Ratna Juwita
“Hei
kau!”
Aku
berusaha tak menggubris suara itu. Berjalan secepat yang kubisa tanpa terlihat berlari
menghindarinya. Mendengar suaranya saja, aku sudah merinding. Lebih membuatku
bulu kuduk meremang dibandingkan suara-suara hantu yang acap kali mampir ke telinga.
“Hei,
Jackson si anak hantu!”
Kali
ini suara yang lain memanggil, terdengar lebih dekat. Aku masih tak menggubris.
“Kau
tuli?”
Tepat
setelah mendengar suara itu, tubuhku dihantam oleh benda keras dan limbung.
Lutut dan telapak tanganku bersinggungan dengan aspal yang keras dan panas.
Sedetik kemudian, roda sepeda terasa melindas kakiku. Sekali lagi, tubuhku
merinding karena menahan sakit.
“Nah,
apa kubilang?” Firman, cowok paling menyebalkan di sekolah, memutar-mutar
sepedanya mengelilingi tubuhku. Teman-temannya yang lain tertawa. Menertawaiku.
Aku menarik napas dan mengembuskannya perlahan, mencoba sekali lagi tak
terpancing dengan semua tindakan yang mereka lakukan. “Kau terlalu sering
mendengar suara hantu sampai tak mendengar suara kami?” tambahnya.
Vano,
Dito, dan Diki segera menaburiku dengan dedaunan yang telah mereka remas-remas
menjadi serpihan sebelumnya. Rupanya mereka telah menyiapkan itu di sebuah
kantong plastik. Aku bisa menebak, mereka akan menggunakan benda lain esok
hari.
“Eh,
jangan begitu, kasihan dia. Lihat, bajunya kotor! Astaga, itu tidak hanya daun
biasa, tapi daun bercampur lumpur?” Seperti biasa, Firman mendramatisir
suasana. Benar saja, seragam putih abu-abuku ber-topping lumpur sekarang.
Beberapa
anak yang lewat, seolah tak melihat. Mereka meneruskan langkah seolah tak
terjadi apa-apa. Aku mengembuskan napas tertahan. Menahan amarah.
“Kenapa
kau diam saja, Jackson? Lawan mereka! Atau aku saja?” Sebuah suara yang
terdengar manis, sedikit meredakan amarahku.
Sonjack,
hantu perempuan yang cantik itu mencoba memukul Firman dengan buku yang selalu
dibawanya. Tentu saja tidak terjadi apa-apa. Buku itu hanya melewati kepala
Firman begitu saja. Tidak berhenti sampai di situ, ia juga memukul, menendang,
dan mengumpat pada angin. Kenapa di antara banyak manusia yang melihatku
seperti ini justru hantu yang berusaha membantuku?
Sonjack
masih berupaya, ia kini terlihat lelah. Tidak berhasil dengan Firman, ia
berbalik dan mencoba mengambil batu di sekitarnya, tapi tidak satu pun dapat
digenggam. Ia melakukannya berkali-kali, mencoba berkonsentrasi, mengambil
batu, dan berakhir menggenggam angin.
“Kenapa?
Kau tidak mau membantuku? Dasar batu tidak tahu diri! Cepat sini, biarkan aku
menggenggammu!” Sonjack mengumpat lagi dan terus berusaha tanpa hasil.
Tanpa bisa dicegah, tawaku
menyembur. Oh tidak, Sonjack selalu bisa membuatku terhibur. Tawaku tak bisa
berhenti. Firman melihatku dengan tatapan aneh setengah takut. Ia memandang
berkeliling.
“Dia
sudah gila! Ayo, pergi!” Tanpa menunggu Vano, Dito, dan Diki, ia sudah melesat
dengan sepedanya meninggalkanku yang masih berkutat dengan tawa.
***
“Kenapa
kau tidak melawan mereka? Kau tidak bosan terus-terusan di-bully?” Sonjack berusaha membersihkan seragamku, tapi nihil. Ia
hanya mengelus angin.
Kami
sedang duduk di bawah pohon tak jauh dari sekolah. Aku tidak membawa seragam
olahraga hari ini karena masih dijemur. Hujan yang sering turun belakangan ini,
menghambat proses pengeringannya. Aku datang ke sekolah dengan harapan mereka
akan meloloskanku hari ini. Hari ini saja, tapi harapan itu tak pernah
terjawab.
