image source: https://weheartit.com/articles/330149409-petrichor
Ratna
Juwita
“Hujan
pun pernah sesekali ragu;
menimang-nimang kesiapannya sendiri untuk terhempas ke sekian kali di atas
bumi. Meninggalkan awan ... dengan perasaan yang selamanya diputuskan mati. Agaknya, awan tak pernah bertanya
lebih dulu, acuh pada nafsu hujan untuk bertahan. Hujan jatuh dengan suara
debam yang paling hening ... sering tak terdengar, tapi telah sangat
menyakitkan. Namun, kehilangan awan ternyata lebih menghancurkan.”
***
Dua
bulan yang lalu ...
Rama meremas bunga yang dibawanya,
Suara plastik pembungkus bunga yang seolah menjerit kesakitan, tak
dihiraukannya sama sekali. Rama menatap lurus ke arah Mega, sahabat sejak kecil
yang ingin dijadikannya istri itu. Mega terlihat bahagia, wajahnya tersenyum
cerah. Di tengah taman, dikerumuni banyak orang, seorang laki-laki yang dikenal
Rama sebagai teman sekantor Mega tengah berjongkok. Ia mengeluarkan sebuah
kotak kecil berwarna merah. Perlahan, laki-laki itu membuka kotak dan
menyembulkan sebuah cincin dengan berlian berwarna biru. Rama tercekat.
“Maukah
kau ... menjadi wanita yang setiap pagi, kulihat pertama kali ketika mataku
terbuka?” Gilang, kalau Rama tidak salah ingat nama laki-laki itu.
Bisik-bisik
di sekitar mereka terdengar. Sebagian wanita berjingkat dan menjerit tertahan.
Tidak ada yang terlihat menyumpahi adegan itu selain Rama. Jantung Rama
berdegup. Terlalu keras hingga ia yakin orang-orang di sebelahnya bisa
mendengar dengan jelas. Matanya berkunang-kunang. Bunga yang ia remas, tidak
begitu saja menjadi debu seperti yang ia harapkan saat itu.
Rama
mengenang. Sepertinya baru kemarin ia pergi berdua dengan Mega. Gadis bermata
teh itu. Baru kemarin mereka bercanda berdua, menikmati seluk beluk kota yang
riuh menyambut tahun baru. Harapan baru. Memori kemarin masih terekam jelas di
benak Rama, bahkan ia yakin bisa menyebutkan aktivitasnya dan Mega tiap detik.
Kemarin. Beberapa jam yang lalu.
Ulu
hati Rama berdenyut. Nyeri. Rasa kehilangan Mega mendadak menyergap begitu
dekat dan cepat.
“Apa
kau ... mau menjadi istriku?” Suara Gilang kembali mengisi keributan. Sontak,
semua mata yang tertuju pada mereka, terdiam.
Mega
terlihat malu-malu. Ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Rama
mengumpat dalam hati, berharap—walau ia tahu sia-sia—Mega tidak akan menerima
lamaran Gilang.
Tiba-tiba,
hujan turun. Rerintik yang kemudian menjadi hujan. Orang-orang berlarian mencari
tempat berlindung, sebagian lainnya langsung menggunakan payung yang sempat
disiapkan. Bau air hujan yang pertama kali mencumbu tanah, tercium lekat di
hidung Rama. Bau
yang orang sebut petrikor.
Harapannya
mengkhianati. Rama tahu. Detik ketika Mega mengangguk adalah waktu yang paling
ingin ia bunuh.
***
“Pada akhirnya, ia hanya teresap,
teralir, teruap, dan bertemu tempat singgah yang baru; awan yang lain. Jatuh
cinta, lalu tersakiti lagi tanpa mampu seutuhnya ... bersama awan yang dimau.
Yang diingini. Kadang
rindu hadir begitu menyiksa ketika aliran juga resapan terasa berabad lamanya.
Kadang teresap itu ... menghilangkan, hingga di suatu tempat, ia muncul lagi;
mengalir dan memuara. Mengikuti kelok tanah di bumi yang tak pernah baik
mengombang-ambingkannya.”
***
Sebulan
yang lalu ...
“Rama!”
Rama
bergegas mengemasi lembar-lembar ujian. Pura-pura tak mendengar panggilan gadis
yang sampai saat ini masih ia cintai itu. Sinta menerobos masuk ruang kelas.
“Rama!”
Mega menghentakkan tangan Rama ketika lelaki itu melewatinya begitu saja, tapi
tak cukup membuat Rama berbalik menghadapnya. Rama berhenti. Membelakanginya.
