Mengapa seseorang sering terjebak mencintai ‘people we can’t have’?
Mungkin pepatah atau apalah itu memang benar, tidak ada
hal yang murni dari pertemanan antara perempuan dan laki-laki. Akan selalu ada
yang mencintai dalam diam. Secara sepihak. Aku selalu berdiri di sisinya, tapi ia
selalu melihat ke arah lain. Ada seseorang yang disukainya, tanpa menyadari
bahwa aku di sini bertaruh untuk tidak membabi-butakan perasaan konyolku
padanya.
“Gimana ya, cara
mendekati Yuan? Ditawari tumpangan, selalu nolak. Diajak makan, nolak juga. Bingung jadinya.”
Curhatnya satu waktu di lorong kampus. Kami berjalan dari ruang dosen setelah
menyetorkan tugas.
Yuan adalah
teman satu kepanitiaan acara ulang tahun kampus di bulan Desember nanti.
Akhir-akhir ini, aku sering mendengarnya bercerita mengenai Yuan. Aku
sendiri hanya tahu Yuan sebatas perempuan cantik yang aktif di berbagai acara
kampus. Bahkan, Yuan muncul di akun instagram kampus yang biasa mem-posting mahasiswi-mahasiswi yang masuk kategori cantik. Aku sama sekali tidak menyangka Gian tertarik pada Yuan hanya selang
tiga bulan sejak sama-sama menjadi panitia. Oke, RALAT. Yuan memang cantik, populer, aktivis, lingkungan sosialnya juga aku yakin bagus, dan ... tidak mungkin Gian tidak menyukainya.
‘Aku nggak tau, mendapatkanmu yang sedekat
ini aja, entah kenapa juga terasa sangat sulit.’ Aku tersenyum dengan
kalimat konyol yang tiba-tiba menimpali dari dalam hati. “Mungkin dia unik. Dia
nggak bisa didekati dengan cara biasa semacam ngasih tumpangan atau diajak makan aja.”
Akhirnya aku memilih mengatakan hal yang seharusnya.
“Hmm, jadi baiknya gimana?” Gian memandangku. Sorot
matanya yang tajam, tapi jenaka itu seharusnya bisa menaklukkan siapa saja.
Ditambah lagi, ia tipe yang mudah bergaul. Seharusnya ia bisa mendekati Yuan dengan mudah, tapi mengapa ia justru meminta saran padaku yang anti sosial ini?
Aku mencoba
berpikir. Sejujurnya aku tidak ingin mengatakan apapun, tapi aku tahu itu bukan
pilihan. Bagaimanapun juga, sahabatku meminta saran dan aku harus membantunya
walau dengan hati tercabik. Hati memang terlalu rapuh untuk menyaksikan orang
yang dicintai, berjuang mati-matian untuk orang lain.
“Mungkin
pergi ... ke suatu tempat yang asyik bagi dia? Ajak dia ke gunung, mungkin dia suka mendaki atau ke bioskop, menonton film kesukaannya? Tanya aja dia suka apa.”
Detik berikutnya, Gian
tersenyum sangat cerah. Setelah mengucapkan ‘sampai ketemu besok’, ia
melenggang pergi. Pamit untuk menghadiri rapat kepanitiannya. Bertemu Yuan pastinya. Aku hanya mampu memandang punggungnya yang menjauh. Dia
sedekat ini, tapi susah sekali mengatakan bahwa aku menyukainya.
***
Semua obrolan Gian tentang Yuan setiap hari selalu bisa menjadikanku remahan biskuit. Jika Tuhan Maha Membolak-balikkan Hati, aku ingin
hatiku dibalikkan saat ini juga kepada siapa pun selain dia. Aku tidak bisa begitu
saja mengutarakan perasaan. Sekarang pun, apa yang bisa kudapat dari
mengutarakan perasaan ini? Tidak ada, selain persahabatan yang runtuh.
Aku ingin
menjadi sahabat yang baik. Di sisi lain, aku juga ingin menjadi orang
terdekatnya. Walau hanya sehari, aku ingin hanya berdua, mengatakan semua
perasaanku, menghabiskan waktuku bersamanya seperti sepasang kekasih yang
bahagia, lalu kembali lagi seperti sedia kala. Menjadi sahabatnya.
Mengungkapkan
perasaan padanya mungkin berada di urutan paling akhir dalam daftar hal yang
ingin kulakukan. Namun, dadaku sesak tiap kali ia menyebut nama perempuan yang
disukainya
dan itu bukan namaku. Meski dalam waktu bersamaan, aku juga bahagia melihat
senyumnya merekah setiap kali berbicara soal Yuan.