Firman
dan teman-temannya mulai mem-bully-ku
begitu tahu aku bisa melihat ‘mereka’. Makhluk tak kasat mata yang entah
bagaimana bisa tertangkap oleh indra penglihatanku sejak masih kecil.
Terkadang, aku berpikir bahwa ini adalah kutukan atau aku memang anak hantu
seperti yang sering mereka katakan, tapi aku menganggap kemampuan ini istimewa
sejak bertemu dengan Sonjack. Hantu yang cantik ini.
Mata hazel Sonjack masih tak lepas
memandangku. Ia berjongkok sambil tetap memeluk buku bersampul biru lusuh yang
selalu dibawanya.
“Aku
tidak mengerti, apa salahnya bisa melihat hantu? Toh, kami tidak jahat!”
Sonjack memanyunkan bibirnya. “Mereka sok-sok mengatakan hantu jahat, hantu
jelek, dan lain-lain, padahal mereka sendiri belum pernah melihat hantu. Mereka
hanya termakan oleh tayangan-tayangan tak bermutu yang isinya hanya
menakut-nakuti. Apa bagusnya film seperti itu? Manusia memang aneh!” Sonjack
melirikku. “Selain kau,” imbuhnya.
Ah,
bagaimana bisa hantu semanis ini?
“Jackson,
berhenti memandangku seperti prasasti. Oke, aku memang suka dipandang. Tidak
ada manusia lain yang pernah memandangku selainmu, tapi aku tidak suka dengan
tatapanmu yang seolah menusuk.” Sonjack bergidik. “Lihat, aku merinding. Kau
pasti tidak akan pernah menemukan hantu yang merinding karena dilihat manusia.”
Mau tak
mau, senyumku tersungging. Sonjack sangat cerewet. Mungkin karena ia tak pernah
berbicara dengan manusia lain selain aku.
Sonjack
memutar bola matanya, “Kau tahu, aku sangat kesal dengan ‘teman-teman’, jika
kau menyebutnya begitu, yang hanya diam saja melihat bagaimana anak-anak nakal
itu memperlakukanmu dengan tidak adil. Apa salahmu? Bukankah manusia adalah
makhluk yang baik? Yah, aku ‘mantan manusia’ dan kurasa aku baik.” Sonjack
mengibaskan rambut ikalnya yang pirang.
Aku
tersenyum dan mengalihkan pandangan. Kaki kananku masih terasa berdenyut dan
sakit. Segera kubersihkan noda-noda yang menempel di baju dan celana.
“Jackson?”
Sonjack memanggil namaku seolah aku tak pernah mendengarkan.
Aku
mengembalikan pandangan lagi padanya. “Baik saja tidak cukup, Sonjack. Dunia
bukan hancur karena tidak ada orang baik, tapi karena banyak orang baik yang
diam.” Sonjack hanya terpaku memandangku. Kuanggap itu pertanda darinya agar
melanjutkan. “Ketika terjadi perang, mereka diam melihat. Ketika orang-orang di
belahan dunia lain mengerang kelaparan setiap waktu, mereka diam dan hanya
mengasihani ... atau juga berdoa. Ketika seseorang menderita, mereka diam tak
peduli. Kata pengarang favoritku, orang yang mengasihani adalah orang yang lemah.
Ia harus juga bertindak.”
“Apa
dunia saat ini separah itu, Jackson?” tanya Sonjack setelah diam beberapa saat.
Senyumku terkembang, “Kau
mengatakannya seolah sudah meninggal ribuan tahun yang lalu saja. Bahkan,
mungkin kau baru meninggal kemarin.”
“Jackson!
Aku serius! Mana mungkin aku meninggal kemarin? Aku sudah berwujud ‘seperti
ini’ sejak bertemu denganmu setahun yang lalu!” Sonjack menyilangkan kedua
tangan, membuat baju birunya terlipat di beberapa bagian.
Aku
tertawa dalam hati. Sonjack tak pernah suka aku menyebutnya ‘meninggal
kemarin’. Ia bahkan tidak tahu waktu, tempat, dan alasannya meninggal. Di dunia
manusia, itu disebut amnesia. Aku sempat tidak percaya ada hantu yang juga
mengalaminya. ‘Sonjack’ adalah nama pemberianku. Tentu saja ia juga tak
mengingat namanya, Jangan katakan bahwa aku buruk dalam memberi nama karena
memang aku hanya membalik nama ‘Jackson’.
