Ratna Juwita
PENDAHULUAN
Minat
baca di Indonesia yang tergolong rendah membuat sumber daya manusia kita pun
menjadi rendah. Masalah utama dari berbagai masalah yang menghadang
bertubi-tubi di negara Indonesia kita yang tercinta ini adalah kurangnya
pengetahuan masyarakat akan kondisi di lingkungan sekitarnya akibat minimnya
budaya membaca. Masyarakat cenderung masih mengabaikan pendidikan dan enggan
melestarikan budaya membaca yang terbukti menjadikan Jepang, yang merupakan
negara dengan minat membaca terbesar di dunia, sebagai negara yang maju
ditinjau dari kualitas sumber daya manusia serta teknologinya. Apalagi jika
mendengar kata ‘karya sastra’, mungkin sebagian kecil akan tertarik, tapi akan
ada lebih banyak lagi orang yang langsung memilih untuk ‘melarikan diri’
daripada mencoba membacanya barang sebentar. Salah satu hal yang akan langsung
terpikirkan oleh kebanyakan orang begitu mendengar ‘karya sastra’ adalah sebuah
puisi.
Ya, sebuah puisi akan cukup untuk mewakili ‘kesan fisik’ dari sebuah
karya sastra, tampilannya yang terkesan sedikit dan lebih ringkas akan lebih
banyak menarik minat baca bahkan terhadap orang yang tidak suka membaca sekalipun.
Mereka kebanyakan akan memilih untuk membaca sebuah puisi dibandingkan membaca
cerpen, apalagi novel. Setidaknya, ‘karya sastra’ dalam bentuk puisi akan lebih
cepat selesai dibaca dibandingkan cerpen dan novel. Tapi hal ini tidak akan
begitu saja mempengaruhi ‘pengaturan pikiran’ yang telah tertanam pada
pemikiran orang Indonesia untuk menelaah makna, mungkin banyak orang yang lebih
memilih untuk ‘melarikan diri’ lagi daripada susah payah mencoba menemukan arti
yang tersembunyi dari goresan demi goresan yang tertera dalam puisi. Meski
sesedikit itu.
Berbicara
mengenai sebuah puisi, kita diingatkan kembali pada Chairil Anwar yang namanya
sudah tidak akan asing lagi di telinga kita. Bahkan, di buku pelajaran siswa sekolah
dasar pun namanya pernah—dan tidak tahu apakah sekarang masih—singgah. Di
antara puisi-puisinya yang mungkin paling banyak dikenal adalah puisi berjudul ‘Aku’.
Ia merupakan salah satu sastrawan muda yang dikenal menghasilkan karya-karya
yang sangat bagus pada era perjuangan, yaitu angkatan tahun 1945-an. Puisi-puisinya
pun memang banyak mengambil setting
mengenai perjuangan dan pergolakan kemerdekaan pada masa itu. Menengok
sastrawan lain yang puisinya tidak kalah digandrungi, kita mengenal sosol Sapardi
Djoko Damono dengan puisinya yang berjudul ‘Aku Ingin Mencintaimu Dengan
Sederhana’ ataupun ‘Hujan Bulan Juni’. Ia digolongkan sebagai sastrawan pada
angkatan 66-an, puisi-puisinya banyak disukai karena ‘terlihat’ sederhana, tapi
memiliki makna yang mendalam bagi pembacanya, bahasa yang biasa ia gunakan pun
tak terlalu ruwet untuk dipahami oleh orang awam sekalipun, itulah salah satu
sebabnya banyak orang yang menyukai puisi-puisinya.
Melompat dari
sastrawan-sastrawan di Indonesia, kita mencoba mengintip sastrawan-sastrawan
terkenal dari mancanegara, khusunya negara bagian barat. Kita mengenal nama William Shakespeare dari Inggris dengan
karyanya yang terkenal adalah Romeo and
Juliet, Mark Twain dari Amerika
dengan karyanya Tom Sawyer, Hemingway yang juga berasal dari Amerik
dengan hasil karyanya The Old Mand and
The Sea, dan lain sebagainya. Dan penyair yang menarik minat saya untuk
mengulas salah satu puisi karyanya adalah Hsu
Chih-Mo atau lebih dikenal dengan Xu
Zhimo yang berasal dari Negeri Tirai Bambu, Cina.
