“Kamu percaya gak,
kalau kamu bener-bener pengin sesuatu, terus kamu minta sungguh-sungguh dan
yakin, semesta pasti bakal berkonspirasi buat ngewujudin permintaanmu?”
“Fal … Falo … Falo!”
Mataku terbuka, sedikit
terasa berat dan panas. Aku tidak langsung menegakkan badan untuk melihat
makhluk kurang ajar yang mengganggu tidurku. Aku tidak akan repot-repot menoleh
karena sangat mengenal suara itu. Uh, mimpi itu lagi. Sialnya, lagi-lagi aku
dibuat bangun dalam keadaan menangis.
“Woy, udah bangun kan, lo?”
Aku tidak perlu menoleh
untuk tahu siapa dia. Aksen Jakartanya yang khas sangat mudah dikenali.
Makhluk kurang ajar itu
berusaha mengintip wajahku yang menghadap ke jendela. Buru-buru kuusap air
mataku sebelum ia memergoki. Mataku lurus menatap wajahnya yang dihiasi sebuah
cengiran lebar tanpa ada gurat rasa bersalah sama sekali. Aku mendengus, lalu
menegakkan badan.
“Jam makan siang kantor
malah tidur. Makan, Bro! Sakit lo ntar.” Mario menghempaskan pantatnya di kursi
sebelah.
“Menurut penelitian, tidur
siang selama sekitar 15 menit bisa ningkatin produktivitas kerja. So,
itu nasi buatku?” Aku menyerangnya dengan pertanyaan langsung untuk menghemat
tenaga bicara. Mataku melirik kantong plastik di tangan kanannya.
Mario mengerutkan dahi,
“Weh, lo serem ya, sering banget bener tebakannya. Lo beneran cuma asal nebak
apa sebenernya bisa baca pikiran orang sih?” Dia mengatakannya sembari
meletakkan bungkusan itu di atas meja kerjaku.
Aku hanya bisa
memberikannya cengiran. “Thanks, Rio! Meskipun kelakuanmu kayak setan,
tapi hatimu baik kayak setan yang udah tobat.”
“Yee, ngejek gue mulu lo,
kucing! Sini!” Mario memasang muka pura-pura marah. Tangannya terulur untuk
merebut kembali nasi bungkus yang sudah kudekap dengan kedua tangan, tapi
segera kutepis. Sekilas ketika tangan kami bersentuhan, aku tahu dia ingin
menceritakan tentang seseorang padaku.
Mario tidak salah saat
mengatakan bahwa aku bisa membaca pikiran orang lain, tapi aku tidak akan
pernah mengatakan rahasiaku itu pada siapa pun, termasuk dia. Aku pernah
menyakiti seseorang dengan kemampuanku ini dan itu menjadi hal yang
paling kusesali sampai saat ini. Kalau bisa, aku ingin lupa bahwa aku punya
kemampuan ini. Dan kalau bisa, aku ingin berjumpa kembali dengan orang itu.
Sambil cengengesan, aku
membuka bungkus makanan yang ternyata berisi nasi rames. Perutku berbunyi, siap
menerima makanan di depanku dengan sepenuh lambung.
“Lo kenapa sih, tiap
diajak ke reuni SMA gak pernah mau? Lo pasti nyesel karena temen-temen cewek
kita di SMA … beuhh … sekarang jadi pada cakep-cakep banget, Bro!”
Here he goes.
Mario mengatakannya sambil
memainkan bolpoin karakter berwarna kuning yang selalu ada di meja kerjaku. Aku
melirik sekilas ke arah bolpoin itu. Menahan mati-matian otakku untuk tidak
membangkitkan kenangan tentang dia. Oke, aku tahu aku akan selalu
gagal untuk urusan ini.
Kepalaku manggut-manggut.
Pura-pura antusias. Sesendok penuh nasi dan lauk berhasil mendarat mulus di
mulutku.
“Lo kan udah lama jomlo,
sampe gue gak inget lagi kapan terakhir kali lo punya hubungan sama cewek. Lo
beneran bukan gay, kan?” Mario memandangku dengan tatapan ngeri.
Aku memasang wajah
mencibir. Enak saja, aku bahkan terlalu normal sampai-sampai melupakan satu
cewek saja tidak bisa. Namun, aku hanya terus mengunyah. Tak menanggapi.
“Kemarin nih, ada cewek
yang gak pernah keliatan di reuni sebelumnya. Katanya, dia baru balik dari
Australia dan lagi buka praktik apa gitu … bimbingan konseling apa, ya?” Mario
mencoba mengingat-ingat sesuatu meskipun aku yakin dia tidak akan ingat.
Otaknya tidak didesain untuk mengingat hal selain cewek. “Ah, pokoknya itulah!”
Aku tertawa. Memangnya
kami anak sekolahan pakai bimbingan konseling segala?
“Wah, lo rugi banget gak
dateng soalnya itu cewek cantik banget! Beneran! Walopun gue gak inget pernah
sekelas sama dia sih. Katanya, dia udah pindah duluan ke luar negeri beberapa
bulan setelah masuk ke sekolah kita gitu.” Dia terlihat sangat antusias seolah
baru bertemu langsung dengan artis Korea kesukaannya. Aku masih tidak tertarik.
Mungkin karena melihatku
yang jauh lebih asyik melahap nasi rames daripada bertanya lebih lanjut tentang
cewek itu, dia mengembuskan napas, meletakkan bolpoin karakter kuning ke tempat
asalnya, lalu menepuk-nepuk pundakku. Aku menaikkan alis.
“Untung gue udah punya
tunangan, kalo gak, udah gue sambar dia.” Mario mengeluarkan sesuatu dari balik
kantong bajunya, lalu menyodorkan padaku kertas persegi panjang kecil yang
sepertinya adalah kartu nama. “Nih, barangkali lo bisa bimbingan konseling sama
dia. Tempat praktiknya di dekat sini kok. Plis, Bro. Jangan nyiksa diri lo buat
seseorang yang gak pernah ada.” Aku mengerutkan kening mendengar perkataannya.
Dia hanya menganggukkan kepala seolah sangat paham dengan kondisi mentalku,
lalu beranjak pergi sebelum aku sempat mengatakan apa pun.
