(image source: https://www.kompasiana.com/dhedi_r_ghazali/5cf2aed33ba7f7394a76d11a/dalam-doa-sapardi-djoko-damono?page=all)
Ratna Juwita
Ratna Juwita
Puisi menurut saya adalah rangkaian kata-kata yang terjalin indah dan memiliki
makna yang menggambarkan apa yang tak sempat terucap oleh penyair. Tidak. Tentu
salah apabila saya mengatakan bahwa puisi hanya diperuntukkan bagi para penyair
terkemuka, atau orang-orang yang memiliki kandungan kata dan diksi yang luar
biasa. Orang biasa tanpa pengetahuanpun asalkan ia dapat menggambarkan apa yang
tengah dirasakannya menjadi sebuah puisi pun sudah jelas dapat membuat puisi. Namun,
bedanya adalah apakah puisi itu bisa menjadi renungan dan diresapi banyak orang
ataukah tidak.
Segala hal takkan
pernah terlepas dari bagaimana hal itu berawal dan bagaimana hal itu bisa
berkembang hingga sampai pada titik ini. Sama saja dengan puisi, puisi hingga
bisa seperti sekarang ini telah mengalami banyak sekali perubahan terlampau era
demi era. Dulu, puisi hanya berwujud mantra yang digunakan sebagai pemujaan
untuk roh, dewa, ataupun kepercayaan lain yang dianut masyarakat jaman dahulu. Tapi,
sekarang puisi berwujud bebas, indah, dan dapat dinikmati serta diapresiasi.
Pada era modern seperti
sekarang ini, puisi dapat kita temukan dengan mudahnya di berbagai media cetak.
Pada koran mingguan, maupun majalah, bahkan tabloid biasanya akan dengan mudah
kita temukan puisi di dalamnya. Media-media percetakan saat ini sangat
memudahkan para penyair-penyair muda yang ingin berkarya dan menerbitkan
karyanya sehingga tidak hanya mendapatkan royalty,
tapi juga membagi apa yang dirasakannya pada para pembaca.
Bahkan, kini
lomba-lomba membuat karya sastra berbentuk puisi sudah sangat sering diadakan
demi menggali bakat-bakat muda yang tak terjamah mata. Pada saat saya SMP, saya
pernah mengikuti lomba puisi di sebuah universitas negeri di Malang dan saya
menempatkan diri sebagai salah satu dari 10 orang penulis yang terpilih dari
sekian ribu peserta untuk menempati predikat 10 besar pada lomba tersebut. Baru-baru
ini saya juga mengikuti lomba menulis puisi yang diselenggarakan oleh sebuah
perusahaan penerbitan untuk dimasukkan ke dalam antologi puisi bertajuk ‘Cinta
Dalam Diam’.
Hal ini sudah cukup
membuktikan bahwa puisi di Indonesia kini sudah sangat dihargai, menulis puisi
bukan hanya mudah, kita juga tak perlu menulis terlalu panjang untuk
menciptakan sebuah puisi. Tapi, puisi terbaik yang takkan tertelan masa tentu
memiliki kualitas diksi dan pendalaman makna yang sangat menawan dan menyita
perasaan, apalagi pemikiran. Tidak sembarang orang bisa membuat puisi yang
bagus, tapi semua orang memang bisa menciptakan puisinya sendiri, terlepas
apakah puisi yang dihasilkan menjaring perhatian pembaca ataukah tidak.
Kemudian, mari kita
tengok sejenak di internet sebagai media yang kini bisa dimanfaatkan siapa saja
untuk mendapatkan apa saja. Apabila kita mencari di mesin pencari GOOGLE pasti akan muncul banyak pilihan untuk
kita memilah mana informasi yang paling tepat untuk kebutuhan kita.
Pilihan-pilihan tersebut datang dari berbagai blog yang tersedia juga di internet, blog-blog itu dikelola oleh masing-masing orang yang ingin
membagikan kepada banyak orang pengalaman, maupun informasi yang dimilikinya.
