Ratna Juwita
Dua kata yang mudah terucap itu,
mengapa menjadi rumus yang rumit saat tertuju untukmu?
Cutter yang
kugenggam erat mendadak terasa sangat dingin. Ujung jari-jemariku berubah
menjadi putih karena kupaksa mengganggam dengan sangat erat. Jantungku berdegup
sangat kencang, senada dengan embusan napas yang memburu. Aku tidak mau tahu
berapa banyak oksigen yang berebut masuk ke dalam paru-paru yang sebentar lagi
akan berhenti.
Sesak.
Dadaku mendidih karena ketidakmampuanku menerima ketidakadilan di dunia ini.
Adakah dunia lain di sana yang lebih bisa menerimaku dengann utuh? Adakah dunia
lain di sana yang lebih bisa membuatku tertawa dan mengecap sedikit saja
bahagia?
Setelah
ayah dan ibuku bercerai, aku tak menginginkan apa-apa lagi di dunia ini selain
melihat mereka kembali bersama. Kebahagiaan apalagi yang ingin direbut dariku?
Kebahagiaan masa remaja yang kuimpikan seolah raib, direnggut waktu yang terus
bergerak dengan dingin. Tak berperasaan. Adakah kutemu dunia lain yang lebih indah?
Dimanapun, aku ingin ke sana.
Darah
menetes perlahan dari pergelangan tangan. Bercampur dengan air asin yang keluar
dari kelenjar lakrimal mataku. Membaur, menelanjangiku dengan kesedihan yang
sudah menggerogoti jiwa. Mataku berkunang. Perih. Sangat sakit. Kutatap nanar cutter yang telah menancap di
pergelangan tangan. Mendadak, ketakutan menyeruak ke dalam setiap inci tubuh.
Takut. Sekelilingku menghitam, perlahan menyelubungi dan hendak
menenggelamkanku.
“Apa
yang sedang kau lakukan?”
Sebuah
tangan menggenggam erat pergelanganku, entah darimana. Kabut hitam yang tadi
menyelubungi, tiba-tiba pergi perlahan. Samar, kulihat seseorang berdiri di
hadapanku, mengambil cutter yang
menancap di pergelangan tangan dan menatapku dingin. Sangat dingin. Matanya merah
dengan taring yang muncul di kedua sudut bibirnya. Sedetik kemudian, segalanya
berangsur gelap.
***
“Kau
tahu? Kudengar Rhean adalah seorang vampir!” Sebuah suara yang sangat kukenal,
memaksa masuk gendang telinga. Mengusikku.
Vampir?
Mitos mana yang sedang mereka bicarakan itu? Aku melirik ke arah Niela yang
sedang bergerombol dengan sahabat-sahabatnya. Mereka adalah gerombolan tukang
gosip yang kebetulan cantik. Aku menghela napas, menatap lekat lagi pergelangan
tangan yang beberapa hari lalu kulukai dengan cutter. Sampai sekarang, aku tidak pernah tahu sosok yang saat itu
datang dan menggagalkan rencanaku. Sekarang, luka itu terasa sangat perih
sampai-sampai aku tidak ingin menggerakkannya untuk apapun.
“Ha?
Masa?”
“Iya,
katanya ada yang melihatnya beberapa hari lalu. Dia memiliki taring dan matanya
berwarna merah!”
Aku
menegakkan badan. Hampir terasa lebam dadaku karena debaran jantung yang
terpacu. Rhean? Aku tidak berani memalingkan wajah ke belakang; tempat Rhean
biasa duduk. Bulu kudukku mendadak berdiri, seseorang tengah memandangiku entah
darimana. Tenggorokanku terasa kering dan ludahku surut.
“Pak
Leon sudah datang!”
Teman-teman
sekelasku langsung berhamburan masuk ke dalam kelas dan langsung menempati
tempat duduknya masing-masing, tak terkecuali Niela dan gerombolannya. Sejenak,
aku merasa bisa bernapas lega, meski masih tak nyaman dengan perasaan ini.
Tiba-tiba mataku berkunang-kunang lagi, kusembunyikan muka segera di balik buku
yang kuatur berdiri. Mungkin efek kehilangan banyak darah, ditambah tekanan dan
debar jantung tak menentu tadi telah memengaruhi kondisiku.