Aku memang pernah
menceritakan pada Mario soal dia, tapi sama seperti orang lain,
Mario sama sekali tidak ingat tentang dia. Mataku beralih dari
punggung Mario yang menjauh, ke kartu nama yang diletakkannya di depanku. Di
sana tertulis: ‘Adriana E. Putri, B.S., M.S., Psikolog’ lengkap beserta alamat
dan nomor teleponnya. Tiba-tiba dadaku terasa nyeri. Aku tidak butuh ke psikolog,
sungguh. Aku hanya butuh bertemu dia. Sesederhana itu.
***
“Elisa?” Bu Berta, guru
biologi kami sedang membacakan presensi.
Seseorang mengangkat
tangan. Spontan, aku menoleh ke sebelah kiri. Terkejut.
“Hadir,” ucap seorang
gadis asing yang duduk tepat di sebelah kiriku.
Aku langsung berdiri
dari tempat duduk dan menimbulkan suara gaduh yang berasal dari gesekan antara
kaki kursi dan lantai. Kegaduhan kecil yang kubuat sukses menarik perhatian Bu
Berta dan teman-teman sekelas. Aku memandang gadis itu lamat-lamat. Mata kami
bertemu. Wajahnya terlihat datar.
"Ada sesuatu,
Falo?" Suara Bu Berta menyadarkanku dari keterkejutan. Aku menoleh ke arah
Bu Berta, lalu mengedarkan pandangan pada teman-teman sekelas yang kini
menjadikanku pusat perhatian.
Aku mencoba
mengenyahkan keterkejutanku, "Bu, dia ...?" Tanganku menunjuk pada
gadis itu. Mataku kembali bersinggungan dengan mata hitamnya.
"Ya? Ada apa
dengan Elisa?" Bu Berta balik bertanya dengan nada suara yang sangat
normal seolah-olah keberadaan gadis bernama 'Elisa' di sana adalah sesuatu yang
wajar. What? Aku ganti memandang teman-teman sekelas. Tidak
ada yang bereaksi.
Mulutku megap-megap
tanpa berhasil mengeluarkan suara sama sekali. Sungguh demi Tuhan, selama ini
aku duduk sendirian di bangku pojok kiri belakang. Di dekat jendela. Aku memang
sengaja tidak duduk tepat di tepi jendela, melainkan di bangku sebelahnya lagi
karena sinar matahari kadang begitu mengganggu. Sekarang, ada seseorang di
sana! Aku mengucek kedua mataku.
"Falo, jangan
membuat keributan. Pelajaran akan segera dimulai. Duduk lagi di bangkumu!"
Aku tidak punya pilihan
lain selain menuruti kata-kata Bu Berta meskipun aku masih sangat terkejut.
Kutarik lagi kursiku ke tempat semula, lalu duduk dengan ragu-ragu. Begitu
pantatku menempel ke kursi, gadis di sebelahku membuang muka.
Aku masih sibuk
memerhatikan gadis itu dengan penuh tanda tanya. Gadis itu nyata. Rambut
hitamnya tergerai sedikit di bawah bahu. Ia menopangkan dagunya di telapak
tangan kanan dan terus mengarahkan pandangan ke jendela. Entah apa yang sedang
dilihatnya. Mungkin ia sedang melihat anak kelas sebelah yang sedang mengikuti
pelajaran olahraga, atau langit yang terlihat cerah dengan awan berarak, atau …
hei! Bukan itu poinnya!
Aku tidak bisa
berkonsentrasi selama pelajaran berlangsung. Jujur, bukan karena dia cantik
atau apa, tapi siapa yang tidak akan bergidik ngeri jika bangku yang selama ini
kosong tiba-tiba ditempati oleh seseorang?
***
“Rio, kamu kenal cewek
yang duduk di sebelahku?” Aku berbisik ke telinga Mario saat jam istirahat
tiba. Ketika bel berbunyi, aku langsung beranjak dari bangku dan menariknya
menepi ke dinding.
Mario mengerutkan
kening, lalu melihat ke arah bangkuku. Aku mengikuti arah pandangannya. Gadis
itu masih duduk di sana sambil memandang ke luar jendela. “Siapa? Maksud lo
Elisa? Lah, dia kan teman sekelas kita, selalu duduk di sebelah lo. Lo ngejek
gue, ya? Meskipun gue bego, gue pasti ngenalin temen sekelas gue lah gila aja
lo!” Mario terlihat tersinggung.
Napasku tertahan. Dia
jujur. Aku tahu karena aku bisa membaca pikiran orang dengan menyentuhnya!
Kulepaskan lengan Mario dan langsung menyentuh teman-teman yang masih ada di
kelas. Aku melontarkan pertanyaan yang sama sambil menyentuh mereka dan
semuanya menjawab serupa: itu Elisa, teman sekelas kita.
Ketika Mario mengajakku
ke kantin, aku hanya menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan. Aku sedang
tidak nafsu makan. Ada apa ini sebenarnya? Kenapa hanya aku yang tidak
mengenali gadis itu? Tunggu, apa aku amnesia? Atau mataku bermasalah sehingga
selama ini tak pernah melihat ada ‘orang’ yang duduk di sebelahku?
Aku mengacak rambut,
frustrasi.
***
Keesokan harinya, aku
memutuskan untuk berangkat pagi-pagi buta ke sekolah. Jam di tanganku masih
menunjukkan pukul setengah enam pagi. Sip, siapa yang akan datang ke sekolah
sepagi ini? Bahkan, ini adalah rekor untukku. Semalaman aku hampir tidak bisa
tidur memikirkannya. Aku bertekad akan menyaksikan dengan mata kepalaku
sendiri: Elisa datang dari pintu dan duduk di sebelahku. Kalau aku berani, aku
juga akan coba mengajaknya bicara. Kalau aku berani, catat.
Aku menaiki tangga ke
lantai tiga—setengah berlari. Namun, begitu sampai di pintu kelas, tubuhku
menegang. Aku sampai lupa untuk bernapas. Oh, for God’s sake! She is
there! Iya, di bangku paling ujung sebelah jendela!
Situasi masih sangat
sepi. Hanya ada satu dua anak yang berpapasan denganku ketika aku menaiki
tangga. Jantungku hampir berlarian pergi ketika Elisa melirik ke arahku. Tajam.