Dari blog-blog ini, bermunculanlah banyak
karya-karya pribadi maupun karya para sastrawan terkenal yang dibagi, baik oleh
orang-orang yang mungkin sudah dapat dikatakan sebagai ‘penyair’ yang telah
banyak menerbitkan karyanya lewat berbagai media cetak, maupun para ‘penyair-penyair’
amatir yang ingin mempublikasikan karyanya lewat media elektronik, yang mungkin
masih terlalu malu untuk dapat mengirimkannya ke media-media cetak.
Tidak hanya lewat
berbagai media cetak maupun elektronik seperti yang telah saya sebutkan di
atas, media pendukung lainnya dari bidang formal seperti sekolahpun sudah ikut
andil banyak dalam menghasilkan bibit-bibit baru sebagai penyair. Prodi-prodi
sastra telah ada di hampir semua universitas di Indonesia maupun dunia, yang
berperan sangat penting dalam mengajarkan para penyair-penyair muda tentang
cara untuk menghasilkan sebuah karya sastra yang bernilai.
Banyak sekali para
sastrawan yang dapat dijadikan panutan dalam membuat karya sastra bernilai,
dari era ke era, muncul satu persatu sastrawan-sastrawan terkemuka yang
berperan penting dalam pembentukan karya sastra pada era sekarang ini. Mulai
dari Amir Hamzah, sejak sebelum kemerdekaan, Chairil Anwar pada masa
kemerdekaan, hingga sastrawan era 66 dengan puisi sedalam makna lautan dan
sering dijuluki sebagai ‘sajak-sajak SDD’ yaitu Sapardi Djoko Darmono.
Sapardi Djoko Darmono
dikenal sebagai sastrawan dan penyair yang memiliki kualitas puisi yang
mengagumkan. Tiap baris puisi yang beliau tulis, masing-masing memiliki makna
yang dalam tanpa celah, bahkan banyak puisi-puisinya yang ditangkup ke dalam
bentuk lain yang disebut musikalisasi puisi. Diantara karya-karyanya adalah ‘Aku
Ingin’, ‘Hujan Bulan Juni’, ‘Mata Pisau’, dan puisi yang akan saya ulas yaitu ‘Berjalan
ke Barat Waktu Pagi Hari’ yang beliau tulis pada sekitar tahun 1987.
Dilihat dari judulnya
saja, puisi ini menarik perhatian karena jujur saja, saya tidak tau makna
dibalik judul yang beliau torehkan ke dalam puisinya ini. Biasanya, judul
mengekspresikan isi dari sebuah karya sastra yang mewakili apa yang terkandung
di dalamnya, dari mulai cerpen, puisi, sampai novel pasti memiliki pemilihan
judul yang berperan apik dalam mewakili isi yang dikandungnya. Tapi, berbeda
dengan puisi ini. Dari mulai judul, kita seakan dituntut oleh Sapardi untuk
menggali lebih dalam apa yang terkandung dibalik rangkaian kata-kata ini.
‘Berjalan ke Barat
Waktu Pagi Hari’. Saya berpikir ‘Berjalan ke barat’ berarti ‘menghadap ke arah
kiblat’ dan mengapa beliau tak menggunakan kata ‘menghadap ke barat’ adalah
karena ‘berjalan’ berarti mendekati tempat yang ingin kita tuju. Berbeda dengan
hanya ‘menghadap’, kata ‘menghadap’ berarti meskipun kita menginginkan sesuatu,
kita tak akan bisa mendapatkannya hanya dengan menghadapkan wajah kita padanya.
Namun, ‘berjalan’ memiliki makna yang berbeda. Dengan ‘berjalan’ akan
memungkikan kita untuk semakin mendekat dengan apa yang kita inginkan. ‘berjalan’
juga merupakan usaha dan untuk mendpatkan sesuatu yang kita inginkan, kita
membutuhkan ‘usaha’ itu.