Suasana
berubah menjadi hening di dalam kepala, meski hatiku sedang berkecamuk. Aku
tidak ingin membayangkan lagi rumah yang selalu sepi setiap pulang sekolah. Aku
tidak ingin membayangkan teman-teman yang selalu berusaha membuatku seolah
tidak pernah ada. Aku tidak ingin memikirkan dunia lain yang mungkin lebih bisa
menerimaku yang seperti ini. Aku hanya ingin diam, sebentar saja.
“Fiola!
Jangan tidur di dalam kelas!” Aku tersentak mendengar teriakan yang ditujukan
kepadaku. Aku menegakkan tubuh dengan perlahan, mengintip wajah Pak Leon yang
sudah berubah menjadi merah.
“Saya
tidak tidur, Pak,” elakku. Memang aku tidak tidur.
“Jangan
membantah! Sudah jelas-jelas kamu tidur!”
“Tidak,
Pak—“
“Fiola!”
Bibirku langsung mengatup. Bungkam. Teriakan Pak Leon bisa terdengar bahkan
sampai ujung lorong sekalipun. “Kamu jangan seenaknya di kelas saya! Lihatlah
nilai-nilaimu, tidak ada satupun yang memuaskan. Apa ibumu tidak mengajarkanmu
di rumah, hah? Kemana ibumu?”
Bahuku menegang. Mengapa Pak Leon
jadi membawa-bawa ibuku? Aku paling tidak suka masalah keluargaku
diungkit-diungkit di dalam kelas.
“Ibu
saya pulang malam, jadi—“
“Kemana
saja ibumu sampai pulang malam? Apa berangkatnya juga pagi-pagi? Ibumu bekerja
apa?” Pak Leon terus menyerangku dengan berbagai pertanyaan yang tak mampu
kujawab sepatah kata pun.
Dadaku
terasa sesak. Air mataku menggenang di pelupuk, kugigit bibir bawah agar ia
tidak terjun bebas melintasi pipi. Aku tidak ingin dicap sebagai anak yang
cengeng. Sudah cukup mereka tak menganggapku, aku tak ingin mereka memberi
embel-embel ejekan yang menyakitkan.
“Ibunya
pergi sama laki-laki lain kali, Pak!”
celetuk Niela. Hatiku sudah berada pada tahap nyeri, aku memandangnya nanar.
“Apa
setelah bercerai dari ayahmu, ibumu bekerja sebagai—“
BRAK!
Spontan,
semua kepala menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakang. Rhean. Dia
mendekapkan kedua tangan di depan dada, kaki kanannya setengah terangkat ke
udara karena menendang meja yang kini telah tergeletak di atas lantai.
“Rhean,
apa yang kamu—“
“Pak,
apa sekolah ini mengajarkan bully
sebagai salah satu materinya? Bapak belajar menjadi pem-bully sejak umur berapa? Ada murid yang sedang goncang karena
keluarga yang kurang harmonis, tapi Bapak malah mencecarnya dengan banyak
pertanyaan yang menyudutkan. Apa Bapak yakin, Bapak seorang guru?” Rhean
kemudian melirik ke arah Niela, “Dan kamu tukang gosip, jagalah mulutmu dari
berbicara yang tidak perlu!”
Kelas
berubah hening. Hening yang suram dan tegang. Detik berikutnya, Pak Leon
mengeluarkan Rhean dari kelas.
***
Aku
mengambil kaleng minuman yang terjatuh dari mesin penjual otomatis. Otakku
masih linglung karena kejadian di kelas tadi, sedangkan Rhean tak terlihat
dimana pun. Aku merasa harus berterima kasih padanya karena telah berusaha
membelaku, walaupun pada akhirnya dia dikeluarkan dari kelas. Rhean. Mengeja
nama itu membuatku bergidik teringat akan perkataan Niela tentang dia yang
sebenarnya seorang vampir. Aku tidak ingin mempercayai hal itu begitu saja,
tapi di sisi lain aku juga tak mampu menyangkal. Bisa saja sosok bertaring dan
bermata merah yang kulihat samar-samar saat aku sekarat saat itu benar-benar
Rhean.