Tanpa Ekspresi. Seolah ia memang tahu bahwa aku memerhatikannya dari tadi,
kemudian menebarkan ancaman untuk tidak mengusiknya. Bulu
kudukku berdiri. Tiba-tiba saja angin yang terasa dingin membelai tubuhku. Aku
bergidik.
***
Sejak adegan horor pagi
itu, aku tidak pernah lagi berangkat pagi ke sekolah. Lebih baik aku datang
terlambat daripada harus mengulangi kejadian yang sama. Aku bukan orang yang
penakut, sungguh, tapi gadis itu sukses membuatku merinding disko.
Seminggu sudah
terlewati sejak pertama kali aku menyadari keberadaannya. Selama itu, aku terus
memerhatikannya. Dia terlihat SANGAT normal. Maksudku, dia memang lebih sering
memandang ke luar jendela daripada mengikuti pelajaran. Namun, ketika guru
berkali-kali menegurnya sembari memberikan pertanyaan yang sulit, dia bahkan
bisa menjawabnya dengan mudah. Oke, itu mungkin justru semakin membuatnya
terlihat ‘tidak normal’.
Pernah suatu ketika, Bu
Berta—yang terkenal galak—sedang tidak dalam mood yang baik, ia sengaja
memberikan pertanyaan yang sulit pada Elisa. Mungkin ia pikir Elisa adalah
sasaran empuk untuknya yang sedang emosi tingkat dewa.
Bu Berta memberikan
pertanyaan sulit tentang otak dan dengan sadisnya ia menyuruh Elisa menyebutkan
semua nama bagian-bagiannya. Tanpa diduga, Elisa bisa menyebutkan semuanya
dengan kecepatan ekstra lengkap dengan fungsinya. Bu Berta dan kami semua cuma
bisa melongo.
“…. Sistem Limbik
bertanggungjawab atas emosi manusia. Yang termasuk dalam sistem ini adalah
hipotalamus, bagian dari thalamus, amigdala yang aktif menghasilkan amarah dan
rasa takut, hippocampus—”
“Stop!” Bu Berta
memotong kalimatnya. Aku tidak tahu sampai mana Elisa akan menjelaskan semuanya
kalau Bu Berta tidak menghentikannya saat itu. Setelah berhenti mengoceh soal
otak, Elisa kembali menoleh ke arah jendela. Sejak itu, tidak pernah ada lagi guru
yang berusaha untuk mengusiknya.
***
“Keluarkan alat tulis
kalian dan letakkan hanya bolpoin, pensil, serta penghapus saja di atas meja.
Selain alat tulis yang saya sebutkan, masukkan ke dalam tas kalian!”
Mataku melotot ketika
aku tak menemukan kotak pensilku di mana pun. Aku membungkuk untuk melihat ke
dalam laci. Nihil. Oh, tidak. Sepertinya aku meninggalkannya di atas meja
belajar setelah belajar semalaman dan ketiduran. Aku lupa memasukkannya lagi ke
dalam tas!
Aku menghela napas
sejenak, sibuk mengedarkan pandangan sambil menimang-nimang siapa yang
sekiranya mau meminjamkan bolpoinnya. Sistem pinjam-meminjam bolpoin di antara
anak sekolah adalah sebuah perbuatan yang ‘tabu’ karena berisiko tidak akan
kembali. Karena itu, di kelas seolah ada peraturan tidak tertulis mengenai
larangan pinjam-meminjam alat tulis.
Tuk tuk tuk …
Di tengah kebingungan,
aku mendengar suara sesuatu bergulir. Aku melongok ke bawah dan mendapati
sebuah bolpoin bening dengan garis warna-warni yang khas. Hanya dengan
melihatnya saja, aku tahu siapa pemiliknya.
Aku mengambil bolpoin
itu ragu-ragu. Kuberanikan diri menoleh sedikit demi sedikit ke arah Elisa yang
masih saja memunggungiku. Dia menatap jendela. Takut-takut, kusodorkan bolpoin
itu ke mejanya.
“Mmm, bolpoinmu jatuh,”
ucapku sesingkat mungkin.
Kukira, dia tidak akan
mengatakan apapun seperti biasanya dan hanya akan membalas orang yang
mengajaknya bicara, dengan tatapan yang intens dan tajam. Ternyata tebakanku
salah.
Elisa sedikit menoleh.
“Aku gak butuh. Pake aja kalo mau.” Untuk pertama kalinya, aku mendengar
suaranya yang tidak sedang menjawab pertanyaan guru dan itu membuatku sangat
terkejut.
Dan untuk pertama
kalinya pula aku memandang mata hitamnya tanpa membuat bulu kudukku berdiri.
Dari jarak super dekat. Entah kenapa, aku merasa seperti melihat tempat asing
tak berujung yang gelap dan dalam di matanya. I feel like ... I step
into the unknown.
Jadi, dia benar-benar
manusia?
***
“Elisa, makasih
bolpoinnya. Kamu sengaja jatuhin kan, karena tau aku gak bawa bolpoin?” Sejak
hari itu, aku terus mengulang-ulang kalimat yang sama dan mendapat reaksi yang
sama darinya: lirikan tajam. Malah aku merasa kian hari kian tajam.
Selama hampir dua
minggu, aku selalu melakukannya. Lama-lama, kalimat itu seperti pengganti
ucapan ‘selamat pagi’ untuk Elisa. Sepagi apapun aku datang, Elisa selalu sudah
ada di sana lebih dulu. Aku tidak tahu apakah dia sebenarnya tidak pernah
pulang atau apa, tapi kurasa itu mungkin karena rumahnya berada di sekitar
sekolah, jadi dia cepat sampai … ah, sejak kapan aku jadi berpikir positif
padanya?
Aku tahu dia tidak akan
meresponsku seperti sebelum-sebelumnya, jadi aku hanya ingin memberinya sesuatu
sebagai ucapan terima kasih karena sudah memberikanku bolpoinnya. Kuletakkan
sebuah bolpoin karakter kuning yang aku beli dari toko buku kemarin sepulang
sekolah. Karena biasanya para gadis menyukai benda seperti ini, kupikir Elisa
juga mungkin akan menyukainya.