Sedangkan, mengapa saya
menyimpulan ‘barat’ sebagai kiblat adalah kepribadian Sapardi Djoko Damono
sendiri yang berlatar belakang sebagai orang yang religius. Beliau banyak
menyebutkan mengenai firman Allah dan kata-kata lainnya yang memuja
keagungan-Nya. Saya tidak menemukan arti lain ketika saya mencoba berpikir
mengenai arti dari ‘barat’ kecuali ‘kiblat’, karena tak mungkin seorang Sapardi
Djoko Damono menuliskan kata’barat’ tanpa kandungan makna yang tersisip di dalamnya.
Hal lain yang saya
pertimbangkan dari judul yang beliau berikan pada puisinya ini adalah kata ‘Waktu
Pagi Hari’. ‘Waktu Pagi Hari’ berarti ‘ketika matahari terbit’ dan sesuai teori
ilmiah, matahari terbit sudah pasti dari sebelah timur. ‘Pagi Hari’ di sini
juga tidak berarti ‘ketika matahari terbit’, bisa pula kita artikan ‘pagi hari’
di sini ketika benang putih di ufuk timur mulai merajut selendangnya, atau yang
biasa kita sebut fajar. Fajar adalah waktu yang bisa kita sebut sebagai ‘pagi’
dan juga waktu ketika salah satu dari salat lima waktu dilaksanakan, yaitu ‘waktu
subuh’.
Jadi, dapat kita
simpulkan dari judul puisi yang saya ulas ini yaitu ‘Berjalan ke Barat Waktu
Pagi Hari’ sebagai ‘Mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa ke arah kiblat
sebelum matahari menyingsing’.
Pada bait pertama puisi
ini setelah judul, terdapat rangkaian baris kata ‘Waktu aku berjalan ke barat
di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang’. Saya berpendapat bahwa barisan
kata ini bermakna ‘Kala ku bersujud di hadapan-Mu di waktu subuh, cahaya
menyelemutiku dari belakang tubuhku, hangat menerpa raga dan ruhku’. Saya
menyimpulkan demikian karena ‘waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi’, saya
artikan sebagai ‘bersujud kepada Yang Maha Kuasa di waktu subuh’ dan kata
selanjutnya yaitu ‘matahari mengikutiku di belakang’.
‘Matahari’ saya artikan
sebagai pencahayaan terang yang hangat, yaitu bagian dari kerendahan hati
seorang hamba yang bersujud di hadapan Tuhannya. Hal ini hanya terjadi apabila
manusia telah begitu pasrah beribadah kepada Tuhan yang menciptakannya,
memberikan kenikmatan dunia dan segala isinya. ‘Matahari’ di sini sebagai
simbol terang usai kegelapan yang menyergap jiwa.
Kemudian kata ‘mengikutiku’
yang saya definisikan sebagai ‘menyelimuti ruhku’. Kata ‘mengikuti’ apabila
kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari akan bermakna sesuatu yang ‘melakukan
apa yang kita lakukan’, tapi saya mengambil kesimpulan lain bahwa ‘mengikuti’
di sini adalah ‘menemani’ yang apabila digabungkan dengan pemaknaan yang
sebelumnya dapat pula menjadi kata ‘menyelimutiku’, ‘memberikan terang padaku’.
Dan kata ‘di belakang’
yang saya artikan ‘dari hal yang sebelumnya tak dapat kulihat’. Biasanya, orang
normal takkan bisa melihat bagian belakang, kecuali dengan menoleh, itupun
takkan menghasilkan penglihatan yang sempurna pada tubuh bagian belakang. Berarti,
‘cahaya itu datang dari tempat yang tak terlihat’. ‘Cahaya itu menyelimutiku,
memberikan kehangatan pada jiwa dan ruhku dari tempat yang sebelumnya tak
kujamah’. Mungkin, hal ini berarti Sapardi mendapatkan ilham dari ibadaha yang
dilakukannya, yang dulu mungkin ia bukanlah orang yang cucukp religius, tapi
segera setelah ia kembali pada Yang Maha Kuasa, ia diselimuti cahaya yang sebelumnya ia tak pernah coba untuk
meraihnya.