Hsu Chih-Mo
lahir di Haining, Zhejiang pada tanggal 15 Januari 1897 dan meninggal dalam
sebuah kecelakaan pesawat pada tanggal 19 November 1931 di usianya yang baru
menginjak 34 tahun. Ia dikenal sebagai penyair modern yang hebat di Cina,
karya-karyanya yang kebanyakan bergenre cinta banyak digandrungi sastrawan
terlebih muda-mudi di Cina. Menurut pengamatan saya mengenai biografi
studi-studi yang pernah ia tekuni, saya menyimpulkan bahwa ia menggemari dunia
politik, terbukti dari jurusan hukum yang diambilnya di beberapa universitas
baik di Cina maupun di Inggris. Sekalipun ia juga mengambil jurusan ekonomi,
tapi ia terlihat paling banyak terjun di jurusan perpolitikan.
Hsu Chih-Mo adalah anak yang dibesarkan
di bawah didikan ekstrem keluarganya yang kental dengan budaya Cina
tradisional. Hsu Chih-Mo juga dikenal
sebagai salah satu penyair Cina pertama yang dengan sukses merubah kealamian
bentuk keromantisan budaya barat menjadi puisi Cina modern. Dia juga bekerja
sebagai editor dan profesor di beberapa universitas di Cina sebelum akhirnya ia
maninggal saat kecelakaan pesawat 1931. Ia pernah menikah dengan seorang wanita
bernama Zhang Youyi yang ternyata
tidak berjalan dengan mulus yang kemudian menyebabkannya menikah lagi dengan
seorang wanita bernama Lu Xiaoman.
Seperti
yang kita ketahui, Hsu Chih-Mo lahir
di Cina, namun ia juga pernah singgah di Inggris untuk berkuliah di sana. Sedikit
banyak, lingkungan Cina dan Inggris yang pasti memiliki banyak perbedaan baik
dari segi geografi sampai pada kebudayaannya, memiliki peranan tersendiri dalam
penciptaan puisinya. Tidak ada data yang terperinci mengenai kapan ia menulis
puisi yang akan saya ulas pada kali ini yang berjudul ‘Datang Dara, Hilang Dara’,
tapi dapat kita angankan ia menulisnya antara rentang tahun 1909 sampai dengan
1931.
Saya menyimpulkan hal itu karena ia lahir di tahun 1897 dan saya
perkirakan butuh waktu 13 tahun kemungkinan hingga ia benar-benar dapat
menciptakan sebuah puisi, terlebih karya sastra bernilai tinggi seperti ini. Mungkin
di Indonesia, usia 13 tahun merupakan usia yang masih tergolong labil dan tidak
memungkinkan seorang anak sekecil itu menciptakan sebuah puisi yang bernilai
seperti itu, tapi ada perbedaan dari segi tahun dan tempat di sini, pada
tahun-tahun seperti itu, umur 13 tahun telah dianggap cukup ‘besar’ hingga di
Indonesia sendiri pun pada tahun-tahun itu banyak anak yang bahkan telah
memiliki seorang anak. Kemudian saya berpikir mengenai Cina yang berbeda
kebudayaan dengan kita, bahkan anak berusia 12 tahun telah dianggap dewasa di
sana dari segi fisik pada tahun-tahun sekarang ini, apalagi pada rentang tahun
1897 hingga 1931. Itulah sebabnya mengapa saya menyimpulkan bahwa ia menulis
puisinya ini dalam rentang tahun tersebut.
PEMBAHASAN
A. Bahasa dalam Puisi Hsu Chih-Mo
DATANG
DARA, HILANG DARA
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lagu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tidak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
Malam kelam mencat hitam
bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
(diterjemahkan
dari puisi Hsu Chih-Mo, A Song of the Sea)
Berkenaan
dengan puisi tersebut, saya menangkap makna ‘dara’ dalam kalimat-kalimat dalam
bait puisi itu merujuk pada ‘dara seekor burung’. Mengapa bisa begitu? Awalnya
memang terlihat percakapan biasa antar manusia, tapi dilihat dari segi
penulisan kata-katanya yaitu ‘dara’ bukan ‘Dara’, saya menyimpulkan bahwa itu
adalah nama spesies salah satu burung. Kita sendiri tahu dan mengenal dengan
baik bahwa penulisan untuk nama orang harus diawali dengan huruf kapital,
sedangkan huruf kapital untuk ‘dara’ hanya kita temukan di awal kalimat atau
awal bait saja. Hal ini juga disebabkan oleh penulisan EYD kita yang
mengharuskan huruf kapital untuk sebuah awalan kalimat, paragraf, dan terutama
yang ada dalam puisi tersebut adalah tanda petikan langsung. Karena setelahnya,
huruf-huruf untuk ‘dara’ kembali menjadi huruf-huruf kecil biasa yang telah
jelas memaparkan pada kita bahwa itu adalah nama spesies burung yang tidak
harus memakai huruf besar untuk beberapa sebab penulisan. Kemudian pengulangan
pada kata ‘dara’ pada baris pertama bait pertama puisi ini menunjukkan ‘penekanan’
siapa dara sebenarnya dan ada apa dengannya.