“Ini, sebagai ucapan
makasih udah ngasih aku bolpoinmu. Anggep aja kayak kita tukeran.”
Elisa menoleh. Menatap
ke arah bolpoin karakter yang kuulurkan padanya, lalu mendongak padaku sambil
mengangkat kedua alisnya.
Tanpa dia perlu
mengatakan apapun, aku seperti bisa mendengar pertanyaannya, 'apaan nih?'
“Bolpoin karakter. Aku
pikir, kamu bakal suka,” jawabku.
Keraguan tampak singgah
sebentar di wajahnya, tapi pada akhirnya bolpoin karakter itu berpindah ke
tangannya. “Makasih,” ucapnya lirih. Hampir tidak terdengar.
Kepalaku mengangguk
sebagai balasan. Aku menghempaskan diri di tempat duduk dan berniat membuka tas
sebelum akhirnya gerakanku berhenti. Aku mematung.
Tunggu, apa dia baru
saja mengucapkan ‘makasih’ padaku?
Aku menoleh padanya.
Mataku langsung disambut oleh wajahnya yang telah lebih dulu menoleh ke arahku.
Aku berusaha mati-matian untuk tidak salah tingkah, tapi tidak berhasil. Itu
adalah kali pertama dia benar-benar menoleh sepenuhnya ke arahku! Refleks,
mataku mencari-cari objek lain untuk dilihat. Apa pun asal bukan matanya.
Aku mendengar dia
mendengus. Senyum—sangat—tipis menghiasi wajahnya. “Kelakuanmu kayak remaja
lagi puber aja.”
Aku menatapnya tak
percaya. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah dikatakannya pada
seseorang—selain tentang pelajaran. Dan, hei … aku memang masih remaja … dan
aku sedikit tidak nyaman dengan kata ‘puber’ itu.
“O-oh ya?” Aku
bingung bagaimana harus merespons ucapannya.
Kami dicekam keheningan
yang cukup lama, sebelum akhirnya dia bertanya, “Kamu percaya dunia
paralel itu ada?”
Hah? Dari mana
datangnya topik ini tiba-tiba? Elisa menopangkan dagu dengan telapak tangan
kirinya dan menatapku. Aku berkutat dalam pikiran kosong untuk menjawab
pertanyaannya.
Terdiam. Sangat lama.
Sial! Kemana perginya
kosa kataku? Kenapa otakku sering tidak berfungsi ketika aku SANGAT
membutuhkannya?
“Ah, mm, anu …” Astaga!
Apakah bibirku tidak bisa mengucapkan sesuatu yang lebih keren dari sekedar ‘ah
mm anu’? Apakah aku tidak bisa mengatakan kalimat semudah ‘ya aku percaya’ atau
‘apa itu’?
Elisa tersenyum. Senyum
pertama yang kulihat terbit di wajahnya. Jantungku seolah memantul antara
langit dan tanah. Aku sibuk menerka-nerka, apakah senyuman itu adalah hukuman
yang dipersiapkan semesta untuk membuatku sejenak lupa cara mengerjapkan mata?
Buset, dari mana pula
datangnya kata-kata puitis itu? Hei, otak! Dibandingkan mengarang puisi seperti
itu, keluarkanlah kalimat yang sedikit berguna agar kami bisa berinteraksi
dengan normal!
Obrolan kami kemudian
berakhir dengan pertanyaannya yang tidak mampu dijawab oleh otak lambanku.
***
Selama berhari-hari,
aku sibuk memikirkan jawaban untuk pertanyaannya, tapi terlalu membingungkan.
Dunia paralel? What the hell is that? Aku memang pernah
mendengarnya di suatu tempat, tapi tidak benar-benar tahu apa itu. Akhirnya,
aku memutuskan untuk membuka internet untuk mencari segala sesuatu tentang
dunia paralel.
Dari semua informasi
yang berhasil kukumpulkan, aku hanya bisa menyimpulkan bahwa dunia paralel
adalah dunia tempat diri kita yang lain juga menjalani kehidupan secara
bersamaan, tapi dengan kondisi, situasi, dan latar belakang yang mungkin
berbeda. Teori Dunia Paralel lahir karena interpretasi mengenai banyak dunia
dalam mekanika kuantum. Oke, aku tidak terlalu paham dengan kalimat yang
terakhir. Aku lupa bilang bahwa aku tidak begitu menyukai Fisika.
Apa Elisa menyukai
fisika? Aku tidak menyadarinya karena ia menguasai semua bidang pelajaran.
Pemahamannya jelas jauh melebihi aku dan teman-teman sekelas. Apa dia hanya
sekadar basa-basi ketika menanyakannya karena tahu aku tidak akan mengerti
maksudnya?
***
Aku meraih kertas
‘rencana masa depan’ dari teman di depanku, lalu memberikan satu kertas untuk
Elisa. Ah, aku tidak suka ini. Mengapa kita harus memikirkan masa depan jika
kita bisa hidup untuk hari ini? Aku tidak ingin memikirkan mau jadi apa
nantinya, tidak bisakah selamanya kita menjadi remaja seperti sekarang?
“Kamu percaya gak,
kalau kamu bener-bener pengin sesuatu, terus kamu minta sungguh-sungguh dan
yakin, semesta pasti bakal berkonspirasi buat ngewujudin permintaanmu?”
Kepalaku menoleh ke
arah Elisa. Dia mengatakannya sambil menulis sesuatu di atas kertas itu. Aku
melirik bolpoin karakter pemberianku yang digunakannya, lalu beralih ke kata
yang dituliskannya di kolom cita-cita.
“Ini bukan ujian, kamu
gak perlu nyontek.” Elisa melirikku dengan tajam.
Bibirku membentuk
cengiran lebih dulu. “Kamu percaya sesuatu kayak gitu?” Elisa hanya mengangguk
sebagai jawaban, tanpa menoleh ke arahku. “Kalo dipikir-pikir, kamu kan pinter,
nilaimu selalu bagus. Kamu pasti tipe orang kayak gak banyak masalah. Jadi kamu
bisa percaya sesuatu kayak gitu. Menurutku, percaya aja gak cukup sih. Hidup
gak segampang pengin, terus bakal terwujud.” Aku meletakkan kepala di atas
meja. Wajahku mengarah padanya.
