Ratna Juwita
Feya menggosokkan kedua telapak tangan,
berharap dingin segera hengkang dari tubuh mengigilnya. Suhu sore itu menyentuh
angka 5 derajat celsius, angka yang cukup untuk membuatnya menggigil. Sekali
lagi, ia rapatkan mantel musim dingin hijau tua sambil mengembuskan napas
beruap.
Batu hitam yang tertutup salju di depan
Feya terlihat seperti lorong cakrawala gelap yang indah dengan lampu-lampu bercahaya
kuning di sekitar sebagai bintangnya. Beberapa pasangan terlihat bergandengan
tangan, berjalan bersisian, dan saling menghangatkan dengan tawa. Di dalam
lorong batu hitam yang disebut Stone Church itu, tampak siluet orang-orang yang
berciuman layaknya adegan film.
Pipi Feya berdenyut risih sebagai
tanggapan. Normalnya, pengunjung yang datang ke sini berpasang-pasangan. Lain
halnya dia; datang dengan harapan tanpa keyakinan bahwa seseorang akan datang
menepati janjinya. Napasnya berembus lagi, lebih dalam dan menyesakkan.
“Ini
yang terakhir ...” suara bass di ujung telepon terdengar memohon. Feya menghela
napas berat. Seketika itu pula pertahanan yang coba ia banguna selama
berhari-hari, runtuh begitu saja. Ia tidak tahu ke mana pendiriannya berlarian
tunggang langgang.
“Sungguh
ini yang terakhir?”
Laki-laki
di ujung telepon mengangguk mantap walaupun ia tahu, wanita itu takkan bisa
melihatnya. Setelah itu, mereka terdiam cukup lama, hingga laki-laki itu
memutuskan tempat pertemuan mereka.
“Sabtu
sore jam empat di Stone Church Naka-Karuizawa. Bagaimana?”
Feya
berpikir sejenak. Menimang apakah lelaki yang dicintainya selama tiga tahun
belakangan itu bersungguh-sungguh mengatakannya. Namun pada akhirnya, ia kalah
oleh perasaannya sendiri. Sambil memutar cincin bertatahkan berlian biru mungil
di tangan kanannya, ia mengangguk. Mengambil keputusan. “Oke.”
***
“Kau
selalu mengingkari janji!”
Suatu
waktu, gadisnya berteriak di telepon. Teriakan yang menyembunyikan isak tertahan.
Alfa menggigit bibir. Hal yang paling dibencinya di dunia ini adalah mendengar tangisan
seorang wanita, meskipun Feya tidak benar-benar menampakkannya. Ia merasa
bersalah. Sungguh, tapi ia tidak bisa melakukan apapun ketika bos di tempatnya
bekerja paruh waktu memberikan kerja lembur padanya.
“Maafkan
aku.” Hanya itu yang sempat diucapkan Alfa dengan penuh penyesalan. Gadisnya
mulai tergugu.
“Kau
tahu ini sudah yang keberapa kali?” Feya bertanya sarkastik.
“Maafkan
aku, Feya,”
“Pertama,”
Feya tak menggubris permintaan maaf Alfa yang sudah kadaluarsa di telinganya.
“kau berjanji menemuiku di Tokyo tower di musim semi, tapi kau tidak datang. Kedua,
kau berjanji pergi ke Disneyland bersamaku di musim yang sama, kau juga tidak
datang. Musim gugur bulan lalu pun kau mengajakku ke Shirakawa, tapi lagi-lagi
kau mengingkarinya. Sebenarnya ...” Feya berhenti sejenak, menyeka air mata
dengan punggung tangan, “apa yang kau mau?”
Alfa
mendengar suara Feya yang putus asa. Wanita yang telah membuatnya kalang kabut
karena cinta itu, ia sakiti. Separah ini. Ia menyesal karena berulang kali
mengingkari janji, tapi sekali lagi bukan itu yang dia mau.
“Feya—“
“Sudah,
Fa. Jangan hubungi aku lagi. Kita ... tidak ada hubungan apapun lagi.”
Sambungan
telepon terputus. Tubuh Alfa perlahan merosot ke lantai kayu indekosnya. Ia
menggenggam gagang telepon dengan erat, berharap amarahnya bisa terkonduksi.
Sayangnya, hatinya begitu sakit. Dari sekian makian yang mungkin ia dapatkan
dari Feya atas kesalahannya, kalimat itulah yang paling tidak ingin
didengarnya. Ia punya alasan untuk segala keingkarannya, tapi mulut itu hanya
mengatup, kemudian bergetar tanpa mampu menjelaskan apapun. Ia memang salah,
mungkin ia hanya terlalu mencintai wanita yang dua tahun lebih muda darinya itu.
***
Feya melirik jam tangan. Pukul empat
lewat lima belas menit. Ia mendengus. Setelah setahun berada di Jepang untuk
melanjutkan studi dengan beasiswa, ia masih tidak habis pikir Alfa masih tidak
bisa menepati waktu. Feya memasukkan tangannya ke saku mantel. Tanpa sengaja,
jemarinya menyentuh sebuah benda bulat kecil yang keras.