Aku
menggelengkan kepala cepat, mencoba mengusir segala pemikiran rumit yang selalu
bertumpuk. Sudah cukup masalah keluarga yang pelik dan teman-teman yang
memuakkan, membuatku tak ingin lagi hidup di dunia ini. Tidak ditambah dengan
Rhean seorang vampir. Kuteguk habis isi kaleng minuman itu hingga tak bersisa.
Aku berniat melemparkan kaleng itu ke keranjang sampah di depan jendela, saat
kulihat Rhean berjalan keluar sekolah. Entah naluri apa yang menggiringku untuk
mengikutinya diam-diam.
***
Kaleng
yang ternyata belum sempat kubuang, terjatuh. Suara dentingannya berhasil
mengagetkanku dan mungkin juga Rhean. Tubuhku mematung di balik dinding tanpa
berani mencoba menengok ke arah manapun. Keringat dingin menyelimuti tubuh,
menetes deras dari dahi. Jantungku kebat-kebit untuk kesekian kali hari ini,
membuat otot kakiku terasa lemas. Aku ingin lari, tapi tidak bisa. Pun pita
suaraku raib, tenggorokanku mengering seketika.
Kudengar
langkah kaki mendekat. Napasku tertahan tanpa sadar, seolah suara embusan napas
pun bisa membuatnya menyadari keberadaanku. Namun, semua itu sia-sia saat
beberapa detik kemudian Rhean telah berdiri di hadapanku. Aku terpaksa membekap
mulut agar tak berteriak saat kutatap mata Rhean yang berwarna merah dengan
taring di kedua sudut bibirnya.
Keheningan
yang menyusup di antara kami seolah membuat degup jantungku terdengar sangat
keras. Bahkan, lebih keras dari suara klakson kendaraan yang berlalu lalang di
ujung gang. Sial. Aku mengumpat dalam hati. Aku menyesali kaki yang seenak
jidat bergerak kesana kemari mengikuti langkah Rhean. Aku tidak bisa lupa cara
Rhean menangkap kucing yang lewat, kemudian ... aku meneguk ludah yang berasa
seperti pasir.
Rhean
menatapku tajam. Dingin. Membuatku benar-benar yakin bahwa dialah yang berada
di gudang sekolah waktu itu ketika aku sekarat. Mata dan taring itu. Kematian
seolah sedang mengintaiku lewat tatapannya. Takut. Lebih takut daripada
merasakan sakit di pergelangan tanganku saat ini. Air mataku mengalir, tak
mampu lagi terbendung. Tubuhku gemetar. Namun tanpa diduga, Rhean memalingkan
wajahnya. Dia berbalik membelakangiku, seolah bersiap pergi. Aku takut, bibirku
bergetar, tapi ada nyeri yang lain di dada.
“Rhe—“
“Apa
yang sedang kau lakukan?”
Aku
terdiam. Kosakata seolah berebut lari dari jeruji memori, menelanjangi otakku
tanpa satu huruf pun tersisa. Kalimat tanya itu, strukturnya memang sama
persis, tapi nada yang digunakannya sama sekali berbeda. Meskipun aku tidak
tahu letak perbedaannya. Kemudian, pembicaraan singkat itu berakhir dengan pertanyaan
mudah yang tak mampu kutemukan jawabannya.
***
Esoknya,
aku kembali ke gang yang sama. Gang yang sepi dan buntu. Tak kupedulikan rasa
takut yang selalu menuntut agar tak kulangkahkan kaki ke sana. Aku ingin
bertemu Rhean. Hari ini dia tidak masuk sekolah karena skors. Mungkin Pak Leon
melaporkan tindakannya waktu itu kepada kepala sekolah. Tak perlu waktu lama
hingga surat skors keluar dari meja kepala sekolah, mengingat Rhean bukanlah
murid yang teladan atau penurut.
Aku
tak menyetujui sama sekali keputusan itu, tapi tidak ada yang bisa kulakukan.
Aku hanya bisa diam-diam kembali ke gang ini seperti orang linglung dan
berharap dia ada di sini. Namun, nihil. Rhean tidak ada di sini, tidak juga
bangkai kucing yang kemarin tergeletak. Bersih, seolah tak pernah terjadi
apapun sebelumnya. Aku bersandar di dinding dan terduduk. Apa yang sebenarnya
sedang terjadi?