Raut wajah Elisa
berubah. Ia terlihat … marah?
“Orang yang tampak
‘baik-baik’ aja, bukan berarti gak punya masalah. Cuma gak diungkapin aja.”
Elisa mengalihkan pandangannya dariku. Kembali menekuri kertasnya.
Aku tidak menyangka dia
akan bereaksi seperti itu. Apa dia punya masalah? Tiba-tiba sebuah ide
terlintas di benakku. Aku pura-pura tidak sengaja menggelindingkan bolpoinku ke
mejanya, lalu mengambil bolpoin itu dengan cepat. Sengaja menyentuh tangannya.
Sekilas ketika tangan
kami bersentuhan, aku bisa melihat seorang gadis kecil dengan darah di ujung
bibirnya dan seorang laki-laki paruh baya yang sedang mengacungkan pisau
padanya. Seorang perempuan yang terlihat sedikit lebih muda dari laki-laki itu,
berusaha melerai mereka, hingga akhirnya pisau itu justru tertancap di tubuh
ringkih perempuan itu.
Aku terkejut. Tanpa
adar, tubuhku bergerak menjauh dari Elisa. Apa yang baru saja kulihat? Aku
membeku cukup lama sampai tidak menyadari tatapan Elisa yang … tajam dengan
mata memerah … seperti … mau menangis. Aku mengerjapkan mata, kebingungan.
“El-Elisa—“
“Kamu pikir dengan
memiliki kemampuan itu, terus bikin kamu bisa seenaknya baca pikiran orang
lain, gitu?”
Aku terkesiap. Pertama
karena kata-katanya benar, kedua, dari mana dia bisa tahu kalau aku bisa
membaca pikiran orang?
Aku tidak tahu apakah
bunyi bel adalah pahlawan kesiangan di situasiku saat ini atau bukan, tapi aku
sedikit merasa lega. Setelah menyuruh kami mengumpulkan kertas ‘rencana masa
depan’ besok, guru meninggalkan ruang kelas. Elisa masih menatapku, dengan
pandangan yang sudah tidak bisa lagi kutahu artinya. Walaupun masih bingung,
pada akhirnya tubuhku bergerak meninggalkan ruang kelas. Meninggalkannya.
***
Astaga, aku pengecut
sekali. Dibandingkan meminta maaf, aku malah lebih memilih untuk segera kabur
darinya. Aku tak percaya ini! Katakanlah aku cowok yang brengsek, tapi
seharusnya aku minta maaf ketika tahu orang lain tersakiti oleh kata-kata atau
tindakanku, bukan malah menghindar dan bersikap seolah tak peduli.
Selama ini, ada kalanya
aku berpikir bahwa kemampuan ini adalah sebuah kutukan. Bagaimana tidak? Aku
bisa melihat masa lalu, bahkan hal-hal privasi orang lain dan itu membuatku
sangat kelelahan. Seringkali, aku tahu alasan buruk di balik perbuatan baik
orang lain padaku atau ketika mereka hanya datang saat membutuhkanku. Jujur
saja, semua itu membuatku muak!
Namun harus kuakui, kemampuan ini juga membantuku untuk lebih memahami orang
lain, sekalipun manusia tidak sesederhana itu. Manusia itu makhluk yang
kompleks. Emosi yang tercipta dalam otak mereka sering bercampur baur satu sama
lain. Ketika masuk ke dalam pikiran mereka, aku seperti melihat lorong tak
berujung yang sering aku sebut 'unknown world'. Dan pikiran Elisa adalah
salah satu unknown world yang seharusnya tak kumasuki tanpa
izin!
Napasku memburu. Jarak
antara rumah dan sekolah lumayan jauh jika ditempuh berjalan kaki, tapi tanpa
sadar aku sudah berlari ke sekolah. Di kamar, aku sama sekali tak bisa tenang.
Hal yang ada di pikiranku hanyalah kembali ke sekolah dan menemui Elisa. Titik.
Aku harus meminta maaf padanya.
Harus kuakui bahwa yang
dikatakannya hampir selalu benar. Pertama, seharusnya aku tidak berkata seolah
orang lain tidak punya beban hidup. Setiap orang pasti punya, mereka hanya
tidak menampakkan atau tidak mengungkapkannya saja. Seharusnya akulah orang
yang paling tahu soal ini.
Kedua, aku benci
mengakuinya tapi dia benar bahwa seharusnya aku tidak menggunakan kemampuan itu
untuk kepentinganku sendiri. Apalagi jika menyangkut privasi orang lain. Setiap
orang pasti punya sesuatu yang tidak ingin diketahui orang lain, termasuk dia.
Wow, aku tidak menyangka aku begitu … bodoh.
Gerbang sekolah hanya
tinggal beberapa meter di depanku. Aku berhenti berlari untuk mengatur napas
sejenak. Aku baru menyadari sesuatu, memangnya siapa yang menjamin bahwa Elisa
masih akan berada di kelas? Aku melirik jam tanganku yang sudah menunjukkan
pukul enam sore. Ah, sudahlah. Ini sudah lebih dari terlambat untuk kembali.
Tidak masalah apakah dia masih ada di kelas atau tidak, setidaknya aku mencoba
daripada hanya berdiam diri di kamar dan dihantui perasaan bersalah.
Aku sudah bersiap untuk
berlari lagi, tapi niatku terhenti ketika mataku menangkap sosok gadis yang
sangat familiar keluar dari gerbang sekolah Aku memerhatikan lamat-lamat gadis
itu. Dia berjalan ke arah zebracross di depan sekolah. Tidak butuh lama bagiku
untuk menyadari bahwa itu Elisa!
“El—"
Suara decit ban yang
memekakkan telinga, mengagetkanku. Sebuah truk melintas dari arah belakang
dengan cepat. Truk itu terlihat oleng. Mataku langsung menyisir ke arah truk
itu melaju. Di depan sana, seorang ibu yang tengah menggendong anaknya yang
masih bayi, sedang menyebrang jalan.