‘Dara, dara yang
sendiri
Berani mengembara’
Saya
menemukan kejanggalan pada 2 baris pada bait pertama tersebut yang mungkin
berujung pada makna yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca. Dara, dara
yang dimaksud dalam puisi ini adalah burung dara yang ternyata memang banyak
tinggal di pesisir pantai Cina, tepatnya di pantai timur Cina Zhejiang dan
Provinsi Fujian. Dan daerah Zhejiang merupakan tempat kelahiran dari Hsu Chih-Mo, jadi dapat kita simpulkan
di sini bahwa Hsu Chih-Mo membuat
puisi ini berdasarkan pengamatannya di lingkungan sekitar ia tumbuh yaitu
daerah Zhejiang yang merupakan tempat berkembang biaknya populasi dari Burung Dara-Laut
Cina. Kemudian, kejanggalan yang saya maksudkan di atas adalah pada kata ‘dara
yang sendiri berani mengembara’ karena pada kenyataannya dan hasil
penelitiannya, Burung Dara-Laut Cina tidak suka hidup sendiri-sendiri. Burung Dara-Laut
Cina merupakan tipe burung yang hidup secara bergerombol dan sering tampak di
pesisir pantai timur Laut Cina seperti yang saya katakan tadi. Apakah kemudian
yang menyebabkan penyair menyebutkannya ‘sendiri mengembara’?
Saya berpikir
kembali mengenai riwayat penyair, Hsu
Chih-Mo pernah tinggal di Inggris dan tentu saja dapat dikatakan bahwa ia
merupakan minoritas di sana. Ia tidak datang ke Inggris bersama sanak
saudaranya, melainkan seorang diri. Mungkin yang dimaksudkan oleh Hsu Chih-Mo di sini adalah penggambaran
mengenai dirinya sendiri yang sendiri pergi ke Negara Inggris untuk kuliah. Orang
Cina lekat dengan pencitraan bahwa mereka suka ‘bergerombol’, meskipun tengah
berada di negeri orang pun mereka akan membentuk lokasi sendiri atau kalaupun
tidak, mereka akan berkumpul di suatu tempat tertentu dan pada waktu tertentu
pula, yang kemudian ia gambarkan seperti burung dara-laut Cina. Sedangkan ia
sendiri sebagai burung dara yang terbang sendiri dengan berani mengembara
meninggalkan gerombolannya, seperti burung yang menantang maut dengan hidup
sendiri padahal ia adalah tipe burung yang hidup secara bersama-sama.
‘Mencari di pantai
senja,
Dara, ayo pulang saja,
Dara!’
Pada
bait pertama ini dan baris ketiga serta keempat di atas, menunjukkan bahwa
seseorang tengah berbicara kepada dara, seseorang yang lain, satu tokoh lagi
selain dara. Dari dialognya yang berbentuk puisi itu, terlihat jelas bahwa
seseorang yang mengatakan ‘dialog’ ini jelas sekali peduli kepada dara, ia
meminta dara untuk pulang, sangat khawatir apabila dara yang seharusnya hidup
bersama-sama dengan kelompoknya justru terbang sendiri ingin mengembara. Saya
tafsirkan bahwa dialog ini adalah orang yang sangat dekat dengan dara, apabila
dara itu adalah Hsu Chih-Mo sendiri,
maka kemungkinan besar orang yang paling dekat dengannya dan sangat khawatir
padanya yang ingin merantau menempuh pendidikan di Inggris adalah orang tuanya.
Pilihan kata ‘pulang’ pada baris di atas menunjukkan bahwa sebenarnya mereka
telah berjalan jauh dari rumah, di pesisir pantai, saya berpikir mengenai
transportasi laut, yaitu sebuah kapal. ‘pulang’ merupakan kata yang menandakan
berpindahnya seseorang ke tempat asalnya, ke rumah, ke kampung halaman, dan
sebagainya. Jelas sekali penyair ingin menyampaikan bahwa ia telah berada—yang
saya tafsirkan di sini sebagai—pelabuhan untuk berlayar ke Inggris, tapi orang
tuanya berusaha untuk mencegahnya pergi dengan menyuruhnya ‘pulang’. Kata ‘pulang’
ini tidak mungkin dikatakan apabila saat itu dara atau Hsu Chih-Mo masih berada di rumah, karena tidak mungkin kata ‘pulang’
akan digunakan oleh seseorang ketika ia telah berada di tempat asalnya,
sebaliknya apabila penyair memaksudkan dengan ‘menetap’, penyair akan
menggunakan pilihan kata ‘tinggal’ yang akan menjadi ‘Dara, tinggallah saja,
dara!’.
