh.. ugh uh.” Manusia purba itu kebingungan
dengan lalu lalang di laboratorium kami. Ia berulangkali mencoba melepaskan
diri dari jangkauanku.
“Tidak! Kau tidak boleh kemanapun! Ini semua karena kau
mengikutiku!” aku membentaknya, membuatnya beringsut ke bawah kursi hologram
dengan wajah ketakutan. Aku meremas rambutku risau.
***
Erza berlari dengan panik ke arahku. Menubruk dan
mengguncangkanku, “Kejadian ini tercium! Polisi GA akan kemari dalam waktu 4
jam!” Erza menghentakkan tubuhku ke meja lab. Keringatku mengucur deras
mendengarnya, kegalauan menyelimutiku segera. “Bawa dia kembali!” ia menuding
ke arah manusia purba yang dikurung disudut ruangan. Aku meliriknya.
“Aku tau harus bawa dia kembali! Kita juga masih
mengusahakannya! Kau sendiri tau, mesin dimensi hanya bisa digunakan sekali
dalam kurun waktu 1 tahun!” aku ikut mengimbangi Erza berteriak, membuat
beberapa pekerja lab. melirikku sekilas. Mereka sibuk dengan rencana pengoperasian
mesin dimensi lagi dalam waktu singkat. Walaupun sulit jika tidak merusak
sistem mikronya.
Erza menghempaskan tubuhnya pada meja kontrol lab. dengan
kesal, ”Habis sudah! Kita akan dipenjara.. selamanya!” ia beringsut duduk dan
memegangi kepalanya dengan lunglai. “Padahal..,” ia tercekat, “Jika penelitian
ini berhasil aku akan bisa membayar mahal atas kematian papa karena penelitian
ini!” sebutir air bening keluar dari mata lentiknya. Aku mengalihkan pandangan.
Pikiranku berkecamuk. Sepertinya, semua kejadian ini
adalah salahku. Aku berpikir keras mencari solusi, apa yang bisa kubayar atas
kecerobohanku ini?
***
Aku mengotak-atik komputer Luminaku dengan cepat. Polisi
GA telah sampai di planet ini dan aku memutuskan untuk menyelesaikannya
sendiri.
“Sistem Shift,
oke!” salah seorang pekerja lab. nomer 23 melaporkan dari earphone. Aku
mengangguk. Sementara Erza menunggu kedatangan polisi itu, aku akan menyelesaikan
semuanya menggunakan Dimensi Alpha dengan resiko mega. Waktunya singkat,
kemungkinan aku takkan bisa kembali ke masa ini. Meskipun begitu, hal ini
takkan merubah masa lalu karena begitu aku sampai di sana, mungkin tubuhku akan
lenyap dilahap masa.
Aku tidak bisa jika harus membunuhnya. Setiap mahkluk
berhak untuk hidup, apalagi jika itu seorang manusia sekalipun manusia purba. Aku
yang membawanya, jadi aku yang harus mengembalikannya. Orang tuaku tak pernah
mengajarkanku untuk melarikan diri sesulit apapun masalah yang kuhadapi, selalu
ada solusi sekalipun harus menuai pengorbanan diri.
Ku klik tombol ‘run’
pada layar monitor Lumina di depanku dan diikuti sistem ‘patch’ yang dijalankan serentak oleh 27 pekerja lab. Cara lama
bukan? Tapi ‘cara lama’ inilah jalan keluar satu-satunya sekalipun itu berarti
mengubah sistem mikro Dimensi Beta ke Dimensi Alpha agar bisa digunakan sekali
lagi dengan resiko tinggi.
Terlintas di benakku kala Erza untuk pertama kali
menangis di depanku, dia yang kutahu adalah wanita paling tegar yang pernah
kutemui, hanya yang tak kutahu ternyata dia selemah itu jika mengingat tentang
papanya. Aku termenung. Jariku berhenti di atas tuts Key2D, melirik manusia purba yang tak mengerti apa-apa, ini dunia
yang asing baginya.
“Zi, kau yakin?” Anches bertanya dari balik meja pekerja
lab. nomer 2. Aku tersenyum getir. Tidak ada waktu untuk memutar keputusan yang
telah kutetapkan, tidak ada waktu untuk kembali memikirkannya berulang kali.
Kutekan tuts ‘enter’ pada monitor
Lumina pusat dan mesin Dimensi Alpha mulai bereaksi.
Gelombang biru mirip Aurora
memenuhi ruangan. Manusia purba itu melompat-lompat dan beringsut ke belakang,
instingnya menyatakan tanda bahaya pada apa yang terjadi di sini. Aku berjalan
mendekatinya, kupakai kaca mata hologram untuk menyingkap cahaya berkilau dari
gelombang Dimensi Alpha. Kutekan tombol pada pagar Asteroid dari cincin Saturnus, salah satu planet dari Tata Surya
Galaksi Bimasakti yang telah hancur dulu. Kini ternyata diketahui bahwa Asteroid lebih kuat dibandingkan baja
dari Bumi.
Pagar Asteroid terbuka lebar, memberikan ruang cukup untuk
manusia purba itu lewat. Tiba-tiba alarm berbunyi. Nyaring. Membuat manusia
purba itu semakin tak mau melewati pagar Asteroid ini. Aku memandang
berkeliling dengan panik.