Otakku belum sepenuhnya memproses semua kejadian ketika kulihat Elisa berlari
ke tengah jalan. Napasku tercekat. Tubuhku berubah kaku saat melihat Elisa
mendorong ibu itu ke trotoar, mengenyahkannya dari laju truk yang tak
terkendali.
Detik berikutnya, tubuh
Elisa terlempar dan mendarat dengan keras setelah memantul beberapa kali di
atas aspal. Truk menabraknya dengan telak sebelum akhirnya menabrak pagar
pembatas jalan. Aku merasa waktu sempat berdetak sepuluh kali lebih lambat dan
tubuhku terasa seratus kali lebih berat. Begitu tersadar, aku sedang berlari
menuju tubuh Elisa yang tergeletak lemas di tengah jalan. Kakiku kebas.
Kepalaku mendadak terasa sangat pening. Elisa ... Elisa ...
Saat akhirnya berhasil
meletakkan lututku di samping tubuhnya, aku hanya bisa menggumamkan namanya,
“Elisa … Elisa ….” Suaraku terdengar bergetar.
Air mataku sudah
meluncur deras, berbaur dengan darahnya. Aku ingin menyentuhnya, tapi tidak
kuasa melihat tubuh itu berlumurah darah. Tubuhku gemetar hebat. Isakanku
segera berubah menjadi tangis sedu sedan.
Aku menoleh ke sana ke
mari, berusaha berteriak meminta tolong, tapi yang keluar dari mulutku justru
hanya suara tangisan. Siapapun, tolong ...
Beberapa mobil dan
motor berhenti. Beberapa pengendara terlihat langsung menelepon. Aku baru
berhenti meracau ketika tanganku terasa hangat. Aku menunduk. Jemari Elisa
sudah berada di sana. Aku beralih memandang wajahnya yang berlumuran darah.
Dadaku terasa seperti terbakar.
'Kamu pasti bingung gimana
aku bisa tahu kalo kamu bisa baca pikiran orang lain, ya kan?’
Mata hitamnya kini
terlihat semakin gelap di bawah sorotan cahaya bulan. Ia sedikit membuka mulut,
meski tidak ada satu suara pun keluar dari sana. Dia sedang berbicara
menggunakan pikirannya.
‘Di duniaku yang asli ... ada kamu juga, tapi
kamu versi nyebelin .... Kamu selalu cari gara-gara sama aku. Makanya sejak
kita pertama ketemu, aku selalu anggep kamu ... kayak musuh. Di duniaku pun,
kamu bisa baca pikiran orang, tapi kamu gak takut buat ngasih tau semua orang
kalo kamu punya kemampuan itu ... beda banget sama kamu yang di sini ...
makasih, kamu kasih warna di hidupku yang seringnya gelap. Aku ... sangat suka
bolpoin yang kamu kasih.'
Elisa meletakkan
bolpoin karakter kuning dalam genggamanku. Aku bisa melihat sedikit senyum
tergurat di wajahnya yang justru membuat dadaku terasa semakin sesak.
Detik berikutnya,
tubuhnya berangsur menghilang. Aku mengerjapkan mata, mengucek kedua mataku
dengan tangan berlumuran darah. Tangisanku menjadi-jadi. Aku sudah tak mampu lagi menopang
tubuhku tepat saat tubuhnya benar-benar hilang. Begitu juga darahnya.
***
Sejak kejadian itu, aku
tak pernah melihatnya lagi. Tidak hanya itu, tidak ada guru dan teman-temanku
yang menanyakan soal Elisa. Bahkan yang paling parah, tidak ada siapa pun yang
mengingatnya, kecuali aku!
Kesedihan itu masih
menempel lekat di hatiku. Sosoknya yang berlumuran darah, lalu menghilang entah
ke mana, membuatku berulang kali harus menahan nyeri di dada. Sesak. Saat dia
hilang, terasa ada sesuatu juga yang hilang bersamanya.
Setiap hari, aku selalu
berharap akan menemukannya lagi duduk di bangku sebelah jendela. Di sampingku.
Namun, setiap hari pula harapanku kandas ketika melihat bangku itu tak pernah
lagi dihuni. Bahkan mungkin, seperti tidak pernah ada siapa pun sebelumnya di
sana.
Seringkali, aku
mendapati diriku sendiri menangis. Saat ia menyentuh tanganku untuk terakhir
kali, aku mengetahui semuanya. Elisa datang dari dunia paralel yang entah di
mana. Kilasan kejadian yang pernah kulihat saat aku sengaja menyentuh tangannya
adalah sebagian kecil dari kisah hidupnya di dunia yang lain. Ia berusaha lari
dari kenyataan tentang keluarganya yang tragis.
Sekarang aku tahu
alasan Elisa percaya bahwa semesta pasti akan mengabulkan permintaan kita jika
kita meminta dengan sungguh-sungguh. Karena dia mengalaminya sendiri. Semesta
mengirimnya ke 'dunia yang lain', di mana dia bisa menjadi Elisa yang lain,
tapi semesta jugalah yang membuatnya hilang dari dunia yang tak semestinya
ditinggalinya. Di balik wajah yang dingin itu, mengapa tersimpan begitu banyak
kehangatan dan kebaikan? Jika saat itu ia bersikap egois, ia tak perlu
mengorbankan diri untuk orang lain dan masih hidup sampai saat ini!
Saat aku melihatnya
keluar dari gerbang sekolah, ia baru saja mengambil bolpoin karakter
pemberianku yang sempat tertinggal di kelas. Jika seandainya aku tidak memberikannya
sebuah bolpoin karater, apakah hasilnya akan berbeda? Jika ia tak kembali ke
sekolah untuk mengambil bolpoin karakter yang tertinggal itu, apakah saat ini
aku masih bisa bertemu dengannya? Apakah dengan begitu ia takkan melihat
seorang ibu yang hampir tertabrak truk, lalu berusaha menyelamatkannya?
Orang-orang menganggap
itu keajaiban. Si ibu hanya merasa ada seseorang yang mendorongnya. Namun, mereka
semua tidak tahu! Tidak akan pernah tahu bahwa Elisalah yang menciptakan semua
keajaiban itu!