“Kamu kenapa, sih? Aku merasa ... sebulan ini kamu menghindariku. Telepon nggak diangkat, kirim pesan nggak dibales, aku panggil nggak nengok—“
“Aku
ada urusan.” Rama berlalu sambil menenteng tas dan kertas-kertas hasil ujian
murid-muridnya. Ia tidak menoleh, tidak mengizinkan tubuhnya berbalik dan
memeluk Mega dan tak pernah melepaskannya lagi. Selamanya. Namun, ia tidak
bisa. Tidak bisa menghadapi kenyataan dan menimang-nimang perasaannya sendiri.
Padahal, ia telah mencoba jatuh cinta pada gadis lain. Sebagai pelarian. Tapi
perasaannya tidak ingin menjadi pembangkang. Tidak juga ingin berkompromi.
“Rama,
berhenti egois!” teriak Mega. Teriakan itu menggema di kelas yang telah sepi.
Anak didik Rama telah membubarkan diri beberapa saat yang lalu tepat setelah
bel berbunyi. Kaki Rama terhenti tepat di pintu kelas.
Mega
sudah meluangkan waktu. Mencoba meninggalkan kantornya lebih cepat begitu
pekerjaannya selesai untuk menemui Rama di sekolah. Begitu ada kesempatan, Mega
menerjang masuk ruang kelas Rama yang telah sepi. Saat itu, Rama tengah menata
lembar-lembar ujian yang baru saja dikumpulkan murid-muridnya sembari mengecek
kelengkapan nama dan nomor presensi mereka. Rama tidak menyangka Mega nekat datang
ke ruang kelasnya. Ia sudah berusaha menghindar, tapi Mega tak juga mau
mengalah.
“Sudah,
cukup! Ada apa sebenarnya denganmu? Kau bertingkah seperti anak kecil yang
kehilangan balon. Kau ....” Mega tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia
menyibakkan rambut ke belakang kepala dengan tangan kanan. Tanda bahwa ia
tengah marah.
Rama
meremas kertas ujian yang berada di tangannya. Ingin sekali ia meneriakkan pada
Mega bahwa ia begitu mencintai gadis itu hingga tak lagi bisa melihatnya karena
takut rasa kehilangan membutakan mata. Hari itu. Di hari Gilang melamarnya
adalah hari yang juga dipilih Rama untuk meminang Mega. Bagaimana takdir bisa
begitu kejam?
“Kau
masih tak mau bicara?” Mega mengembuskan napas berat. Frustasi. Mega mengambil
napas lalu mengembuskannya perlahan. Rama masih memunggunginya. “Sejak kecil,
kita selalu saja begini, Kau marah dan aku selalu menjadi pihak yang meminta
maaf.” Suara Mega terdengar lebih tenang. Ia menempelkan diri ke atas kursi
guru di ruang kelas itu. “Aku tak mempermasalahkannya. Tak apa jika aku yang
selalu meminta maaf terlebih dahulu, asalkan kau mengatakan padaku kesalahanku
atau hal yang membuatmu marah. Aku bukan cenayang yang selalu bisa mengerti isi
hati maupun pikiranmu. Aku ... hanya seorang sahabat yang ingin membahagiakan
sahabatnya.”
Rama
merasakan duri bermunculan dalam dada. Menggores hatinya sedikit demi sedikit.
Kata ‘sahabat’ yang dulu begitu disukainya, entah mengapa menjadi begitu pahit
untuk sekadar didengar.
Mega
terkekeh. “Entah sejak kapan aku merasa ... aku selalu menjadi pihak yang serba
salah. Seharusnya wanita selalu benar, tapi jika berhadapan denganmu sepertinya
hanya akulah wanita yang selalu salah. Apakah di dunia ini ada wanita yang
seperti aku atau laki-laki yang sepertimu?”Mega merunut papan kayu di
sampingnya. Merasakan debu halus dari kapur yang berjatuhan di tepian papan
tulis.
Rama
menggigit bibir bawahnya. Mega benar. Ia selalu kekanakan. Ia selalu
menyalahkan Mega atas segala hal yang menimpa dirinya. Namun, tak ada wanita
yang lebih sabar dari Mega dalam menghadapinya. Gadis itu tak pernah mengeluh,
sampai hari ini. Rama sudah akan mengatakan sesuatu, tapi suara Mega membuatnya
menelan kembali ucapannya.
“Sekarang,
terserah padamu. Aku ... lelah. Datanglah ke pesta pernikahanku bulan depan.
Aku akan sangat senang melihatmu di sana.”
Mega
berdiri, melangkah perlahan hingga ia melewati Rama yang masih mematung di
pintu kelas. Rama tak bergeming dan itu membuat Mega semakin tegas melangkahkan
kaki. Meninggalkan Rama dan sejuta pertanyaan tak terjawab di benaknya.
***
“Ia pernah ... menjadi begitu kotor,
mengalir bersama benda-benda padat yang tak jarang berbau amis, busuk, dan ...
menjengahkan. Namun, ia juga pernah menjadi sangat bersih, diteguk, melewati
lorong-lorong yang tak panjang, mengendap beberapa saat, lalu terkucur pesing.”