Ketika
bertemu dengan Sonjack pada Desember 2016 lalu, aku berusaha menghindarinya. Ia
terlihat selalu berdiri di tempat yang sama; di tengah hutan dekat gedung
sekolah dengan baju, jeans, dan buku
biru. Ia mematung dengan pandangan linglung. Kukira, ia selamanya akan sepert
itu.
Namun satu waktu, Firman membawaku ke sana dan mengerjaiku seperti biasa.
Tanpa diduga, Sonjack yang kukira akan terus berdiam diri seperti patung justru
berusaha membelaku seperti yang baru saja ia lakukan. Ia terus berusaha
menolong walaupun tak pernah berhasil melakukannya.
Saat
itu, aku tak bisa menahan tawa yang langsung meledak melihat betapa kerasnya ia
berusaha. Itulah saat ia menyadari aku bisa melihatnya dan sejak saat itu ia
tak pernah lagi berdiri seperti patung di tengah hutan. Sebagai gantinya, ia
mengikuti kemanapun aku pergi.
Awalnya, aku sangat risih. Ia
mengikuti kemanapun. Catat, kemanapun. Bahkan, ketika aku berada di kamar
mandi. Tanpa malu, ia berdiri di sebelahku dengan senyuman khas dan tanpa rasa
bersalah sama sekali. Berulang kali aku mengatakan bahwa ia boleh mengikuti
kemanapun asal jangan di kamar mandi. Ia menurut, tapi aku lupa satu hal. Ia
mengikutiku ke ruang ganti cowok di sekolah. Akhirnya, aku mengatakan bahwa ia
juga tak boleh ke ruang ganti, tapi ia tak mau menurut.
Sonjack
sangat bebal. Ia marah karena aku ‘plin-plan’ dan tidak pernah mau menurutiku
lagi setelah itu, tapi setelah aku berjanji akan menemukan waktu, tempat, dan
alasan kematiannya, ia menuruti semua kata-kataku.
Ya, aku
masih punya misi. Menguak kematian hantu bule yang sering terlihat kesepian
ini.
***
“Bagaimana
kau bisa tahu bahwa aku tidak mati ratusan atau ribuan tahun yang lalu?”
Sonjack bertanya dengan wajah penasaran. Ia menopang dagu dengan salah satu
sudut buku birunya.
Aku
membalik halaman demi halaman buku yang berisi klipping beberapa kejadian besar selama beberapa tahun terakhir.
Buku ini kupinjam dari perpustakaan sekolah dengan sembunyi-sembunyi. Buku
seperti ini tak boleh dibawa keluar, tapi aku takkan bisa membacanya dengan
tenang di dalam perpustakaan, apalagi kalau ketahuan Firman. Ia pasti akan
mengganggu. Aku beralih menerima tatapan Sonjack yang seperti sedang
menghujaniku dengan paku karena meminta jawaban.
“Karena
bajumu,” bisikku pelan. Takut bila siswa lain melihatku berbicara sendiri,
meskipun aku sering melakukannya. Aku kembali menekuri buku seolah sedang
menggumamkan bacaannya. “Bajumu bukan model baju ratusan atau ribuan tahun
lalu. Itu baju modern. Jika kau memang meninggal ketika mengenakan baju itu,
berarti kau meninggal di abad ini, setidaknya sepuluh tahun terakhir.”
Sonjack
mengangguk seperti murid yang mendengarkan penjelasan gurunya. “Lalu, bagaimana
kau tahu aku kemungkinan meninggal di Indonesia? Seperti katamu, aku bule.”
Tanganku
merunut deretan kalimat dalam artikel tentang kebakaran besar yang terjadi tiga
tahun terakhir di beberapa wilayah Indonesia. “Kau bisa menggunakan bahasa
Indonesia. Aku hanya menebak, kau sudah lama tinggal, juga kemungkinan bahwa
kau meninggal saat berada di negara ini.”
Sonjack
mengangguk lagi. “Masuk akal,” katanya sambil memutar-mutar buku biru. Sekilas,
terbersit sebuah hal yang selama ini ternyata tak pernah kusadari.
“Sonjack,
mengapa kau selalu membawa dan memainkan buku itu? Buku apa itu? Mengapa tak
ada judulnya?” tanyaku penasaran.
Beberapa
siswa yang berseliweran mulai melirik begitu menyadari bahwa aku berbicara
sendiri. Beberapa dari mereka tak segan untuk langsung pergi dan menghujamku
dengan tatapan menghujat. Aku menunduk canggung tiap kali mereka menatapku
seperti itu. Aku memang sering mendapatkan tatapan itu, tapi tak pernah
terbiasa karenanya.