Teman-temanku menjalani
hari seperti biasa, tapi aku tidak. Hari sejak aku bertemu dengannya adalah
hari ketika semuanya berubah dan hari ketika dia menghilang juga adalah hari
ketika hidupku tak lagi terasa sama. Aku belajar mati-matian setiap hari agar
otakku tak pernah lagi memikirkan tentangnya. Namun, sekalipun di hari
kelulusan ketika aku menjadi lulusan terbaik, senyum yang mengembang di wajahku
sudah tak pernah lagi sepenuh hati.
Tuhan, aku tidak peduli
dunia paralel atau apa, aku hanya ingin bertemu dengannya sekali lagi saja.
***
Aku terbangun. Mataku
basah, segera kuusap kedua ujungnya. Lagi-lagi, aku memimpikannya. Aku
menatap langit-langit kamar yang berwarna putih polos. Sudah delapan tahun lebih sejak dia menghilang,
tapi senyumnya masih jelas di ingatanku seperti baru kemarin
melihatnya. Aku berusaha menegakkan badan yang terasa lemas.
Kartu nama yang kemarin
diberikan Mario padaku, tergeletak di atas meja di samping tempat tidur.
Semalaman aku menimbang-nimbang apakah aku memang perlu ke psikolog? Aku mulai
berpikir, aku tidak waras. Tidak ada orang yang mengenal Elisa. Aku jadi ragu,
apakah aku benar-benar pernah bertemu dengannya ataukah dia hanya sosok yang
dibuat sendiri oleh otakku? Aku sudah cukup aneh hanya dengan kemampuan membaca
pikiran orang lain, apakah otakku juga berulah dengan halusinasi yang
tidak-tidak?
Aku tersenyum getir.
Mungkin semesta akan mewujudkan keinginanku bertemu dengannya, jika ia
benar-benar pernah ada di dunia ini. Namun pertanyaannya, apakah dia memang
benar-benar ada? Apakah dunia paralel itu benar-benar ada?
***
"Kerasukan setan
beneran kamu?" tanyaku yang tak digubris oleh Mario.
Begitu jam dinding
menunjuk angka 12, Mario langsung menyeretku keluar kantor. Aku membiarkan saja
diriku diseret olehnya,
menyeberang jalanan yang macet, melewati salah satu mall terbesar di kota ini,
sampai aku merasa keringatku sudah mengucur deras.
Aku berusaha menarik
tanganku, tapi kalah kuat dengan cengkraman tangan Mario. Buset, apakah ini
hasil dari dia pergi ke gym setiap hari demi menggaet cewek yang sekarang jadi
tunangannya?
Mario berniat membawaku ke
tempat praktik psikolog yang kemarin diceritakannya padaku. Astaga, aku
benar-benar berterima kasih karena dia mencemaskanku yang jomlo bertahun-tahun,
tapi sungguh aku tidak butuh psikolog atau apa pun itu. Aku belum gila. Oke,
aku rasa hampir. Nah, aku punya rencana. Aku akan langsung kabur begitu dia
melepaskan pergelangan tanganku. Dia takkan menggiringku masuk ke ruang
psikolog atau apa pun itu kan? Pasti ada saatnya dia lengah dan aku akan
menunggu hal itu.
"Baca aja semua
pikiran gue. Lo pasti tau, kan kita mau ke mana?"
Tubuhku menegang.
"Kamu ngomong ngaco apa sih?" Aku berusaha tertawa, tapi malah
mengeluarkan suara sumbang yang
terdengar dibuat-buat.
Mario tidak menoleh.
"Lo pikir berapa tahun kita temenan? Lo bisa bodohin orang lain, tapi gue
gak."
Aku sudah tidak tahan.
Kutarik tanganku dalam sekali hentakan ketika kami tinggal beberapa langkah
lagi untuk masuk ke sebuah gedung. Mario membalikkan badan ke arahku. Kami
hanya bertukar pandangan untuk beberapa lama.
"Gue bisa ngerti kalo
lo gak mau bilang apa pun soal kemampuan lo itu, tapi lo juga berharap gue
biarin lo kayak ikan mati gini gara-gara cewek yang gak tau ada apa gak?"
Mario menatapku tajam.
Aku tak percaya Mario akan
mengatakan hal seperti itu. Aku belum menyiapkan kisi-kisi jawaban untuk semua
ucapannya dan malah hanya berucap, "Jadi selama ini kamu tau tapi diem
aja?"
"Iya, gak ada bedanya
sama lo yang gak percaya sama gue dan lebih milih ngerahasiain kemampuan lo itu
dari gue." Jawaban itu berhasil membuat mulutku bungkam.
Aku menimbang-nimbang,
kemudian memutuskan untuk mengatakan, "Sorry."
Mario mengibaskan tangan
kanannya ke depan, "Gue gak peduli soal itu, tapi kalo lo emang
bener-bener tulus ngerasa bersalah sama gue, ..." Mario mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja. Dia mengotak-atik
sebentar sebelum memberikannya padaku. Aku menatap dia dan ponselnya
bergantian dengan bingung.
Ragu-ragu, kuambil ponsel
itu darinya. Di layar, aku melihat sebuah kontak dengan nama 'Adriana E. P'.
"Hubungi dia
sekarang. Janjian buat bimbingan konseling sama dia. Gue tau lo udah tau, tapi
biar gue ingetin lagi kalo gue ngelakuin ini semua demi kebaikan lo."
Aku memandang layar ponsel
itu dengan bimbang. Mario memang berbeda dari orang-orang yang pernah aku temui
karena itulah aku betah berteman dengannya selama bertahun-tahun. Manusia
memang rumit, tapi aku ragu Mario itu manusia atau bukan. Biasanya ketika aku
memasuki pikiran orang lain, aku hanya akan berakhir pada 'unknown world',
tapi Mario tidak. Pikirannya sangat sederhana sehingga membuatku
merasa seperti tidak akan tersesat di sana.
"Ini gedung tempat
ruang praktiknya. Di lantai lima." Mario menunjuk gedung yang hampir kami
masuki tadi. Gedung itu bukan sebuah gedung mewah, tapi terlihat nyaman. Tidak
terlalu tinggi, mungkin hanya sampai sembilan lantai.
Aku menarik napas
dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan. Let's try.