***
Hari-hari
berikutnya, aku tetap bersikukuh pergi ke gang itu dan lagi-lagi tak menemukan
Rhean. Aku frustasi. Aku ingin mengatakan banyak hal padanya, tapi kosakataku
seolah selalu raib tiap kali bertemu dengannya. Nada suaranya saat itu, aku
baru menyadari bahwa nada itu adalah kekecewaan. Kekecewaan yang menyakitkan,
tapi karena apa? Aku memejamkan mata. Erat. Kuputuskan untuk berdiam diri di
sini hingga ia benar-benar muncul di hadapanku.
***
“Apa yang sedang kau lakukan?”
Aku
tersentak, ternyata aku tertidur. Kukerjapkan mata berkali-kali, hari telah beranjak malam.
Gelap menyelubungiku di gang sempit ini Aku mencoba menggerakkan kaki yang
kram, tapi usahaku terhenti saat kutemu jaket menutupi sebagian tubuh. Jaket
siapa? Beberapa saat aku terdiam dengan pikiran macet. Rhean?!
Aku
berdiri, menelisik ke sekeliling, tapi tak kutemu siapapun. Meski gelap, aku
dapat dengan jelas memastikan ada tidaknya orang di sini. Aku menarik napas dan
mengembuskannya pelan. Setidaknya
bangunkan aku dan biarkan aku bicara meski hanya beberapa kata gagu.
“Rhean
....” Aku menggumam sambil menatap lekat jaket hitam itu.
***
Esok
harinya, aku berada di antara orang-orang yang melihat ke arahku sambil
berbisik dan tatapan aneh. Aku tak bisa mendengar hal yang mereka bicarakan.
Kuputuskan untuk segera beranjak ke dalam kelas dengan perasaan yang bercampur
aduk. Mengapa teman-teman yang tak pernah menganggapku ada, tiba-tba jadi
menaruh perhatian penuh padaku?
“Dia
bersama Rhean saat itu di sebuah gang, apa yang mereka lakukan berdua di sana?
Ngeri, kan?” Aku menahan napas ketika mendengar kalimat itu meluncur deras dari
bibir Niela yang kini memandangku dengan tatapan sinis. Teman-teman yang
lainnya pun melakukan hal yang sama kepadaku.
“Jangan-jangan
mereka—“
Aku
berdiri dari kursi. Saat itu pula ocehan mereka yang seperti dengungan lebah,
berhenti. Aku menatap tajam ke arah Niela yang langsung bergidik. Lagi-lagi
gosip ini, aku yakin pasti Niela biang dari segala bisikan dan pandangan aneh
mereka.
“Apa
lagi yang kau sebarkan, Niel?” tanyaku tajam. Aku tidak tahu keberanian dari
mana yang mengasaiku saat itu.
“Apalagi?
Fakta? Aku melihatmu berdua dengan Rhean di sebuah gang buntu di belakang
sekolah. Orang normal pasti berpikir kalian melakukan sesuatu di sana.”
“Melakukan
apa?” Aku mengerutkan kening.
“Yah,
sejenis yang dilakukan ibumu dengan laki-laki—“
Aku
menerjang ke arah Niela sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Air mataku
membanjir. Aku menghantamkan tinju lemahku ke arah Niela. Tenagaku telah habis
diserap rasa sakit yang terus menganga di dalam dada. Aku marah, aku kesal
dengan segala hal yang tidak berpihak padaku di dunia ini. Mengapa? Mengapa
semua ini terjadi padaku? Aku tidak menyadari hal yang kulakukan pada Niela,
hingga seseorang menggenggam pergelangan tanganku. Saat itu, suara teriakan
Niela yang memohon ampun, menusuk gendang telinga. Aku menganga melihat darah
keluar dari sudut bibirnya. Teman-teman terlihat menjauh. Aku menatap Rhean
yang menggenggam tanganku dengan mata merah dan taring di sudut bibirnya.
“Apa
yang sedang kau lakukan?”
Bibirku
bergetar. Apa hanya kata-kata itu yang bisa diucapkannya?