“Ozi! Ada kerusakan!” bunyi alarm itu menggema di ruang
lab. ini. Tak hanya aku, seluruh pekerja terlihat panik dan mencoba mengatasi
ini. Mereka segera mengotak-atik sistem mikro Dimensi Alpha. Aku mencoba
menarik manusia purba dengan gugup, sekuat tenaga agar dia menuruti perintahku.
Ia melompat ketakutan, lepas dari genggamanku, meloncat ke atas monitor
Luminaku. Menghancurkannya dengan kaki dan berat tubuhnya.
“Hentikan! Kau bodoh!” teriakku marah, menariknya turun
dari monitor Luminaku sebelum seluruh sistemnya benar-benar hancur. Cahaya
gelombang Dimensi Alpha mendadak berubah warna menjadi merah, kekacauan itu
membuat para pekerja semakin panik.
“Gelombang berubah! Arah dimensinya tidak dapat dijamah! Berputar
tak tentu arah!” Anches berteriak dari mejanya. Mata dan jarinya tak lepas dari
barisan kode yang menuntut untuk berhenti dengan sinyal merah. Jarinya menari
lincah di atas Key2D.
BRAK!
Aku menoleh kaget ke arah pintu lab. yang terbuka lebar. Seseorang
berdiri dengan wajah pucat pasi menatap semua kekacauan ini. Erza.
“Ada apa ini?” ia bertanya kalut memandang ke segala
penjuru ruangan, tak ada seorangpun dari pekerja yang menjawab pertanyaannya,
mereka berkutat pada layar monitor di depannya. Tak lama kemudian, pandangan
Erza bertumpu padaku, ia menatapku dengan mata terbelalak dan mulut menganga. “Ozi!
Apa yang mau kau lakukan?!” pandangannya beralih pada manusia purba yang kuraih
dari atas monitor Luminaku. Ia mengerutkan kening, masih dengan mulut terbuka.
“Aku tak bisa meng-handle
lebih dari ini!” pekerja nomer 27 segera berteriak dengan peluh berjatuhan dari
dahinya, tak ubahnya para pekerja lain. “Cepat!” imbuhnya.
“Tapi ruang Dimensi Alpha tidak terprediksi arahnya!
Angka masanya berputar sangat cepat!” pekerja nomer 5 menyahut dari bawah. Mereka
saling mengontrol dan menginformasikan bagian mereka masing-masing.
Aku berlari, menarik manusia purba itu mendekat ke arah
gelombang Dimensi Alpha sebelum tertutup.
“Tidak, Zi! Kau gila!” Erza berlari menahanku. “Kau bisa
mati! Mesin ini sudah tak bisa digunakan lagi!”
“Tidak apa! Aku tak peduli bahkan jika aku tak bisa
kembali!”
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Panas. Aku mengernyit
kesakitan memandang Erza yang berurai air mata. Ia menatapku nanar, tersirat
ketakutan yang sangat di matanya. Alarm kembali berbunyi. Aku mendongak meminta
keterangan atas ini, gelombang Dimensi Alpha semakin mengecil.
“Ada apa?” tanyaku pada para pekerja yang masih menghadap
monitor Lumina masing-masing.
“Hilang! Angka masanya lenyap! Sekarang kita tidak tau
kemana dimensi ini mengarah!” pekerja nomer 6 mengotak atik tuas kontrol dimensi
dari tempatnya.
“Patch ke
makro! Jalankan sistem DacapoEx!”
intruksiku cepat. Erza menatapku seakan aku benar-benar orang gila.
“Tapi..”
“Sekarang!” potongku.
“Patch run!” pekerja
nomer 12 terlihat mengatakan dengan enggan, jarinya terlihat bergetar seakan
ragu untuk menekannya.
“Jalankan!” tegasku. Ia tersentak.
“DacapoEx enter.”
pekerja 8 melaporkan dengan suara lemah.
“Angka masa terlihat, 993 tahun dimasukkan, 5 detik!”
“Ozi!”
“Erza..” aku mengimbangi kegalauannya, “Dengarkan aku! Aku..
aku mencintaimu, maksudku maaf merusak penelitian untuk papamu, aku tidak mau
kau menangis lagi!” Erza terlihat kalut dengan pikirannya. Aku melangkah masuk
bersama manusia purba yang hanya menurut sekalipun tangannya menegang, ke
gelombang Dimensi Alpha.
“Tidak!” Erza berteriak. Berlari mengikutiku masuk dan
meraihku.
“Kau gila! Kau bisa ikut lenyap! Kau tau sistem ini sudah
tak berfungsi semestinya! Kau bisa hilang seakan kau tak pernah dilahirkan!”
aku mencoba mengenyahkan tubuh Erza kembali ke ruang lab. tapi ia bersikukuh.
Ia memelukku. “Meski di lain masa atau mati, aku ikut kemanapun
kau pergi!” ia berkata dengan tegas, sedangkan pandanganku semakin lama semakin
kabur dan aku merasa semuanya lenyap dari sana.
***
Ada di Buku Bahasa Indonesia kelas VII halaman 53, dengan banyak perubahan.
Link download bukunya:
https://bsd.pendidikan.id/data/2013/kelas_7smp/siswa/Kelas_07_SMP_Bahasa_Indonesia_Siswa_2017.pdf