"Sekali aja,
oke?" Aku mencoba mengajukan penawaran dan langsung disambut dengan
anggukan antusias Mario.
Kutekan tombol dial,
lalu menempelkannya di telinga. Terdengar nada dering dari seberang. Tidak
sampai dering kelima, seseorang mengangkat telepon.
"Halo?"
Jantungku berdegup kencang
ketika mendengar suara itu. Aku memandang Mario yang terlihat bertanya-tanya. Tubuhku gemetar.
“Kamu percaya dunia
paralel itu ada?”
Suara dari masa lalu itu kembali terngiang di
telinga.
"Halo? Mario?"
Begitu sadar, aku sudah
berlari ke dalam gedung. Mario meneriakkan sesuatu padaku, tapi tak kugubris.
Aku melihat antrean panjang di depan lift dan langsung memilih menaiki tangga.
Kulompati dua-tiga anak tangga sekaligus. Kenangan demi kenangan di masa lalu,
berkelebat di depan mataku seperti rekaman video yang diputar cepat.
"Ini Mario, kan?"
Suara di seberang terdengar mulai ragu. Aku tidak bisa menahan napas yang
memburu.
Tuhan, aku tidak peduli
dunia paralel atau apa, aku hanya ingin bertemu dengannya sekali lagi saja.
Napasku hampir habis
ketika sampai di lantai tiga, tapi aku tidak berhenti sedetik pun untuk
mengatur napas. Aku masih menempelkan ponsel di telinga. Tidak ingin suara itu
hilang.
'Kamu pasti bingung
gimana aku bisa tahu kalo kamu bisa baca pikiran orang lain, ya kan? Di duniaku
yang asli ... ada kamu juga, tapi kamu versi nyebelin .... Kamu selalu cari
gara-gara sama aku.'
Aku mengerjapkan mata
beberapa kali untuk mendinginkan mataku yang terasa panas.
'Makanya sejak kita
pertama ketemu, aku selalu anggep kamu ... kayak musuh. Di duniaku pun, kamu
bisa baca pikiran orang, tapi kamu gak takut buat ngasih tau semua orang kalo
kamu punya kemampuan itu ... beda banget sama kamu yang di sini ... makasih,
kamu kasih warna di hidupku yang seringnya gelap. Aku ... sangat suka bolpoin
yang kamu kasih.'
Kakiku terasa kebas, tapi tak berhenti untuk
terus naik dan menghindari orang-orang yang turun lewat tangga.
"Kalo kamu gak
bicara apa-apa, aku tutup—"
"Elisa …" ucapku spontan. Suara di
ujung sana terdengar terkejut.
Aku melompati anak tangga
terakhir untuk ke lantai lima. Aku menoleh ke sana ke mari untuk mencari papan
nama atau petunjuk apa pun. Mataku menangkap nama 'Adriana E. Putri' di sebuah
petunjuk arah yang mengarah ke kanan. Kakiku bergerak lagi hingga sampai pada
sebuah ruangan di ujung lorong dengan nama Adriana tercetak di depan pintu.
Aku mengatur napas. Kubuka
pintu coklat itu pelan-pelan.
"Gimana—"
Seseorang dengan rambut
hitam panjangnya menoleh begitu aku memasuki ruangan. Napasku masih
terengah-engah. Kulepaskan ponsel dari telinga sembari masih tetap memandang
gadis yang berdiri di hadapanku dengan raut wajah terkejut itu.
Aku kesulitan menelan
ludah. Mataku sama sekali tidak berkedip melihatnya. Walaupun rambut hitam itu kini
terlihat lebih panjang dari sejak terakhir kali aku melihatnya, wajahnya tetap
tidak berubah. Ia justru … terlihat semakin cantik dan dewasa. Dan mata itu ...
mata yang hitam dan dalam itu ... May I step into that unknown place once again?
“Mmm, maaf. Apakah
kita sudah ada janji?” Gadis itu menurunkan ponselnya dari telinga dan bertanya
padaku.
Mataku mendidih. “Elisa …” Entah kekuatan dari mana yang
mendorong otot mulutku untuk menyebutkan nama itu.
Sekali lagi, gadis itu tampak terkejut. Dia melihat ke arah ponsel di
genggamannya, lalu beralih padaku dan ponsel di tanganku. Matanya perlahan naik
dan pandangan kami bersinggungan.
“Sudah lama tidak ada
orang yang memanggilku dengan
nama tengah.”
Dia tersenyum. Senyum yang selalu ada di mimpi-mimpiku. Senyum
yang selama ini membuatku bertahan di antara kegilaan dan kewarasan. “Apa kita
pernah kenal sebelumnya?”
Ya! Aku ingin meneriakkan kata itu, tapi tidak
ada sepatah kata pun keluar dari sana. Seperti sebelumnya, berhadapan dengannya
masih saja membuatku mati kutu dan tampak bodoh. Bahkan setelah delapan tahun,
ada begitu banyak hal yang ingin kukatakan padanya. Sangat banyak sampai aku
tidak tahu harus memulainya dari mana.
Dadaku terasa nyeri, tapi
juga lega di saat bersamaan. Aku tidak peduli apakah ini Elisa yang sama
dengan yang kutemui delapan tahun lalu. Satu hal yang kutahu: aku menemukannya. I found you.
“Kamu percaya
gak, kalau kamu bener-bener pengin sesuatu, terus kamu minta sungguh-sungguh
dan yakin, semesta pasti bakal berkonspirasi buat ngewujudin permintaanmu?”
Air mataku meleleh. Bagaimana menjawabnya?
Sosok yang selama ini sangat ingin aku temui, kini benar-benar berdiri di depan
mataku tepat saat aku merasa ingin menyerah untuk percaya. Bagaimana bisa aku berkata, aku tidak
percaya?
Aku tersenyum meski dadaku terasa sesak.
Sekarang aku sepenuhnya percaya bahwa dia benar-benar pernah ada dan hei ...
mereka punya cita-cita yang sama.
Aku menoleh ke arah
Elisa. Dia mengatakannya sambil menulis sesuatu di atas kertas itu. Aku melirik
bolpoin karakter pemberianku yang digunakannya, lalu beralih ke kata yang
dituliskannya di kolom cita-cita.
Di sana tertulis:
Psikolog.
***