***
“Apa
kau ingin dikeluarkan dari sekolah?”
Aku
hanya diam. Aku tak ingin mendengar apapun dari mulutnya saat ini. Insiden tadi
sudah cukup membuat otakku terasa kram. Letih. Lagi-lagi, kami hanya terjebak
dalam keheningan yang memuakkan. Aku mencari, tapi begitu menemukannya, aku
hanya bisa terdiam seperti anak bayi yang belum bisa bicara. Aku lelah.
“Orang
tua yang bercerai selalu memberi dampak psikologi yang besar pada anak-anaknya,
ya,” ucap Rhean dengan tenang. Aku menatapnya kosong. “Kita sama. Tidak ada
yang baik dari membunuh maupun bunuh diri. Keduanya sama-sama menentang takdir
Tuhan.” Aku mengerutkan kening, tak mengerti arah pembicaraannya. “Jika hidup
tak berjalan baik, mungkin ada yang salah dari cara kita menyikapi kehidupan
itu karena kehidupan tak pernah salah.”
“Apa
maksudmu?”
“Kau
sudah lebih tenang?” Rhean tersenyum. Aku tak mengangguk maupun menggeleng,
tapi dia tetap meneruskan, “Aku berbicara soal kita, Aku yang membunuh binatang
untuk bertahan hidup dan kau yang mencoba bunuh diri karena hidup.” Rhean
seolah sedang mengklarifikasi jati dirinya. “Aku seorang vampir. Ya, aku tahu
kau sudah menyadarinya. Mataku akan berubah merah dan taringku akan nampak
begitu aku mencium bau darah.”
“Mengapa
kau menghentikanku?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku.
“Niela
memang bukan tipe orang yang bisa menjaga ucapannya, padahal ucapan itu bisa
menjadi bumerang yang mematikan untuknya. Namun, menyerang orang lain dalam
keadaan marah dan membabi buta, tak akan pernah berakhir baik.”
“Bukan
itu yang kumaksud.” Rhean melirikku, “Kau menghentikanku padahal orang-orang
sedang berkumpul di sana dan membiarkan jati dirimu terungkap. Mengapa kau
malah mengorbankan diri? Kau tahu setelah ini kau pasti dicari dan diburu.” Air
mataku menetes lagi tanpa sadar. Aku akui akhir-akhir ini aku terlalu mudah
menangis.
Tidak
ada suara yang keluar dari mulut Rhean. Rhean membawaku lari sesaat setelah ia
berhasil menghentikanku, diiringi tatapan takut orang-orang di sekeliling kami.
Rhean menggendong dan membawaku melompat dari jendela sekolah, lalu berakhir di
gang ini.
“Apakah
menolong orang lain butuh alasan?” Rhean menatapku lugu. “Aku berasal dari
Transylvania. Umurku sebagai seorang vampir sangat singkat. Aku tidak peduli dengan
mereka yang memburuku karena pada akhirnya aku akan hidup kembali, meski tanpa
ingatan yang sama. Ya, seperti “rewind”,
mulai dari seorang bayi dari rahim manusia, hingga umur tertentu dan pada
akhirnya kami tidak bisa menyembunyikan identitas, diburu. Lalu, kembali lagi
seperti awal. Begitu seterusnya dan aku tidak tahu titik akhirnya.” Rhean
tersenyum. Senyum sedih. “Terkadang aku ingin agar memoriku tetap tersimpan
agar aku tak begitu saja melupakan orang-orang yang berharga bagiku. Meski
hanya satu.”
Sayup-sayup,
sirine polisi terdengar mendekat. Membawaku dalam kegugupan yang sangat. Aku
menengok ke arah ujung gang yang tampak sanat terang karena sirine dan
lampu-lampu mobil polisi. Aku tak menggubris teriakan para polisi itu yang
terdengar seperti racauan bayi di telingaku saat ini. Aku hanya memandang gugup
ke arah Rhean yang tak bergeming.
“Jangan
pernah putus asa, apapun yang terjadi. Kehidupan tidak pernah salah.” Hanya
kalimat itu yang berhasil masuk di telingaku karena detik berikutnya, polisi
berhamburan, menutup pandanganku dari Rhean. Membungkam duniaku dalam sekejap.