Kami
sedang berada di taman sekolah yang langsung bersebelahan dengan hutan. Ada
pagar-pagar tinggi yang mengelilingi taman dan kawat-kawat berduri untuk
mencegah masuknya hewan buas. Namun, sebenarnya aku menemukan sebuah jalan
rahasia yang bisa digunakan sebagai jalan pintas untuk bisa pergi ke hutan.
Sonjack
mengedikkan bahu. “Entahlah, aku selalu membawanya sejak awal dan tak pernah
bisa membukanya. Tapi entah mengapa aku merasa, buku ini sangat penting
untukku. Mungkinkah ... aku meninggal dalam keadaan memegang buku ini?”
tanyanya antusias.
Aku
menelengkan kepala. Baru saja aku berniat menjawab, kerahku ditarik dari
belakang.
“Hei,
Jackson! Kau sedang berbicara sendiri lagi dengan temanmu?” Bulu kudukku
meremang ketika napas Firman menyentuh tengkuk. Aku sempat merasa lega karena
tadi pagi ia tak mengerjai, tapi lagi-lagi harapanku mengkhianati.
Tidak
berapa lama kemudian, kami sudah berada di dalam hutan lewat jalan pintas.
Firman mendorong tubuhku hingga jatuh ke tanah. Vano dan Diki segera menyulut
rokok. Mereka memang biasa sembunyi di dalam hutan untuk merokok supaya tidak
ketahuan guru-guru di sekolah.
Aku
memandang Vano dan Diki. “Kalian akan diskors jika ketahuan merokok.”
“Diam,
Jackson! Kami tidak akan tertangkap jika kau tidak melaporkannya,” kata Vano
dengan senyum tersungging mengejek. Vano kemudian menarik rokoknya dari dalam
mulut dan membuangnya begitu saja. ”Lihat, aku sudah membuangnya.”
“Jackson,
matikan rokok itu!” Sonjack berteriak tiba-tiba. Raut wajahnya berubah marah
dan menunjuk ke arah puntung rokok yang dibuang Vano. Aku bingung. Tidak
mengerti dengan perilakunya. “Jackson!” teriaknya lebih kencang saat aku tak
juga beranjak. Tubuhku bergidik. Baru pertama kali ini aku melihat matanya
melotot seperti itu.
“Te-tenanglah!
Mengapa kau berteriak?” Aku berdiri, mencoba menengkannya. Diki yang masih
memegang puntung rokok, mengerutkan kening.
“Hei,
jangan coba-coba menakuti kami!” bentaknya. Aku tak menggubris. Mataku lekat
memandangan Sonjack yang ketakutan.
Sonjack
mulai menangis. Aku gelagapan. Mengapa ia tiba-tiba menangis? Air mata
bercucuran dari kedua bola matanya.
Tiba-tiba
tubuh Sonjack seperti meredup. Antara hilang dan muncul, tubuhnya terlihat
bergetar. Aku mengerjap, mengira bahwa itu adalah efek dari mata.
“Matikan
rokoknya ...,” ucapnya lirih dan terdengar putus asa. Sonjack terduduk sambil
memegangi kepala. Ia belum berhenti terisak.
Kukucek
kedua mata berkali-kali, tapi tak berhasil. Sonjack justru terlihat semakin
menghilang. Perlahan, terlihat kobaran api yang mengelilingi tubuhnya.
“Sonjack!”
teriakku panik.
***
Jiwaku
mengembara. Beberapa kali aku dibawa berputar seperti mengelilingi tahun demi
tahun dalam waktu singkat. Putaran itu berhenti ketika tubuhku berada di sebuah
hutan. Aku tidak mengenal hutan ini tapi entah mengapa aku juga tidak merasa
asing. Mengapa aku tiba-tiba ada di sini?
Aku
memandang berkeliling. Sedetik yang lalu aku berada di dalam hutan bersama
Firman dan kawan-kawannya, serta Sonjack yang terlihat kesakitan. Sonjack, di
mana Sonjack? Aku memandang berkeliling dengan panik. Namun, mataku justru
menangkap sosok beberapa orang yang sedang berbicara.
Satu
orang memakai jas dan setelan mewah, dua orang lain terlihat sangat lusuh
dengan kaos dan celana pendek yang apa adanya seperti seorang buruh, satu lagi
seorang petugas berseragam lengkap. Aku menajamkan penglihatan.
