Ratna Juwita
Pemilik gigi putih itu tersenyum
memandang coklat yang masih terbungkus. Si Lelaki memandang lurus ke arah gadis
yang duduk di hadapannya, baru saja memindahkan sebatang coklat ke tangan putih
si Gadis. Aku memandangi mereka dari jauh. Berdebar-debar.
“Apakah aku masih perlu mengucapkan
bahwa aku menyayangimu?” Warna pipi si Laki-laki bersemu merah sambil sesekali
memainkan tangannya di depan mulut, berusaha menutupi deretan giginya yang
terlihat jelas.
Beberapa saat kemudian, si Gadis
membuka bungkus coklat, menggeleng. “Aku sudah tahu.”
Aku terus memerhatikan si Gadis
yang telah membuka mulutnya dan bersiap menggigit coklat yang terlihat berkilauan.
Kurapatkan tubuh di balik kaki meja, menghindari panas. Beberapa makhluk
sepertiku terlihat berjalan berderet dengan enam kaki mereka, membentuk barisan
panjang berwarna hitam di atas meja pajangan.
Kurasakan getaran pada sensor lutut
dan kakiku ketika serpihan coklat berguguran ke lantai dari mulut si Gadis.
Kakiku bergerak cepat, aku tidak ingin ada semut lain yang mengambilnya.
Para manusia berlalu-lalang. Sama
sekali tak menggubris teriakan ketika mereka hampir membuat tubuh hitamku rata
dengan lantai. 14 Februari. Manusia menyebutnya sebagai Hari Kasih Sayang.
Pantas saja coklat dengan segala bentuk dipajang berjejer di toko ini dan
manusia sibuk menukar coklat-coklat itu dengan uang dari kantong mereka.
Untuk pertama kali, aku bersyukur
menjadi seekor semut. Aku tidak perlu memilliki uang untuk bisa mendapatkan
coklat untuknya. Ya, untuk gadis yang telah memikat hatiku sejak pertama kali
memandangnya. Ah, aku tidak tahu debaran apa yang menguasai dadaku acap kali
beradu pandang dengan mata indahnya. Ratu. Begitulah panggilan koloniku
untuknya.
“Kau gila? Kau menyukai Ratu?”
Suatu ketika, teman sebayaku menegur tepat setelah aku mengungkapkannya.
“Memangnya kenapa?”
“Apakah otakmu masih berfungsi?
Kita ini semut prajurit, tidak ada satu pun dari kita yang pantas bersanding
dengannya!” sergahnya.
Kami tengah mengumpulkan serpihan roti
yang berjatuhan di lantai toko. Antena kami saling bersentuhan.
“Kau akan mati jika ketahuan!” tambahnya.
Sebelum sempat kusanggah, ia sudah berbalik badan, memindahkan serpihan coklat
pada semut yang lain.
Sejak itu, aku bingung. Mengapa
Tuhan menciptakan cinta apabila cinta bisa membuat kita mati? Mengapa aku jatuh
cinta pada Sang Ratu? Mengapa aku dilahirkan hanya sebagai seorang semut
prajurit? Terlalu banyak “mengapa” tanpa ada satu pun yang terjawab.
Setiap jamnya, aku semakin tersiksa
dengan perasaan ini. Aku tidak bisa berkonsentrasi ketika mengumpulkan makanan.
Seringkali, aku dienyahkan dari barisan koloni. Aku hanya memandang Ratu dari
jauh, tanpa berani sejengkal pun mendekat padanya, atau para penjaga akan
segera memenggal kepalaku.
Namun, hari ini berbeda. Ini Hari
Kasih Sayang! Tuhan tidak menciptakan rasa “cinta” dan “sayang” begitu saja.
Bukan salahku jika aku mencintai Sang Ratu dan siapapun tak punya hak melarang.
Sudah kutetapkan, aku akan membawa serpihan coklat paling besar untuk Sang
Ratu. Aku tidak peduli apakah setelah itu napasku dihentikan paksa. Aku tidak
ingin menyesal jika hanya berdiam diri.
Begitu mendapatkan serpihan coklat,
aku mengangkatnya sekuat tenaga. Berusaha berjalan kembali ke sarang. Sebentar
lagi, aku akan bisa mengungkapkan perasaanku pada Sang Ratu. Iya, sedikit lagi.
Langkahku sempoyongan karena beban berat.
Tap!
Aku mendengar getaran sepatu,
bersamaan dengan tubuhku yang sepertinya menjadi rata dengan lantai dan
serpihan coklat.
***
Cerpen ini menjadi juara kedua dalam lomba Flash Fiction Writing Challenge 2019.
0 Creat Your Opinion:
Post a comment