Bait selanjutnya berisi
‘Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang ke depan’, saya
artikan bahwa Sapardi ingin mengungkapkan kalau ia tak memiliki tujuan lain
selain mengikuti bayang-bayangnya. ‘Bayang-bayang’ ini dapat digambarkan
sebagai ‘dirinya yang lain’ entah itu
sisi gelapnya ataukah sisi baiknya. Yang jelas, bayangan itu seperti cermin,
walaupun tak setegas bagaimana cermin menggambarkan seseorang yang ‘sebenarnya’,
‘bayangan’ juga mewakili apa yang ‘diserupainya’.
‘Aku berjalan mengikuti
bayang-bayangku sendiri’. Mengapa ia tak mencari tujuannya sendiri? Dalam
kalimat itu tak disebutkan bahwa ia akan pergi ke suatu tempat, karena ia
bergerak berdasarkan gerak bayangannya. Namun, permasalahannya di sini adalah
bahwa bayangan takkan bergerak apabila ‘yang dibayanginya’ tak bergerak. Otomatis,
apabila Supardi menggambarkan dirinya berdiam diri saja, bayangannya pun tak
dapat menunjukkan padanya apa-apa.
Pada kalimat ini, ia
seakan seperti orang yang linglung. Bagaimana bisa secara logika, sumber dari
bayangan bergerak mengikuti bayangannya? Saya menyimpulkan dari permasalahan
yang saya sebutkan, bahwa Sapardi ‘memiliki tujuan’ sekalipun ia mengatakan ‘mengikuti
bayang-bayangku sendiri’. Ia bergerak, menuju tempat ke arah barat, dimana
matahari menyinarinya dari timur dan membuatnya bayang-bayangnya berada di
depannya lalu menyimpulkan bahwa ia ‘seperti’ berjalan mengikuti bayangannya,
karena bayangannyalah yang berada di depan.
‘Yang memanjang ke
depan’ sudah jelas menandakan bahwa cahaya dari timur akan menyebabkan
munculnya bayangan sesuatu yang terletak di sebelah barat. Sapardi tau,
tujuannya adalah ‘mendekat’ pada Sang Ilahi, ia bergerak sesuai nurani dan
jiwanya, bersujud dan ingin selalu lebih ‘dekat’, ia bergerak maju, lebih
khusyu’, seolah dialah yang mengikuti bayangannya. ‘Bayangan’ pula, dapat
diartikan sebagai rentetan kisah masa lalu yang kemungkinan besar berisi dosa,
karena kodrat manusia yang tak akan pernah luput dari dosa.
Ia berjalan mengikuti
bayang-bayangnya, mengungkap serentetan kisah masa lalunya, berharap memeohon
ampunan dari Yang Maha Kuasa, seolah, memang jalinan kisah dosa itulah yang
menuntunnya pada imannya sekarang. Ia menyesali apa yang luput dari sadarnya,
apa yang khilaf dari lakunya.
Lalu pada baris ketiga
tertulis ‘aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang
telah menciptakan bayang-bayang’. Saya mengambil kesimpulan bahwa kalimat ini
berarti, ia dan cahaya yang kini menyelimuti batinnya dengan iman, ‘tak
bertengkar’ mengenai salah siapa kisah-kisah yang mungkin berupa rentetan dosa
itu terjadi. Mereka tak berebut bayang, yang berarti mereka saling memiliki. Tanpa
serentetan kisah itu, ia takkan berada pada jiwanya yang sekarang yang mungkin
di rasa nyaman dilubuknya karena itulah apa yang telah terjadi adalah khilaf,
yang selanjutnya adalah tobat untuk mencapai iman yang sebenarnya.