***
Tiga
puluh tahun berlalu sejak kejadian itu. Namun, ingatan tentangnya begitu segar
di kepala, seolah baru kemarin aku mengalaminya. Seperti kata-katanya, aku tak
lagi pernah menyerah pada kehidupanku, bahkan sekarang aku memiliki keluarga
baru, lebih utuh dari keluargaku yang dulu. Bersama suami, anak, dan cucu, aku
hidup dalam kebahagiaan yang kucari dan kuperjuangkan sendiri. Namun, entah
mengapa ada sesuatu yang kurang.
Aku
tak pernah bertemu lagi dengan Rhean sejak saat itu. Aku tidak tahu apa yang
terjadi padanya setelah itu, tapi aku yakin dia masih hidup. Aku tidak tahu
keyakinan mana yang sedang kupegang erat saat ini. Aku hanya yakin, keyakinan
yang membawaku hidup hingga detik ini. Hanya karena pertemuan singkat dengan
seorang vampir, hidupku berubah. Aku hidup dan memilih sendiri jalan hidupku.
Kehidupan memang tak pernah salah, manusialah yang salah dalam menjalaninya.
Sampai
saat ini, hanya satu hal yang terus kusesali. Aku tak pernah mengatakan terima
kasih padanya. Padahal hanya dua kata itu. Aku ingin bertemu dengannya, meski
haya satu menit atau satu detik. Menatap wajahnya sekali lagi dan mengucapkan
dua kata itu. Selama tiga puluh tahun aku mencari, selama itu pula aku tak
pernah bertemu lagi dengannya. “Rewind”
yang pernah dikatakannya, apakah itu nyata?
Tidak,
aku mulai mempertanyakan sendiri, apakah dia nyata? Apakah dari awal dia memang
ada? Atau semua ini hanya bagian dari imajinasiku? Aku memegang kepalaku yang
terasa pusing. Tiga puluh tahun ini, apa yang sebenarnya sedang kucari? Apakah
aku akan benar-benar bisa menemukannya?
Tinn tinnn!
Aku
terkesiap dan menoleh ke arah mobil yang melaju kencang ke arahku. Detik itu
pula seseorang menarik pergelangan tanganku ke belakang. Mobil itu melintas di
depanku dengan kecepatan tinggi, hampir menabrakku.
“Apa
yang sedang kau lakukan?”
Aku
tersentak, buru-buru kulihat orang yang menolongku barusan. Kutemu seorang
lelaki remaja, wajahnya berbeda tapi terasa familiar. Ia tersenyum, kemudian
berlalu begitu saja bersama pejalan kaki lainnya. Aku tertegun. Pikiranku
berkecamuk. Segala rasa seolah tumpah ruah menjadi satu. Air mataku mengalir.
Siapapun
dia, kuharap memang dia. Tubuhku bergetar menahan tangis. Tiga puluh tahun
pencarian tak berujung ini, apakah kini telah berakhir? Kutatap punggung lelaki
remaja SMA yang semakin menjauh itu. Aku menyentuh luka yang masih membekas di
pergelangan tanganku. Luka itu berdenyut. Sesuatu yang kupercayai bahwa dia
masih ada. Bahwa aku masih punya satu kesempatan lagi untuk mengucapkan terima
kasih padanya.
Aku
tidak ingin peduli dengan rewind atau
apapun. Aku tidak ingin peduli dia vampir atau manusia. Aku tidak ingin peduli
karena pada akhirnya, hal yang paling kusesali adalah kesempatan yang tak
kuambil. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan apapun lagi, meski hanya dua
kata yang tak pernah mengucur dari bibirku untuk sosok itu. Dua kata paling
mudah untuk diucapkan, tapi hanya mampu kusimpan selama tiga puluh tahun untuk
seseorang yang telah menyelamatkanku.
Kakiku
bergerak, berlari. Tanganku mencoba menggapai lelaki itu di tengah kerumunan
dan lalu lalang. Aku tidak ingin menyerah pada apapun lagi, tidak juga untuk
hal ini. Sungguh aku tak ingin memedulikan apapun saat ini. Kata itu, untuknya.
“Terima
kasih.”
***