***
Sehari sebelumnya ...
“Rama!
Ada berita gawat, Mega—“
“Ah,
sudahlah!” Rama berteriak frustasi. Mega. Mega. Mega. Nama itu tak sedikit pun
keluar dari otaknya dua bulan belakangan. Bahkan, di hari istimewa bagi Mega
ini, hari pernikahan Mega dengan Gilang ini, Rama masih belum bisa berdamai
dengan perasaannya sendiri.
Rama
berdiri dari tempat tidurnya yang berwarna hitam. Akibat kekacauan hatinya, ia
juga mengubah semua dekorasi kamarnya menjadi warna hitam. Meja, dinding,
kursi, semua ia cat menjadi warna hitam dalam waktu seminggu saja untuk
memperingati rasa dukanya. Walaupun sedikit, warna hitam itu bisa membuatnya
merasa lebih baik.
Sudah
sebulan sebelum pernikahan Mega dengan Gilang, Rama terus mengurung diri. Ia
sempat berpikir mengacaukan pesta pernikahan sahabatnya itu, tapi ia urungkan.
Ia tidak bisa berlaku sekeji itu. Ia sudah merasa bodoh karena tidak
mengacaukan lamaran Gilang di taman kota dua bulan lalu. Setidaknya, kalau saat
itu ia mengacaukannya, ia takkan merasa semenyedihkan ini.
“Rama,
dengarkan aku dulu!” Kakak Rama, Sinta, masih bersikeras. Wanita yang telah melahirkan
seorang anak laki-laki itu mengerti benar kekacauan hati Rama saat ini. Ia
tidak menyalahkan, juga tidak mendukung. Bagaimanapun, sedih berkepanjangan
bukanlah pilihan.
Rama tidak ingin mendengar. Ia menangkupkan
dua tangan ke telinga. Sudah cukup. Ia tak lagi ingin mendengar seseorang
menyebut nama Mega. Kakinya berjalan mondar-mandir menghindari Sinta.
“Rama!”
Sinta melepas paksa kedua tangan Rama. Usahanya berhasil tanpa perlu
mengeluarkan tenaga besar karena Rama tidak memiliki tenaga yang cukup akibat
tidak makan selama dua hari.
Rama
terkesiap. Kaget dengan tubuhnya sendiri yang baru terasa selemas itu.
Tangannya gemetar. Matanya beradu pandang dengan Sinta.
Sinta
menarik napas dalam-dala, sambil memejamkan mata sejenak. Ia tak kuasa menyampaikan
berita yang begitu menyedihkan itu, apalagi dengan keadaan Rama yang begitu
terpuruk. Akan tetapi, ia tak bisa menyembunyikannya. Cepat atau lambat, Rama
pasti segera mengetahuinya.
“Rama,
dengar ...,” Sinta memulai. Lamat-lamat. “Mega ... Mega ... Mega meninggal
karena kecelakaan ... saat pergi ke salon rias ....” Bibir Sinta bungkam
seketika begitu melihat air mata turun perlahan dari manik mata Rama. Sinta
seperti bisa mendengar tangis Rama yang tak terdengar.
Mulut
Rama megap-megap. Membuka seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi menutup kembali
beberapa saat kemudian. Begitu terus hingga Sinta memutuskan memeluk Rama.
Tubuh Rama terguncang, merosot ke lantai walaupun Sinta sempat menopangnya.
Sinta ikut terduduk. Ia juga tak kuasa melihat adiknya sehancur itu. Tepatnya,
ia tidak pernah melihat Rama seperti itu, bahkan di hari kematian orang tua
mereka tiga tahun lalu. Sinta mempererat pelukannya. Takdir sepertinya tengah
asyik bermain-main dengan perasaan Rama, mencoba membuat Rama akrab dengan
kehilangan.
***
“Bukan alam namanya jika tak
mempermainkannya. Pernah. Ia begitu dalam mencintai untuk kemudian dikhianati
oleh nasib. Berulang kali hingga ia sadar ... hidupnya tak diciptakan untuk
memilih.”
Rama membacakan sebuah cerita yang ia
tulis sendiri dengan menganalogikan kehidupannya dengan hujan. Sesekali, ia berhenti
karena nyala lilin bergoyang-goyang ditiup angin yang merangsak masuk dari
celah-celah ventilasi. Ia mengembuskan napas tertahan, seolah ingin menangis.
Suara guntur dan hujan lebat yang
terdengar dari luar rumah tak merisaukannya. Ia merasa sangat tenang berada di
rumah kosong peninggalan orang tuanya itu. Tak ia hiraukan keramaian di luar
sana dan suara kentongan yang dipukul dengan sangat berisik. Membangunkan
tiap-tiap mata yang seharusnya terlelap malam itu. Rama terkekeh. Dalam hati,
ia bertanya sangsi, untuk apa semua keributan itu di saat ia, di dalam rumah
kosong itu ia justru merasa begitu mengawang-awang.