Lalu, ‘mencari di pantai senja’, apa yang dimaksudkan penyair dengan
ini? Apa yang coba penyair cari di sebuah pantai? Dan mengapa senja? Pantai. Pantai
adalah batasan antara darat dan laut, yang dicari oleh penyair di pantai adalah
mimpi, mimpi menuju harapan yang baru di Inggris, negeri dimana ia akan
mengembara. Pantai adalah tempat dimana ia menaiki transportasi untuk
menyebrang ke Inggris, meninggalkan tanah airnya, menjemput mimpi baru. Lalu
senja? Sedangkan senja adalah batasan antara pagi dan malam, antara sinar dan
kelam, antara aktivitas dan tidur. ‘di pantai senja’ mengisyaratkan batasan
antara 2 kehidupan yang berbeda, berbeda antara Inggris dan Cina, berbeda
geografi, berbeda kebudayaan, berbeda ras, dan sebagainya. Apa yang ia cari
dari segala perbedaan itu? Ia mencari kehidupan baru yang belum pernah ia temui
sebelumnya, mencari ilmu dan kata-kata baru yang mungkin bisa mempertajam
insting politik dan naluri sastranya terhadap puisi. Ia dengan berani, hijrah
dari Cina ke Inggris, sendiri.
Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam
menderu
Menyapu pasir, menyapu
gelombang
Bait
ini menunjukkan ‘dialog’ dalam bentuk puisi dari dara yang menentang ajakan
seseorang untuk pulang. Pada baris kedua dari bait kedua tersebut tertulis ‘biar
angin malam menderu’, telah tertera jelas bahwa setting yang diambil penyair adalah malam hari, dan ‘angin malam
menderu’ yang terdapat dalam baris tersebut berarti tengah terjadi badai yang
besar sehingga membuat angin yang seharusnya tak memiliki suara, menjadi begitu
terdengar geraknya dengan penggambaran diksi ‘menderu’. ‘menderu’ seperti yang
kita kenal pada kata-kata di keseharian kita berarti bunyi bergetar disertai
suara bising seperti suara kendaraan bermotor yang baru saja dinyalakan, saking
kerasnya sampai angin terdengar ‘menderu’ hanyalah bisa didengar apabila
terjadi sebuah badai. ‘menyapu pasir, menyapu gelombang’ bermakna menggerakkan
segala sesuatu yang ada dengan kekuatannya, angin sejenis badai pasti bisa
dengan mudah menerbangkan butir-butir pasir dan memang anginlah yang
menyebabkan gelombang-gelombang di laut, selain gerakan dalam laut itu sendiri.
Kemudian, pertanyaan selanjutnya yang terlontar adalah mengapa angin malam
menderu hingga menyapu pasir dan menyapu gelombang? Saya coba berpikir, apa
kira-kira yang penyair ingin sampaikan dari pilihan katanya ini. ‘angin malam’
adalah angin yang dingin dan tidak baik bagi kesehatan tubuh manusia, maka dari
itu malam hari dipergunakan oleh manusia untuk beristirahat dengan tidur. Saya
menangkap makna ‘angin perusak yang dahsyat’, pada penggalan baris puisi
tersebut, apa yang dimaksudkan dari perusak? Yaitu kegamangan yang mungkin
menghambatnya untuk pergi ke Ingris, meruntuhkan kebulatan tekadnya untuk ‘mengembara’,
penyair tidak peduli pada pada segala hal yang akan menghadangnya ketika berada
jauh dari kampung halamannya, ia ingin menjemput mimpinya di Inggris. Meski,
mungkin ‘angin’ itu meruntuhkan semangat orang lain, ia tidak ingin membiarkan ‘angin’
itu mengendurkan semangatnya.
Dan sejenak pula halus
menyisir rambutku
Aku mengembara sampai
menemu
Penyair
ingin ‘menemu’, saya pikir ia ingin mencapai tujuannya. Entah untuk menjadi
seorang penyair Cina modern dengan menerjemahkan beberapa puisi romantis gaya
barat, ataukah untuk menjadi seorang sarjana hukum seperti yang ditekuninya.
Dara,
rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!
Ini
bait yang merupakan ‘dialog’ berikutnya yang diperankan oleh tokoh selain dara.