“Janji
kau tidak akan marah?”
Feya
menatap sahabat sekaligus tempat curahan hatinya itu dengan pandangan jenaka.
“Marah
soal apa?” Tangan Feya sibuk memotret Kota Tokyo dari ketinggian. Yukio
terlihat gelisah, memandang ke segala arah asal bukan pada mata Feya.
Sudah
lama Yukio menantikan momen itu. Saat ia dan Feya hanya berdua di dalam Big O,
sebuah bianglala di Kota Tokyo. Ia ingin setidaknya hal yang ingin dilakukannya
akan menjadi kenangan untuk Feya. Ia tahu mungkin ini bukanlah waktu yang
sangat tepat. Feya baru saja menumpahkan kekesalannya soal Alfa pada Yukio dan
pernyataan bahwa mereka baru saja putus.
Bukan
kesempatan dalam kesempitan yang coba ia ambil di situasi itu, tapi perasaan
yang dipendamnya selama beberapa bulan belakangan. Ia menyadari bahwa Feya
lebih dari sekedar sahabat untuknya dan ia ingin Feya tahu itu. Sebentar lagi,
kapsul mereka akan berada di titik puncak bianglala. Yukio mempersiapkan
perasaannya, ia meraih tangan kiri Feya yang bebas dari kamera dan mendekapnya
dalam genggaman.
Dada
Yukio bergejolak. Ia berasa ingin muntah, tapi ia tahan. Ia tidak mau kenangan
itu menjadi kenangan yang menjijikkan bagi Feya.
“Eh,
ada apa? Kau takut? Sejak tadi sepertinya kau sangat gugup.” Feya memandangi
telapak tangannya yang seolah tersembunyi di balik jemari besar Yukio. Feya
usil. Ia arahkan bidikan lensanya tepat ke muka Yukio yang terlihat seperti
orang menahan kentut. “Cheese!”
“Apa
kamu mau membuatkan sup miso setiap hari untukku?” Yukio bertanya cepat.
Hampir-hampir Feya tidak menangkap bahasa Jepangnya.
Ckrik.
Tangan
Feya tidak sengaja memencet tombol kamera karena kaget. Tepat setelah Yukio menyelesaikan
kalimat tanyanya. Perlahan, Feya menurunkan kamera dari bingkai mata. Ia
tercekat, tidak menyangka Yukio akan melamarnya dengan kalimat lama seperti
itu. Di saat itu.
***
Alfa bergegas. Ia berlarian demi
mengejar shuttle bus di Stasiun Karuizawa. Ia sudah terlambat lima belas menit
dari waktu yang dijanjikan. Alfa terengah ketika ia berhasil duduk di dalam bus
yang akan membawanya ke Stone Church. Uap napasnya mengepul seperti asap rokok.
Ia terpaksa kembali ke indekosnya
ketika menyadari bahwa ia meninggalkan barang paling penting yang harus ia bawa
untuk pergi ‘berperang’. Benda yang sudah susah payah ia dapatkan dengan
mengorbankan seluruh waktunya hanya untuk belajar dan bekerja. Alfa memasukkan
tangan ke saku kanan mantel hitam berbulu coklatnya untuk memastikan bahwa
benda itu masih ada di sana. Ia mengibaskan beberapa salju yang menempel di
sepatunya.
Sebentar lagi, ia pasti bisa menepati
janjinya. Ia takkan mengingkari lagi. Tak ada kerja paruh waktu yang membuatnya
lembur atau bos yang sering berteriak padanya setiap kali ia melakukan
kesalahan. Dan Feya, ... Alfa tersenyum tipis. Menyembunyikan rasa malunya
dengan menggaruk kepala.
***
Feya tidak bisa begitu saja menerima
lamaran Yukio. Ia tahu benar perasaannya pada Yukio adalah perasaan sayang pada
sosok sahabat. Tapi hatinya jutsru tertambat pada orang seperti Alfa. Feya
menundukkan wajahnya. Menyusuri salju putih yang mulai menimbun kedua kakinya
yang berbalut sepatu hitam. Feya mengangkat kaki, mengenyahkan tumpukan salju
yang membebani.
Ini yang terakhir. Ini yang terakhir.
Feya terus menerus mengulang kalimat
itu di dalam hati. Ia sudah bertekad, kalau sampai Alfa mengingkari janjinya
lagi, tidak ada alasan baginya kembali pada lelaki itu. Apapun keadaannya. Jika
selama ini ia bersikap terlalu lunak, itu karena cinta yang membutakannya. Tapi
cinta tidak bisa dipermainkan. Perasaannya bukan padam karena marah, melainkan
karena kecewa. Sedangkan Yukio datang dan menjanjikan sebuah pernikahan!