Kata ‘tak bertengkar’
yang tercantum dalam baris kalimat itu berarti ‘tidak menimbulkan masalah’,
jelas bahwa tidak berarti ‘bayang-bayang’ itu meninggalkan penyesalan
berlarut-larut yang dapat menyebabkan hilangnya logika orang yang ingin
bertaubat. Ia menerima cahaya itu dan di waktu yang sama, ia bersyukur atas
dosa yang diperbuatnya dulu.
Pada baris terakhir, ‘aku
dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus
berjalan di depan’. Ini saya simpulkan sebagai ‘tak masalah siapa yang memulai
untuk bertaubat antara aku dan kisah masa laluku’. Ia berdiri di belakang
bayang-bayang, tak berarti bayang-bayang memimpin dan memerintah apa yang
dilakukannya, sebaliknya dia sendirilah yang menentukan dan memutuskan apa yang
ingin dan harus diperbuat oleh dirinya sendiri. Karena seperti yang saya
katakan sebelumnya, bahwa bayang-bayang ada mengikuti apa yang dibayanginya,
apabila sesuatu yang dibayanginya bergerak, bayang-bayang pun juga akan ikut
bergerak dan berpindah tempat, kalaupun sesuatu yang dibayanginya diam, takkan
ada kesempatan baginya untuk dapat merubah posisi kecuali sumber cahayanyalah
yang merubah posisi bayang-bayang itu.
Jadi, kesimpulan pada
bait terakhir ini adalah ‘Kau dan aku sama-sama berperan dalam perjalanan iman
ini’.
Secara keseluruhan,
puisi ini seperti puisi-puisi lainnya, sangat menguras pikiran pembaca untuk
lebih memahami apa sebenarnya yang dirasakan oleh penulis dan ingin disampaikannya
kepada pembaca. Puisi seperti ini memang sangat menarik untuk diapresiasi
mengenai bagaimana menurut apresiator mengenai makna sebenarnya yang terkandung
dalam puisi tersebut.
Kelemahannya, puisi
seperti ini seringkali menimbulkan multi tafsir bagi pembaca dan apresiator,
tentu saja tergantung bagaimana setiap orang memaknai puisi ini. Setiap orang
memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai pendapatnya tentang sebuah puisi,
terlebih puisi semacam ini yang sangat terkenal karena penulisnya yang ‘memiliki
makna dalam di setiap kata yang ditulisnya dalam puisi ciptaannya’. Sapardi
Djoko Damono.
Dilihat dari sudut
pandang diksi, puisi ini tergolong puisi dengan kata yang cukup padat, memang
di dalam puisi ini terdapat banyak pengulangan kata, namun dengan intensitas
makna yang berbeda, sehingga menghasilkan pemikiran yang berbeda pula walaupun
dengan kata yang sama. Apabila dijadikan musikalisasi puisi, puisi ini
tergolong puisi yang cocok untuk itu. Kata-kata yang terekam dalam puisi ini
memiliki makna yang dalam dan bahasa yang pas untuk dijadikan sebuah lagu.
Semangat terus kaaaaak😇
ReplyDeleteIg : @tantrim_20
makasih :D
DeleteKeren kak, asli keren reviewnya :) aku belum baca buku Sapardi Djoko Damono yang kakak bahas di atas :( tapi pas liat review di blog ini kok merasa tertarik. Good job kak!
ReplyDeleteIG : @tnoviani.15
Ini bukan review buku btw wkkw
DeleteKeren kak, asli keren reviewnya :) aku belum baca buku Sapardi Djoko Damono yang kakak bahas di atas :( tapi pas liat review di blog ini kok merasa tertarik. Good job kak!
ReplyDeleteIG : @tnoviani.15