Saya berpendapat, untuk sebuah dialog untuk apa seseorang mengatakan ‘rambutku
lepas terurai’ yang apabila dihubungkan dengan dialog berikutnya seakan hal itu
tidak ada artinya, tapi coba kita lihat ini secara puisi. Makna dari kata
‘terurai’ adalah bercerai berai, tidak lagi menjadi satu, terurai karena
sesuatu tak lagi bisa menyatukannya. Apabila kita hubungkan dengan ‘peristiwa’
dalam puisi, maka kemungkinan yang dimaksud di sini adalah tidak lagi
bersatunya mereka, tidak bersatunya lagi keinginan mereka untuk bersama,
sesuatu yaitu keyakinan sang penyair telah ‘menguraikan’ mereka, dsb.
Kesimpulannya, makna baris puisi itu adalah bahwa seseorang yang penting bagi
tokoh selain dara yaitu dara itu sendiri akan pergi mengejar impiannya,
menguraikan diri.
Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lagu.
Di sini, dara bersikeras untuk tidak kembali
dan memantapkan keputusannya pergi. Ia ingin ‘berlagu’ bersama bintang dan
bayu. ‘berlagu’ dapat kita maknai dengan ‘menimbulkan suara’, ‘menimbulkan
bunyi yang merdu’. Mungkin penyair ingin menciptakan ‘kemerduan’ dengan
merantau ke Inggris. Untuk hal ini, kita simpulkan saja ‘kemerduan’ mengenai
menciptakan sebuah puisi yang bagus sekaligus menuntaskan pendidikan hukum di
sana. Bintang dan bayu berlagu maksudnya adalah bahwa segala di alam ini bisa
dijadikan sebuah puisi, memiliki ‘suara’nya sendiri, memiliki lagu yaitu sebuah
kehidupannya sendiri, ia juga ingin memperoleh kehidupannya sendiri yang dapat
ia rasakan bahwa ia menikmati karena ia senang melakukannya. Ini penyair katakan
dari ‘sampai ke kalbu’ yang tertera pada baris ke tiga. ‘kebebasan lagu’
berarti tidak terikat, ia membuat lagunya sendiri tanpa diatur oleh siapapun,
tidak juga orang tuanya. Ia ingin menjadi orang yang bebas dimanapun ia berada
sekalipun di negeri asing, menulis puisi dengan cirinya sendiri, seperti pada
contoh puisi ini yang berbentuk seperti sebuah dialog drama. Pada bait ini pun
kita ditunjukkan pada fonologi kata di setiap akhir barisnya, semua berakhiran
dengan huruf ‘u’, sehingga apabila dibaca akan menimbulkan suara yang
bersinambungan dan memiliki rima yang tepat. Berarti, dengan kata lain dapat
kita simpulkan apabila Hsu Chih-Mo
memakai diksi yang disesuaikan dengan baris-baris sebelumnya yang berakhiran
dengan bunyi vokal ‘u’.
Dara,
dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.
Sekali lagi, nampak jelas latar suasana dalam
puisi adalah ketika datangnya badai, pada malam hari yang langsung ditunjukkan
dari baris kedua bait di atas. Awan hitam mendung yang akan datang menutup
adalah masalah-masalah yang akan datang menghadang sesampainya maupun dalam
proses perjalanan dara. Kita imajikan kembali kepada penyair yang dikhawatirkan
akan menemui kesulitan hidup hingga menutup cahaya, menjadikannya mendung
dengan awan kegelisahan dan kesenduan, membuat hidup tak lagi berwarna
melainkan hanya gelap yang menghiasi hidupnya. Menutup pula jalannya menuju
impiannya, yaitu menjadi seorang penyair dan seorang sarjana hukum. ‘nanti
semua hilang, kau hilang jalan’, berarti bahwa tokoh atau orang tua Hsu Chih-Mo tidak ingin semangat anaknya
itu akan luntur apabila ia tinggal di sana dan masalah memenuhi rongga
tekadnya, memenuhi tiap relungnya dengan kegelapan yang tak berkesudahan, tapi
penyair tahu dalam rongga dan relung itu ia akan selalu menyediakan api dan
lilin kecil yang akan memberikannya sedikit cahaya untuk sekedar menghirup
nafas dan menemukan secangkir kebahagiaan dan sesendok kepuasan. Masih tak
gentar, ia melanjutkan perjalanannya meski semua perkiraan orang tuanya akan
kehidupannya di sana tidak akan semulus yang diinginkannya.