Rasa perih di hatinya hilang. Tak ada
lagi nama Mega yang menghiasi kepala. Ia tak lagi merasa bahwa kehidupan tak
adil. Tidak lagi. Sekalipun takdir mencoba kembali bermain-main dengan hatinya,
ia akan memikirkan ribuan cara untuk membalikkan kemalangan menjadi kesenangan
yang diciptakannya sendiri. Jika takdir begitu membencinya, maka adalah tugasnya
mencari sendiri letak kebahagiaan. Di ujung dunia sekalipun, ia akan mencari.
Suara keributan semakin menjadi-jadi.
Hujan deras tak membuat orang-orang mengurungkan niat untuk saling membangunkan
satu sama lain. Pukul dua dini hari itu, kampung mereka berlompatan dari tempat
tidur karena suara kentongan yang dipukul begitu keras. Sebagian dari mereka
saling bertanya perihal yang terjadi.
“Ada apa?”
“Siapa yang memukul kentongan seribut
ini?”
“Ada kebakaran?”
“Ayo kita berkumpul di sana, bawa
payungmu!”
Suara-suara terdengar bersahutan.
Rama mengenali sebagian suara, tapi tidak lainnya. Bulu kuduk Rama sedikit
berjingkat ketika terdengar suara yang sangat akrab di telinganya terdengar
dari luar.
“Ada apa ini? Mengapa ribut-ribut?”
Itu suara Sinta yang bertanya pada para tetangga yang berlarian.
“Mayat!” Seorang ibu berhenti karena
Sinta memegangi tangannya.
Sinta kebingungan. “Mayat apa?”
“Mayat berjalan!”
“Apa?” Sinta bertanya frustasi karena
tak mengerti. Ibu-ibu yang biasanya berjualan sayur itu juga terlihat
kebingungan menjelaskan. Dasternya basah kuyup karena ia tak mengenakan payung.
“Ada mayat hilang!” Akhirnya, ibu itu
menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan. Sinta mengerutkan kening.
Ia menggoncangkan tangan ibu yang berusia setengah baya itu.
“Mayat hilang? Mayat siapa?”
“Mayat Mega hilang!”
Bersamaan dengan sambaran kilat,
suara guntur menyahut, mewakili guntur yang bergema dalam hati Sinta. Tubuh
Sinta bergetar. Ia biarkan ibu itu pergi berkumpul dengan ibu-ibu lain di pos ronda
di ujung kampung. Beberapa laki-laki melewatinya begitu saja, terlihat
terburu-buru sambil membawa peralatan yang bisa dibawanya; cangkul, payung,
tongkat, dan sebagainya.
Jantung Sinta berdebar. Hal yang
ditakutkannya menjadi kenyataan. Ia menepis bayangan satu-satunya orang yang
mungkin melakukannya. Tidak. Ia tidak bisa menuduh tanpa bukti yang jelas.
Tepatnya, ia berharap bayangannya salah. Ia berharap kejadiannya tidak seperti
yang dipikirkannya.
Suami Sinta, Ridho, menyusul beberapa
saat kemudian. Ia menggendong anak mereka yang terbangun karena keributan itu.
Setelah menenangkan anaknya, Ridho memutuskan membawanya serta.
“Sinta? Ada apa ini?” Ridho memayungi
Sinta yang sudah terlihat sangat basah. Ia biarkan hujan menyesap ke baju, asal
tidak pada anak dan istrinya. Sinta tidak segera menjawab pertanyaan Ridho.
Sinta memandang kosong dan penuh ketakutan ke arah orang-orang yang kini
berkumpul di pos ronda. Ia bahkan tak bisa lagi merasakan dingin yang menusuk
telapak kaki telanjangnya.
Rama terkekeh tanpa suara mendengar
suara-suara di luar rumah kosong itu, termasuk suara Sinta dan kakak iparnya,
Ridho. Rama mengelus rambut Mega yang telah tertutupi kain kafan kotor dan
lusuh. Susah payah ia menggali kuburan Mega beberapa waktu lalu. Rerintik hujan
tak dibiarkannya menyurutkan usaha demi bisa bersua kembali dengan gadis yang
dicintainya. Ia menemukan dunianya dan tak membutuhkan apapun lagi. Selamanya,
ia bisa bersama dengan Mega.
“Mega, aku mencintaimu. Tetaplah di
sini bersamaku.”
Rama meletakkan tubuh kaku Mega yang
terbungkus kain kafan di pangkuan, lalu memeluknya erat-erat. Bau petrikor
menyusupi indra penciumannya.
***
0 Creat Your Opinion:
Post a comment