Review Cerpenku “Selekas Gerimis,
Setiba Hujan” Penerbit Gemamedia Wonosobo
Ratna
Juwita
Yaa, kembali lagi dalam review cerpen kedua. Kali ini
review tentang cerpen terbaruku yang berhasil juara satu di event “Sahabat Istimewa” yang diselenggarakan
oleh Penerbit Gemamedia Wonosobo, nih. Tentu saja akan ada yang setuju dan akan
ada yang tidak setuju bahwa cerpenku layak untuk menduduki posisi itu. Aku
tidak menghujat bagi yang mengatakan tidak layak, pun semoga tak sombong ketika
dikatakan karyaku memang layak.
Semua penilaian kembali pada sudut pandang dan selera
juri. Sama seperti ketika kita mengirimkan karya ke media cetak, lolos tidaknya
bergantung pada selera editor. Kita hanya bisa komat-kamit berdoa setelah
sebelumnya mengerahkan seluruh tenaga, perasaan, dan pikiran untuk membuat
suatu karya. (Aciee bahasanya)
Tapi terlepas dari semua itu, ada harapan semoga akan ada
sebagian besar orang yang merasa setuju bahwa karyaku memang layak. (hehe).
Sudah, mari melanjutkan ke tujuan utama kita, yaitu review cerpenku yang masuk
dalam buku setebal 300 halaman ini.
“Selekas Gerimis, Setiba Hujan” adalah kalimat yang
kutemukan ketika sibuk memikirkan ide untuk lomba ini. Di tengah segara
konsentrasi yang terpacu pada ide, di bawah guyuran gerimis hujan, muncul kalimat
itu begitu saja. Ilham memang bisa datang dari mana saja, ya? Hehe.
Cerita bermula dari seorang anak yang cacat Polio sedari
kecil. Ia tidak mau bersekolah di Sekolah Luar Biasa karena menurutnya hal itu
hanya akan membuatnya mengingat bahwa ia memang orang yang cacat. Ia akhirnya
memberanikan diri mendaftar di sekolah umu, meski dalam keadaan seperti itu.
Tidak semua anak mau menerimanya apa adanya, tentu saja karena setiap orang
memiliki sudut pandang dan kepentingannya masing-masing.
Namanya Sita, ia tidak disukai oleh tiga orang ‘sahabat’
yaitu Arya, Vina, dan Sarah, karena label ‘anak cacat’ yang disandangnya. Di
situlah mereka mulai sering terjadi konflik. Cerpen ini juga berisikan masalah
pembully-an yang acap kali terjadi di
masyarakat sekitar serta minimnya perhatian berupa ‘bantuan’ secara moral
terhadap pihak yang dibully.
Perilaku ini merupakan perbuatan ‘nyata’ yang dituangkan
dalam bentuk cerita fiksi. Mengenai orang-orang yang seolah tidak mau tahu
ketika di depan mata kepala mereka sendiri, sedang terjadi bullying. Sikap acuh
tak acuh dari orang-orang inilah yang kemudian mendorong berkembangnya trauma
dalam diri orang yang dibully.
Jujur saja cerpen ini sedikit banyak menguras perasaanku
karena aku secara pribadi juga pernah dibully (ceilah curhat). Pengalaman yang
kemudian membuatku trauma pada pelaku-pelaku pembullyan, menyebabkan turunnya
tingkat kepercayaan diri, gangguan kenangan kelam masa lalu, dan janin (eh).
Yah, intinya seperti itulah isi cerpenku, untuk
kelanjutan kisahnya, bisa dibaca sendiri di buku. Diorder gitu ceritanya ini
lagi promosi. Setelah baca, kalian boleh mengkritikku atas segala kurang, atau
justru memuji (hehe, pede banget bakal dipuji). Jujur saja, ini adalah cerpen
pertama yang ketika kuselesaikan, hatiku bergumam: Ah, aku lega. Karena ini
bukan cerpen pertama atau kesepuluhku, ini cerpenku yang ke lima puluh sekian,
tapi ini pertama kalinya hatiku merasa seperti itu (Aceilah, udah ah).
Sampai bertemu di review selanjutnya! ^^