Dengarkanlah,
laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang
Terdapat pilihan kata ‘mengamuk’ pada bait
ini. ‘mengamuk’ dapat diartikan sebagai sebuah’kemarahan’ yang besar, suatu
kegiatan yang bisa merusak sesuatu, kemarahan yang sangat, dsb. Siapa kira-kira
yang dimaksud penyair dengan mengimajinya dengan kata ‘laut’ ini? ‘laut’ saya
artikan sebagai kesulitan hidup, apabila si dara atau penyair mengembara ke
negeri asing, berapa banyak kesulitan yang dapat muncul kapan saja? Perbedaan
geografi, ras, dan budaya jelas menjadi mkesulitan paling utama. Makanan pokok
pun setiap negara bisa saja berbeda. Bisa saja hidup membuat kemarahan yang
besar apabila si burung dara atau penyair sedang berada di sana, jauh dari
orang tua dan sanak keluarga. Lalu, pilihan kata yang menarik selanjutnya
adalah ‘gelombang membuas berkejaran’. Dalam hidup, tidak ada kata mulus,
segala hal akan dipenuhi oleh segala rintangan, tantangan, hambatan, serta
gangguan. Tokoh selain dara khawatir, gelombang itu akan memakan dara,
menghabiskannya hingga membuatnya hilang entah kemana. Jelas sekali tokoh
selain dara berusaha sekuat tenaga untuk membawa dara kembali pulang pada
‘gerombolannya’.
Gelombang
tidak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.
Pada
bait ini, dara masih saja bersikukuh enggan pulang. Ia beralasan bahwa
‘gelombang tidak mau menelan aku’, ini dapat dimaknai sebagai kehidupan yang
tidak akan ‘menghancurkannya’ takkan membuatnya ‘hilang’, seperti biasanya
gelombang terkadang membuas, menelan apa saja yang tersapu olehnya.
Selanjutnya, dara mengatakan bahwa ia sendirilah getaran yang menjadikan
gelombang-gelombang itu, artinya penyair sendirilah yang pasti akan menyebabkan
‘gelombang’ kehidupannya sendiri kelak. Hal ini sesuai dengan asas sebab-akibat
yang pasti terjadi di dalam hidup, tidak akan ada akibat apabila tidak ada
sebab, begitujuga dengan semua masalah dalam hidup ini adalah buah dari apa
yang kita lakukan sebelumnya, menyangkut pilihan-pilihan yang selalu terjadi
dalam hidup sesuai dengan pepatah bahwa hidup adalah pilihan. Setiap pilihan
yang kita ambil pasti akan membawa resiko tersendiri tergantung bagaimana kita
menyikapinya, apakah dengan sikap yang bijaksana, ataukah malah membuat
semuanya bertambah menjadi semakin rumit. Karena itulah dara meyakinkan kepada
tokoh selainnya, bahwa dia sendirilah yang menyebabkan getaran hingga
menimbulkan gelombang.
Saya sedikit penasaran juga dengan baris keempat bait
tersebut yang menyatakan ‘atap kepalaku hilang ditelan busah dan lumut’. Atap
kepala? Menurut informasi yang saya dapatkan, umumnya atap kepala dari Burung
Dara-Laut Cina berwarna putih. Lalu ada apa dengan atap kepalanya? Atap kepala
adalah puncak dari tubuh kita, bagian tertinggi dari seluruh organ tubuh kita
di bawah helai rambut ataupun bulu. Pertanyaan berikutnya adalah mengapa atap
kepalanya ditelan busah dan lumut? Busah adalah buih-buih air laut saat
gelombang datang dan menyentuh bibir pantai, buih-buih berwarna putih itu akan
terlihat seperti busah, dan lumut? Lumut biasanya terletak di tepian
batu-batuan di tepi pantai, di bagian yang sudah pasti membelakangi cahaya
matahari.
Sebelumnya, terdapat kosakata ‘kedahsyatan air pasang’, maka dapat
kita tebak bahwa pasang turut menenggelambakn bebatuan di pantai dan menenggelamkan
dara disapu gelombang dan menghantam bebatuan. Mungkin Hsu Chih-Mo memaksudkan ini dengan kehidupan yang memang kadang
menjerumuskan siapa saja ke dalam lubang paling gelap dan dasar, hingga
menyebabkan keputusasaan, tapi dara mengatakannya tanpa takut. Berarti, penyair
pun menyikapinya dengan cara yang sama. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari
kehidupan yang terkadang memang tidak bersahabat, malah memusuhi, tapi tanpa
itu manusia takkan berkembang, takkan belajar apapun dari hidup padahal hidup
adalah belajar. Belajar memahami, memaknai, dan sebagainya yang dapat
dipelajari oleh manusia. Jadi, untuk apa mengkhawatirkan kemana hidup akan
membawa kita berlayar? Karena kitalah yang akan menentukan sendiri dimana kita
ingin berlabuh.