Ah, Gian memang You Zone-ku. Itu adalah istilah yang
kuciptakan sendiri. Hidupku seolah berotasi dengan ia sebagai pusatnya. Siang
dan malam tak kulalui tanpa kenangan dengan ia sebagai tokoh utamanya.
Namun mirisnya,
Yuan adalah You Zone-nya.
***
Satu waktu, aku berhasil mengajak Gian benar-benar pergi berdua ke pegunungan di daerah Wonosobo. Baru
pertama kali aku mengajaknya pergi ke tempat sejauh itu. Biasanya kami akan
banyak menghabiskan waktu di tempat makan atau di pantai. Hanya untuk hari ini
aku ingin menghabiskan waktu bersamanya di tempat
yang tak biasa. Dengan begitu, aku berharap
bisa meloloskan perasaanku dengan lebih rileks.
Ketika jarum jam
menunjuk angka sembilan, kami berangkat mengendarai mobil di malam hari. Berbekal
nekat dan aplikasi peta di smartphone,
aku membimbing arah perjalanan kami dari kursi penumpang. Tepat di sebelahnya. Sepanjang
perjalanan, sebisa mungkin aku menahan kantuk yang menyerang mata tanpa ampun.
Beberapa kali, kami menepi untuk menyesap kopi atau teh yang bisa menghangatkan
tubuh untuk sementara.
“Tumben banget kamu ngajak aku ke daerah pegunungan begini, jauh lagi,” ucapnya sambil menyesap mochaccino. “Ada angin apa? Mau ngasih kejutan ulang tahun buatku, ya?”
Aku memutar bola mata. Padahal, ulang tahunnya sudah lewat lima bulan lalu. Kami sedang
berada di sebuah tempat yang sering disebut bukit bintang, memutuskan
beristirahat karena Gian mengeluh kelelahan setelah menyetir berjam-jam.
Diam-diam, aku juga merasa bersalah padanya.
Dari tempat kami
duduk, kami bisa melihat hamparan langit yang tertutup awan. Meskipun begitu, kami
masih bisa menikmati lampu-lampu kendaraan yang seperti bintang bergerak.
Kutempelkan
kedua telapak tangan dan menggosoknya perlahan. Mencoba menghangatkan suhu
dengan meniupnya. “Bosan ‘kan
pantai terus?” Baru selesai aku mengatakannya, tangan kiri Gian meraih telapak
tangan kananku. Menggenggamnya. Aku mematung, memandangi jemariku yang seolah
menemukan selimut paling hangat dan nyaman dalam genggaman tangannya. Aku merasa, ia tidak hanya
menggenggam tangan, tapi sekaligus perasaanku.
“Dingin banget,
ya? Kamu keseringan main ke neraka, sih.” Ia tertawa.
Aku memukul
genggamannya dengan tangan kiriku yang bebas. “Enak aja. Rumah masa depanmu tuh.”
“Eh,” Dia
terlihat tidak terima. “Bukannya rumah masa depan kita?” Lagi-lagi, ia menampilkan deretan
gigi putihnya yang sukses membuat mataku kalang kabut mencari hal lain untuk
dipandang. Apapun selain wajah manisnya. Kalau boleh jujur, sebenarnya kata "kita" bermakna lain untukku. Jantungku berdebar kencang dan aku mulai takut jangan-jangan debar itu terasa sampai ke nadi tanganku.
Kuputuskan untuk mengabaikan candaannya dan menarik tangan kananku dalam satu hentakan sebelum ia benar-benar bisa
merasakan debaran jantungku lewat nadi. “Balik mobil, ah. Males di sini sama calon penghuni neraka.” Aku
berdiri. Terlalu lama berdua dengannya di tempat seromantis ini juga tidak baik
untuk kesehatan jantungku. Aku takut nantinya justru larut dan keceplosan
mengutakan perasaan padanya.
“Ceilah, sesama calon penghuni mah gak usah saling ngejek. Tunggu bentar napa? Capek tau nyetir berjam-jam.” Ia memprotes, tapi aku tahu ia mengikutiku di belakang. Aku terkejut ketika tiba-tiba wajahnya sudah berada di depan
wajahku, hampir bersinggungan. Refleks, kakiku melangkah mundur. “Cie, ngambekan. Kayak calon penghuni neraka beneran.”