“Aku
akan memberi kalian baju dan rokok, tapi lakukan seperti yang kukatakan,
mengerti?” kata orang yang memakai jas sembari menghisap rokoknya.
Dua
orang berbaju lusuh mengangguk sambil tertawa. “Itu mudah, Pak Bos! Serahkan
saja pada kami.”
Orang
yang dipanggil Pak Bos ikut tertawa. “Kau, Kir, katakan pada atasanmu bahwa ini
hanya kebakaran biasa akibat lahan kering. Jangan sampai aku tertangkap karena
memerintahkan kalian membakar hutan ini. Aku akan segera membangun resort bernuansa alam di sini. Kalian
bisa menikmati hasilnya juga ‘kan
kalau tempat ini menjadi destinasi wisata?”
Kir,
polisi berseragam lengkap itu mengangguk. “Siap, Pak. Kita memang tidak
membutuhkan hutan ini. Untuk apa kayu-kayu yang tak bisa dijual ini?”
Pak Bos
menjentikkan jari. “Nah, buat apa?” ucapnya menyetujui. “Pemerintah malah tidak
membuat hutan ini jadi lebih berfungsi. Hanya didiamkan saja. Paru-paru dunia
katanya?” Pak Bos tertawa mengejek sambil mengibaskan tangannya di udara.
Apa?
Siapa mereka ini? Aku mencoba berpikir, tapi tak menemukan jawaban. Kebakaran
hutan tiga tahun belakangan ini ... ulah mereka? Jadi, kebakaran-kebakaran itu
bukan karena kekeringan?
Kepalaku
berdenyut, masih mencoba mencerna informasi yang baru kudapatkan. Aku bahkan
tidak tahu sedang berada di mana dan kapan, yang jelas aku harus segera
melaporkan mereka ke polisi. Tunggu, salah satu dari mereka ‘kan polisi.
Bruk!
Aku
menoleh, begitu juga dengan empat orang itu. Raut wajah mereka terlihat kaget.
Dari balik sebuah pohon, seseorang terjatuh. Seorang perempuan berambut ikal berkuncir
kuda yang mengenakan pakaian serba biru dan ... sebuah buku biru?
Jantungku
berdegup kencang. Sonjack? Itu Sonjack?
Tepat
saat aku ingin mendekati, Sonjack berlari membabi buta.
“Kejar
dia! Jangan sampai dia melapor!” perintah Pak Bos dengan suara yang membahana.
Tak butuh waktu lama untuk dua buruh dan polisi itu untuk mengejar Sonjack.
Napasku
tercekat. Aku berusaha berteriak, tapi tak ada satu huruf pun yang berhasil
keluar dari kerongkongan. Aku masih berusaha berteriak meminta tolong, tapi sia-sia.
Aku hanya bisa memandang Sonjack yang berusaha lepas dari cengkraman polisi dan
dua orang buruh.
Air
mata mengalir tanpa bisa kubendung lagi. Tubuhku menggigil dan tak bisa
bergerak sesenti pun dari tempatku berdiri. Kakiku melemas ketika Pak Bos meneriakkan
hal yang membuat otot kakiku tak bisa lagi menopang berat tubuh.
“Ikat
dia! Biar dia rasakan bermalam di hutan ini sebagai pelajaran agar tak lagi
mencampuri urusan kita!”
Semuanya
berlalu begitu cepat. Begitu sadar, Sonjack sudah terikat di sebuah batang
pohon sambil terisak. Pak Bos membuang puntung rokoknya yang telah memendek
begitu saja dan menyuruh mereka pergi bersamanya meninggalkan Sonjack.
Sonjack
berusaha berteriak ketika puntung rokok itu mulai menyulut dedaunan dan membuat
kobaran kecil, tapi mulutnya juga dibungkam dengan kain. Matanya berkilat
memandang api yang mulai menyebar. Pak Bos dan orang-orang itu tak lagi menoleh
ke belakang.
Aku
menjerit dalam kebisuan. Air mataku tak bisa berhenti mengalir melihat api itu
perlahan menjilat pohon demi pohon.
***
Mataku
terbuka. Hal pertama yang kulihat adalah kedua orang tuaku yang memandang
dengan ekspresi khawatir. Mataku mengerjap pelan, terasa sembab dan berat.
“Jackson?”