Dara,
di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Pada bait ini, tokoh selain dara
kehilangan ‘pandangannya’ dari dara yang bisa kita simpulkan bahwa ia
menghilang. Menghilang di sini dalam artian ia telah terbang jauh, menuju
tempat perantauannya, sama dengan Hsu
Chih-Mo yang tak gentar tetap memutuskan untuk pergi ke Inggris, entah apa
yang akan menghadangnya di sana. Tokoh ini menyebutkan mengenai ‘lagu’ sekali
lagi, menanyakan ‘mana lagumu?’, ‘mana kekaburan tubuhmu?’, apa yang coba
ditanyakannya? Menurut pendapat saya, seperti yang sudah saya bahas sebelumnya
bahwa ‘lagu’ yang dimaksudkan penyair dalam puisi ini adalah ‘syair’ dari
puisinya dan lika-liku kehidupannya sendiri. Jadi, dapat kita tuliskan sebagai
‘mana kau? Dan syairmu?’. Kekaburan tubuh, sebuah pilihan kata mengenai
‘samar-samar’, remang-remang’, ‘tidak jelas’, jadi awalnya hanya bayang-bayang
samar dari dara yang sempat tertangkap oleh tokoh karena awan gelap dan mendung
seperti yang tertera dalam puisi, lalu setelah itu lenyap tak berbekas karena
dara telah terbang menjauh, semakin jauh hingga ia ditelan oleh kegelapan pekat
malam dan badai.
Malam kelam mencat hitam
bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
Dari sini, dialog telah berakhir, dan
hanya ada bait puisi biasa yang menggambarkan kesedihan dari tokoh yang
kehilangan dara entah kemana. Membuat hari-harinya sendirilah yang dipenuhi
kegelapan karena tidak ada dara, dara pergi mengembara meninggalkannya meski
seharusnya ia tahu dara-nya mencoba untuk mencari sendiri kehidupan dengan
sisa-sisa keberanian yang dikumpulkannya susah payah untuk menopang tekadnya
yang begitu besar untuk mengenyam pendidikan di negeri Tirai Besi tersebut. ‘di
pantai, di senja tidak ada dara’, mengapa penyair masih membicarakan mengenai
‘senja’? Padahal telah jelas bahwa latar suasana dalam puisi tersebut seperti
yang digambarkan dalam dialog tokoh itu sendiri bahwa saat itu adalah malam dan
sedang terjadi badai, serta laut pasang. ‘senja’ yang dikatakan di sini mungkin
adalah usia senja yang ‘dikunyah’ oleh orang tuanya yang pasti tidaklah masih
muda. Di masa-masa senjanya pun mereka tak mendapati anaknya berada di sekitar
mereka untuk menemani, ia memutuskan pergi, meski tidak untuk selamanya.
Setidaknya, orang tuanya yang entah saat itu masih hidup ataukah telah
meninggal, tak menemukannya untuk beberapa waktu.
B.
Tema
Puisi ‘Datang Dara, Hilang Dara’
Dari bait demi bait yang telah saya ulas
di atas, kita dapat menyimpulkan dengan sangat jelas bahwa tema yang coba
disampaikan oleh Hsu Chih-Mo dalam
puisinya yang berjudul ’Datang Dara, Hilang Dara’ ini yaitu kisah pengembaraan
seekor burung dara yang sendiri melenggang, jauh dari kawanannya yang
menggambarkan hidup si penyair sendiri yang melenggang lepas dari Cina dan ‘gerombolannya’
yaitu orang-orang suku Tionghoa untuk menuntut ilmu dan meraih impiannya
menjadi seorang penyair dan sarjana hukum. Hal ini berkaitan dengan sikap
Burung Dara yang dengan berani meninggalkan kawanannya untuk pergi mengembara
meski ia tahu saat itu laut tengah mengamuk karena pasang, terjadi badai, dan
malam mendung hingga hanya cahaya samar yang berhasil menerobos masuk, menimbulkan
bayangan dirinya yang hanya terlihat samar dari sudut pandang ‘tokoh
selainnya’.
C.