Mulutku terbuka, siap memuntahkan sumpah serapah ketika tangannya sudah mencubit
hidungku. Aku terpaku selama beberapa detik, lalu mengumpat dalam hati. Ia sangat pandai memporak-porandakan degup jantungku.
***
Napas kami
memburu begitu tiba di puncak Sikunir. Walaupun sempat salah arah dan nyaris
terjebak di jalan yang sempit, akhirnya kami tiba di tempat parkir sekitar pukul empat pagi. Buru-buru kami mendaki ke puncak sebelum melewatkan matahari terbit. Kami menyalakan senter sepanjang perjalanan karena kondisi yang gelap dan medan yang tidak bisa dibilang mudah. Malah sangat melelahkan. Beberapa jalan terlihat belum dibenahi, membuat kami sedikit kesulitan mendaki.
Beberapa orang terlihat sudah lebih dulu berada di puncak bukit. Sebagian menghidupkan
api unggun, sebagian lagi duduk di pondokan yang disediakan, dan sebagian
lainnya menggelar tikar dan menyantap mie instan bersama-sama.
Tubuhku
menggigil. Baru kali ini aku merasakan hawa sedingin itu. Dingin, tapi sangat menyegarkan. Tempat ini menguarkan kesejukan. Sejauh mata memandang, samar-samar terlihat lekuk perbukitan dengan lampu-lampu rumah di bawah sana. Semburat fajar perlahan-lahan mengintip dari balik bukit-bukit yang gelap itu.
“Nih!” Gian
menyerahkan kaleng minuman bersoda yang kami beli di pertokoan di sekitar tempat parkir tadi. Aku
memandangnya sejenak, lalu meraihnya.
“Aaaa!” Aku
berteriak begitu air dalam kaleng minuman tersebut menyembur wajahku. Gian
tertawa keras hingga beberapa orang menoleh ke arah kami. Aku memandangnya
jengkel.
“Maaf, maaf!”
Dia masih mengatakannya sambil tertawa. Aku menghela napas, mencoba menyeka
wajah.
Aku terkejut
ketika Gian mendekat. Ia mengeringkan wajah dan pakaianku yang basah dengan tisu. Aku terdiam,
memandanginya yang sibuk membersihkan tanganku dengan senyum tersungging di
wajah. Aku menelan wajahnya dengan mata, mengalihkan pandangan ketika ia
menyadari tatapanku.
You Zone. Medan magnetku bergerak di sekelilingmu.
***
“Aku menyukaimu.”
Sinar matahari
semakin nampak menyeruak langit. Seakan memberi kode bagiku untuk
mengatakan segala perasaan yang tertanam dalam-dalam. Kami berdiri di salah satu bagian bukit, memandang
indahnya langit yang memancarkan semburat putih. Tak menggubris beberapa orang yang sibuk mengabadikan momen mereka dengan ber-selfie atau wefie.
Dadaku berdebar dan
membuatku sesak. Aku tak memandangnya, tak
juga berusaha mencari tahu ekspresi di wajahnya.
“Entah sejak
kapan, aku mengiyakan otak yang memasung wajahmu tiap kali mataku terpejam. Aku tau kau menyukai Yuan, aku nggak mengharap balasanmu. Tapi perasaan
ini terlalu menyiksa untuk dipendam aja.” Kali ini aku memandang Gian. Jantungku
kalang kabut menemukan ekspresi yang tak mampu kuterjemahkan
di wajahnya.
“Lina ...,”
“Aku tau mungkin
setelah ini kita tak bisa kembali seperti dulu lagi. Maafin aku.” Air mataku
mulai menetes. Kugenggam erat kaleng minuman darinya, berharap rasa sakit di dada berpindah
ke sana. “Aku berpikir, hanya untuk hari ini aku ingin berdua sama kamu. Besok, kita bisa kembali menjadi sahabat ... kalau kamu nggak keberatan.”
Aku mengembuskan napas yang tanpa sadar kutahan sejak kata pertama. Mencoba mengalirkan kata demi kata yang selama ini berputar terus di otak, sampai aku merasa menghafalnya di luar kepala. Aku bahkan tidak sadar bahwa mungkin, kata-kataku mengalir terlalu deras seperti burung yang baru dibebaskan dari sangkarnya.
“Lina, kamu …”
Gian mengerutkan kening. Aku sudah bersiap dengan apa pun reaksinya, bahkan jika
ia memutuskan meninggalkanku di puncak ini dan turun kembali ke mobil.
“Kamu … lagi baca puisi?”
Aku membuka
mata, menatapnya dengan pandangan tak percaya.