Ibu menggenggam tanganku. Aku langsung mengenali bahwa kami sedang berada di
ruang UKS sekolah.
Air
mataku tak bisa terbendung begitu melihat Ibu. Aku Menangis karena menyaksikan
Sonjack meninggal. Menangis karena tak bisa melakukan apapun selain melihatnya.
“Kepala
sekolah menelepon kami karena kau ditemukan pingsan di dalam hutan,” kata Ibu
tanpa kuminta. “Jackson? Sudah jangan menangis.” Ibu memeluk dan mengelus
punggungku. “Sudah, tenang. Kenapa kau tidak bilang kalau di-bully? Mereka sedang mendapatkan
hukumannya sekarang. Sudah jangan menangis, Ibu di sini.”
Aku
menggeleng. Tak bisa mengatakan apapun walaupun ingin. Aku bukan menangis
karena itu. Ingin mulutku meneriakkan alasannya, tapi sekali lagi lidah ini
kelu.
Ayah
mengembuskan napas. “Maafkan Ayah dan Ibu yang tak pernah memerhatikan bajumu
yang selalu kotor, Jackson. Maafkan Ayah karena tak pernah menyadarinya.” Ayah
menunduk, mengusap kepalaku dengan seraut wajah bersalah.
Lagi-lagi,
aku hanya menggeleng pelan. Bukan itu alasanku menangis seperti ini. Bukan. Air
mataku mengalir lebih deras.
***
Setelah
kejadian itu, aku tak lagi bisa menemukan Sonjack di mana pun. Ia tak pernah
muncul. Tak juga bisa melihatnya. Bukan karena aku kehilangan kemampuan itu,
tidak. Aku masih bisa melihat ‘mereka’, tapi tidak dengan Sonjack.
Aku
memandang buku bersampul biru polos lusuh yang diberikan Ibu padaku saat aku
terbangun di UKS beberapa hari lalu. Kata guru yang menemukanku, aku
menggenggam buku itu saat pingsan dengan
erat.
Tanganku
meraba sampulnya yang terlihat tua. Tidak salah lagi, ini buku yang selalu
dibawa Sonjack. Bagaimana mungkin buku ini ada di tanganku?
Aku
menarik napas dan mengembuskannya perlahan, mengumpulkan keberanian untuk
membuka buku itu. Jemariku membalik halaman pertama hingga ke halaman-halaman
berikutnya yang menceritakan betapa Sonjack sangat mencintai hutan dan alam.
Ia
seorang yatim piatu dan tak memiliki sanak keluarga. Ia pergi ke Indonesia
karena mendengar bahwa Indonesia masih sangatlah rimbun dan alami dibandingkan
negara asalnya. Ia tak menyebutkan nama negaranya. Sonjack ingin menjaga
keasrian hutan-hutan di Indonesia. Tanpa sadar, air mata menyebrangi pipi.
Ketika orang-orang Indonesia sendiri mengabaikannya, mengapa justru orang asing
yang lebih peduli?
Memang,
rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Sonjack ingin menjaga hutan
Indonesia, sedangkan beberapa dari orang Indonesia justru menggemari bentang
alam negara lain.
Di
halaman terakhir, tanganku gemetar menyentuh tulisan yang seperti baru. Kubaca
lamat-lamat kata demi kata.
‘Mengapa kau mau menolongku? Sejak bertemu
denganmu, semuanya berubah. Aku tak lagi hantu yang kesepian. Terima kasih
untuk semuanya.’
Aku memejamkan mata. Membiarkan
butir-butir bening meresap sampai ke hati.
“Tokoh
detektif favoritku pernah berkata, ada banyak alasan orang untuk saling
membunuh, tapi tak ada alasan logis untuk saling menolong,” jawabku meskipun
tahu Sonjack takkan pernah bisa mendengarnya.
Pada
akhirnya, aku tak pernah benar-benar tahu nama asli Sonjack. Namun, aku menemukan
sebuah kalimat di belakang buku.
‘P.s. My name is Sonjack, I love this
name.’
***
Yampun... Daleeeemmm.. >.<
ReplyDeleteEtapi nggak menakutkan... Malah aku jadi pengen berkenalan sama hantu baik lain yg diliat Jackson.. :3
DeleteIya engga menakutkan lha wong ini engga tema horor wkwk cuma tokohnya aja yang hantu ^0^
DeleteCoba aja Ka Ten dibuka indera keenamnya xD mungkin bisa kenalan sama Sonjack :p