Subject Matter pada Puisi ‘Datang Dara, Hilang
Dara’
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
Pada 2 bait awal puisi ini,
diceritakan 2 orang tokoh yaitu seekor dara dan tokoh selainnya sedang
melakukan dialog mengenai keputusan dara untuk mengembara ke tempat lain
seorang diri, padahal Burung Dara-Laut Cina yang diceritakan dalam puisi ini
adalah jenis burung yang hidup berkelompok dan bermigrasi ketika musim dingin
tiba. Tokoh selain dara ini melarangnya untuk pergi karena cuaca tak menentu,
awan menudungi langit malam hingga menjadi semakin pekat, air laut tengah
pasang hingga menenggelamkan bebatuan di pinggir pantai, dan badai yang besar
disertai gelombang. Namun, dara tidak mau kembali, ia bersikukuh untuk tetap
pergi dan meyakinkan kepada tokoh selainnya bahwa ia tak akan apa-apa. Ia
sangat yakin dengan apa yang telah diputuskannya dan tidak akan menyerah.
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
Bait di atas saya anggap sebagai konflik
dalam puisi ini karena tokoh dara dan tokoh selainnya semakin sama-sama ngotot
untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing bahwa dara tidak ingin kembali,
tapi tokoh selainnya gencar menyuruhnya untuk pulang.
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
Malam kelam mencat hitam
bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
Dan pada bait ini merupakan ending puisi
dimana tokoh selain dara tidak lagi melihat dimana dara berada. Dara menghilang
dalam pekatnya malam, deru badai, dan gelombang berkejaran yang mengamuk. Dan
tokoh selainnya mencarinya, hingga seperti kehilangan seseorang yang berharga,
membuatnya begitu putus asa.
D.
Feeling Hsu Chih-Mo Menuang ‘Datang Dara, Hilang Dara’
Dalam
puisi ini menggambarkan Hsu Chi-Mo yang mengungkapkan kronologi keputusannya
untuk hidup terpisah dengan keluarga dan sanak saudaranya yang digambarkannya
lewat Burung Dara-Laut Cina yang banyak dilihatnya di lingkugannya di daerah
Zhejiang, kemudian ia ceritakan bahwa Burung Dara itu pergi sendiri
meninggalkan kawanannya karena ingin mencari sesuatu yang entah apa, apakah
sebuah tempat persinggahan ataukah hal lain yang dia inginkan seperti sebuah
pulau karena naluri dari Burung Dara-Laut Cina suka mengunjungi pulau-pulau
ketika mereka bermigrasi saat musim dingin tiba. Yang saya simpulkan di sini
bahwa yang dicari oleh Hsu Chih-Mo
adalah mimpinya yang ingin ia kejar ke Negeri Tirai Besi, Inggris.
E.
Tone Hsu Chih-Mo dalam Kehidupannya
Hsu
Chih-Mo menurut saya dalam masalah Tone ini menginginkan pembaca untuk
mengetahui riwayat hidupnya sendiri, disertai berbagai amanat yang
disampaikannya dalam tiap baris puisinya. Puisi yang ia buat meyerupai sebuah
dialog drama sehingga membuatnya terkesan menarik dan unik untuk lebih dipahami
dan digali lagi makna yang terkandung di dalamnya. Pembaca diajak merenungi
hidup dan memahami apa yang dilakukan oleh Burung Dara dalam puisi, mengenai semua
kenekatannya, keberanian, dan ketidak peduliannya terhadap apa yang bisa
menjatuhkannya, atau bahkan bisa sampai membunuhnya dalam perjalanannya
mencapai apa yang diinginkann dan dicarinya.
PENUTUP
Kesimpulan yang
saya ambil dari kesuluruhan puisi tersebut adalah mengenai kehidupan yang tidak
harus berkutat pada satu tempat yang kita tinggali. Kita harus berani mengambil
langkah untuk memulai kehidupan baru yang mungkin bisa membawa kita menjadi
orang yang lebih baik lagi, dan bahwa sekeras apapun kehidupan yang kita jalani,
serta bagaimanapun kehidupan itu bisa menjatuhkan kita, ia takkan pernah bisa
menghancurkan kita kecuali jika kita sendirilah yang menghancurkan diri kita
sendiri. Hidup adalah pilihan, setiap langkah yang kita ambil adalah pilihan
yang tersedia dan kita putuskan untuk memilihnya. Kehidupan memiliki banyak
makna yang dapat mendewasakan diri kita dengan berbagai masalah yang datan,
bukan bermaksud untuk memusuhi, tapi justru berkawan dengan kita. Tergantung
bagaimana kita menyikapi semua yang kita lalui dan akan kita hadapi, tidak akan
masalah selama kita percaya bahwa yang kita tengah jalani dan sedang kita kejar
adalah hal yang benar-benar kita inginkan.
0 Creat Your Opinion:
Post a comment