Mulutku terbuka, tapi tertutup kembali. Tunggu dulu, apa maksudnya? Membaca
puisi? Siapa yang membaca puisi? Apa barusan ia meledekku?
“Sejak kapan aku
menyukai Yuan?” Kerutan di dahi Gian semakin bertambah. Ia seolah sedang
berusaha keras mencerna situasi. Begitu juga denganku.
Aku kembali memutar ulang ingatan, sejauh yang kubisa. Mengorek ingatan apakah ia benar-benar pernah mengatakan bahwa ia menyukai Yuan. Sayangnya, entah memoriku yang jangka pendek atau aku memang tidak ingat ia pernah mengatakannya. Ia selalu mengatakan Yuan begini, Yuan begitu, tapi Gian memang tidak pernah mengatakan tiga kata ajaib itu, bahwa ia menyukai Yuan.
Kami terdiam
selama beberapa menit, jantungku seolah sedang berlompatan ingin keluar dari dada. Tanpa sadar, aku menggigit bibir. Menyadari kecerobohanku. Kami
seolah sedang berbicara dengan perasaan serta bergulat dengan pikiran
masing-masing. Jangankan Gian, aku sendiri seolah kehilangan semua kosa kata yang kupelajari sejak
kecil. Mereka lari tunggang-langgang entah ke mana, meninggalkanku dengan situasi canggung ini.
“Jadi,” katanya
merobek keheningan di antara kami, “kamu mengira aku menyukai Yuan hanya karena
aku akhir-akhir ini selalu bercerita soal Yuan ke kamu?” Ia tersenyum. Pelan-pelan, senyumnya berubah menjadi tawa. Kaleng minumannya bergoyang-goyang sampai beberapa tetes soda
berlompatan keluar.
Kini giliranku
yang mengerutkan kening. “M-maksudmu?”
Gian masih belum
berhenti tertawa. Air mataku sudah kering beberapa menit yang lalu tepat ketika ia
mengira aku sedang membaca puisi. Suasana romantis sudah raib dari kami. Aku
menghentakkan kaki dengan kesal dan bersiap turun, tapi tangan Gian meraih
lengan kiriku.
“Jangan marah,
dong!” Ia mengusap air di ujung matanya. “Seharusnya yang marah ‘kan aku? Aku
sudah dituduh macam-macam, kamu bisa terkena pasal tentang perbuatan tidak
menyenangkan.” Ia kembali tertawa. Sekarang aku bertanya-tanya, selera humorku
yang terlalu tinggi atau selera humornya yang keterlaluan rendahnya. Menurutku, itu sama sekali tidak lucu. Setidaknya dalam situasi seperti saat ini.
Gian membetulkan
letak topi rajut abu-abunya dengan tangan kanan yang juga masih menggenggam
kaleng minuman. Ia terengah. “Aku curhat padamu soal Yuan itu karena teman satu
kepanitiaanku curhat padaku tentang dia. Aku bingung harus memberi saran apa
kalau soal cewek. Kamu ‘kan tau sendiri aku nggak peka soal beginian. Emangnya, udah berapa lama sih kita sahabatan sampai kamu nggak nyadar?”
Aku memikirkan
kembali jawaban Gian. Kalau diingat-ingat, ia memang tidak peka. Buktinya, ia
juga tidak peka bahwa aku menyukainya selama ini. Sebentar, suasananya kenapa jadi begini? Kami saling
terdiam. Tangan Gian masih menggenggam lenganku. Aku menggigit bibir. Sial, aku
sudah telanjur mengutarakan perasaan padanya dan ternyata selama ini aku hanya
salah paham! Gosh!
“Ya, jadi soal
perkataanmu tadi …,” Dadaku berdebar kencang. Sepertinya tiada hari tanpa debar
kencang saat aku bersamanya. Aku ingin menutup telinga dan lari sejauh mungkin
darinya. Tidak sanggup mendengarkan apa pun yang coba dikatakannya. Rasanya sudah malu bukan kepalang. Apalagi kalau ia sampai menolak
perasaanku. Astaga! “Coba ulangi lagi. Kali ini nggak pakai salah paham. Masa
kita pacaran diawali salah paham?" Ia melepaskan tanganya dari lenganku. Berdiri tegap, merapikan jaketnya dan bersikap seolah siap menerima pernyataan cinta dari seseorang. "Ehem, jadi, gimana Lina? Kamu suka aku?” Ia
tersenyum jail.
Holy Crap!
***
Yogyakarta, 8 Mei 2019