Ia lupa sudah berapa lama sejak ia mendengar
lelaki muda yang ingin menikah di Jepang, khususnya di kota besar seperti
Tokyo. Dan bukankah adegan lamaran seperti itu yang diimpikan oleh setiap
wanita sebelum tidur, termasuk dirinya? Bahwa suatu saat akan ada seorang
lelaki, dengan tatapan penuh keyakinan, mengatakan kalau ia ingin menghabiskan
hidupnya denganmu?
Puh, Feya terkekeh dalam senyap. Satu
hal mudah yang belum pernah ia dapatkan dari Alfa. Dulu, ia mengenal Alfa di
negara asal mereka, Indonesia. Mereka mengejar mimpi yang sama yaitu bisa
mendapatkan beasiswa ke Jepang. Mimpi yang membawa mereka pada jurang bernama
jarak. Membiaskan kekhawatiran mengenai sosok lain di seberang sana yang
mungkin membelokkan perasaan salah satu dari mereka atau justru keduanya.
Ia tidak pernah merasa bersahabat
dengan jarak, tapi kian hari kata itu kian akrab. Membawakannya janji-janji
penuh ingkar dari Alfa.
Feya mendongak lagi, berusaha tak
terganggu dengan pasangan-pasangan yang hilir mudik di depannya. Tak jarang ia
mendapatkan tatapan aneh karena hanya berdiri mematung, bersandar di sebuah
pohon sambil memandang warna hitam Stone Church yang kontras dengan salju.
***
Sial! Alfa mengumpat. Kakinya
bergerak-gerak tidak sabar. Stone Church sudah tidak seberapa jauh, tapi
mengapa di saat seperti ini, di antara ribuan hari lainnya, shuttle bus yang
ditumpangi Alfa mengalami mogok? Mengapa di antara shuttle bus yang bisa
ditumpangi, ia menaiki bus yang mogok di tengah jalan?
Alfa bergegas turun dari shuttle bus.
Sudah tidak dapat menahan diri. Ia sudah telat lebih dari setengah jam! Jika ia
tidak buru-buru, Feya bisa saja meninggalkannya untuk selamanya. Alfa menengok
kiri dan kanan begitu keluar dari pintu Bus. Ia berlari sekuat tenaga tanpa
mempedulikan teriakan sopir bus yang memintanya kembali ke dalam karena suhu di
luar sangat dingin.
Berkali-kali, Alfa melirik jam hitam
di pergelangan tangan kirinya. Tampak nama Alfa terukir tepat di tengah. Jam
itu adalah hadiah ulang tahun dari Feya untuknya. Alfa tidak bisa tidak berlari
walaupun gerakannya semakin melambat karena dingin dan lelah, serta medan yang
cukup sulit dengan salju setebal tujuh sentimeter.
“Ini
yang terakhir?”
Suara Feya terngingang di kepalanya.
Membuatnya menggertakkan gigi untuk melawan dingin.
Kalau Feya pergi, habis sudah
riwayatnya. Sia-sia perjuangannya mengumpulkan uang dari paruh waktu selama
ini. Alfa merogoh saku kiri mantelnya dan mengeluarkan handphone dengan layar
gelap. Berulang kali Alfa memencet tombol pada layar. Nihil. Layar itu masih
memantulkan bayangannya sendiri. Sial! Alfa mengumpat lagi.
Alfa sibuk memperhatikan
handphone-nya hingga ia tidak fokus pada jalan yang dilaluinya. Ia terpeleset,
tepat saat sepatunya menginjak bagian yang licin. Tubuhnya menabrak pagar
pembatas jalan dan terjungkal ke jalan raya.
Tiiin
Tiiinn!
Alfa sempat menangkap suara yang
memekakkan telinga itu. Sebuah mobil tanpa kendali melaju kencang ke arahnya.
***
Feya menggigil. Hari sudah beranjak
semakin sore. Feya mendongak, memandang bula yang seolah menertawakannya. Pukul
enam sore. Dua jam lamanya Feya menunggu. Ia sudah berusaha menelpon Alfa, tapi
handphone lelaki itu sepertinya dimatikan.
“Maaf, Nona. Tempat ini akan segera
ditutup.” Seorang petugas tempat itu menghampiri dan berkata dengan nada menyesal.
Feya tersenyum kecut. “Baiklah.
Terima kasih.” Begitu Feya mengucapkan itu, petugas itu pergi. Tanpa disuruh
dua kali, Feya melangkahkan kaki dengan gontai. Meninggalkan jejak-jejaknya di
salju. Bahkan, tumpukan salju di tempat sedari tadi ia berdiri, terlihat lebih
tipis daripada yang lain. Mengisyaratkan keteguhan wanita itu menunggu dua jam
di tempat yang sama demi seseorang yang tidak akan pernah datang.
Ini yang terakhir.
Air mata telah menggenang di pelupuk
mata Feya. Di bawah bulan yang sama, Alfa mengingkari janji. Tidak ada lain
kali setelah ini.
Ini yang terakhir.
Air mata itu menganak sungai. Semakin
deras ketika dengan pelan, Feya memasukkan cincin bertatahkan berlian biru
kecil dari Yukio, ke jari manis tangan kirinya.
***
0 Creat Your Opinion:
Post a comment