Ratna
Juwita
Sebenarnya,
Readers, aku agak
kurang enak menggunakan kata “pengidap”. Entah mengapa aku merasa tidak nyaman
ketika menuliskannya. Mungkin lebih enak kalau diganti “orang yang mengalami
depresi” kali, ya?
Akhir-akhir
ini sepertinya kasus depresi semakin mencuat di mana-mana. Setidaknya, itu yang
aku rasakan. Ketika berselancar di dunia maya, aku sering sekali melihat kasus
bunuh diri karena depresi, self-harm, status-status yang bertemakan
kecemasan, ketidaknyamanan, dan sebagainya.
Beberapa
kali aku menemukan mereka yang terlihat sangat “hopeless” lewat
kata-kata mereka. Bahkan, aku menyaksikan sendiri teman-temanku juga banyak
yang mengalami hal serupa. Sebisa mungkin, aku mencoba untuk mengirimkan pesan
penyemangat pada mereka sekalipun aku tidak mengenal mereka di media sosial. Ketika
aku melakukannya, mereka menunjukkan rasa terima kasih yang besar dan aku
senang bisa melakukan hal kecil itu. Beberapa dari mereka malah kemudian
menceritakan masalah mereka padaku dan aku akan membaca semua tulisan mereka
dengan kepala dingin. Sebisa mungkin tidak menjustifikasi apa pun.
Aku
tidak pernah mempelajari psikologi walaupun aku sebenarnya punya ketertarikan
dengan itu. Meskipun aku tidak pernah pergi ke psikolog atau pun didiagnosa
mengidap depresi, aku pernah berada di posisi ketika “semua kata-kata motivasi
tidak mempan”.
Sedari
kecil, aku adalah tipe orang yang bisa dikatakan self-motivated. Acara
kesukaanku adalah acara-acara pengetahuan seperti Animal Planet dan acara
motivasi yang pernah dibawakan oleh salah satu motivator kondang di sebuah
stasiun televisi swasta. Iya, yang ada “Golden Ways”-nya itu. Itu adalah acara
TV favorit yang selalu aku tonton setiap minggu.
Tidak
pernah sekali pun terpikirkan olehku bahwa aku akan berada di titik yang sangat
rendah (sudah pernah kubahas di sini). Kata-kata motivasi mengalir lewat begitu
saja bahkan aku sampai berpikir bahwa semua kata’kata itu adalah omong kosong
belaka. Padahal, aku adalah pencinta buku bertema pengembangan diri.
Setelah
mengalaminya, aku baru menyadari bahwa ternyata cara berpikir orang yang tengah
“terpuruk”, sama sekali berbeda dengan orang yang tidak. Dulu ketika aku belum
pernah merasa seterpuruk beberapa waktu lalu, aku selalu bertanya-tanya: “Mengapa
cara berpikir mereka begitu rumit? Padahal, masalah mereka akan selesai jika mereka
berpikir seperti ini”.
Stigma
yang terbentuk di masyarakat mengenai orang-orang yang depresi ini memang sangat
mendiskreditkan mereka. Mereka sering diberi label “jauh dari agama”, “tidak
bersyukur”, dan sebagainya. Padahal, pola pikirnya benar-benar berbeda. Mereka
yang tidak atau tidak pernah merasa depresi tidak akan pernah tahu cara
berpikir mereka yang mengidap depresi.
WHO
mencatat sekitar 264 juta orang di seluruh dunia mengidap depresi. Lebih
lanjut, WHO menerangkan bahwa depresi berbeda dengan perubahan mood biasa dan
berbeda juga dari emosi sementara yang timbul sebagai respons dari berbagai hal
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Karena
itu, aku mencoba untuk mencari buku-buku yang sekiranya dapat membantu kalian
yang mungkin sedang mengalami kecemasan, ketakutan, dan sebagainya. Aku tidak
akan merekomendasikan buku dengan kata-kata mutiara dan motivasi bertebaran
dari awal hingga akhir karena aku tahu hal itu tidak akan membantu.
Berikut
ini adalah buku yang aku rekomendasikan untuk kalian:
Reasons to Stay Alive Karya Matt Haig
Reasons to Stay Alive Karya Matt Haig

(sumber gambar di sini)

(sumber gambar di sini)
Matt Haig adalah seorang penulis buku untuk anak-anak dan
orang dewasa. Bukunya yang berjudul “Reasons to Stay Alive” menjadi buku bestseller
dan bertengger di sepuluh besar selama 46 minggu. Ia adalah mantan pengidap
depresi dan ia menuliskan pengalamannya hingga bisa lepas dari depresinya lewat
buku ini.
Dalam buku ini, ada banyak hal yang mungkin baru bagi orang yang
“awam” dengan depresi dan sangat bagus dijadikan referensi untuk mengubur stigma-stigma
mengenai pengidap depresi. Gaya bahasanya ringan dan tidak berat. Versi
terjemahannya juga tidak kaku dan bisa dipahami. Selain mengenai depresi, dalam
buku ini juga dibahas secara singkat mengenai kesehatan secara umum.
Hal yang paling penting adalah fakta bahwa buku ini adalah “bukti”
bahwa seorang pengidap depresi dapat sembuh. Memang depresi bukanlah hal yang
akan dapat diatasi hanya dalam waktu beberapa hari. Seringkali membutuhkan
waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Seperti itu pulalah yang terjadi
pada Matt Haig.
Penulis yang juga bisa kalian ikuti di akun twitter-nya
@matthaig1 ini memberikan poin-poin alasan kalian harus hidup. Tidak peduli
seberapa besar penderitaan dan kekecewaan yang kalian alami, akan selalu ada
alasan-alasan kecil yang bisa kalian temukan untuk bertahan hidup. Hal yang
harus kalian lakukan adalah menemukan alasan “kecil” itu.
Gaya bahasa penulis sama sekali tidak menggurui, melainkan
merangkul karena penulis sendiri pernah berada di posisi yang mungkin sedang
kalian alami saat ini. Buku ini akan mengubah sudut pandang kalian meskipun mungkin
hanya sedikit, tapi tidak ada salahnya mencoba melihat sesuatu dari sudut
pandang orang yang tahu benar hal yang kalian rasakan.
Beberapa quote di buku ini yang paling aku suka:
“Pada akhirnya, dibutuhkan keberanian yang lebih besar untuk hidup
dibandingkan untuk bunuh diri.” [Albert Camus – A Happy Death]
“Setelah badai berlalu, kau tidakakan ingat bagaimana caramu
melewatinya, caramu bertahan. Kau bahkan tidak bisa sepenuhnya yakin bahwa
badai itu sudah benar-benar berlalu. Tapi yang jelas saat kau selamat dari
badai, kau bukan orag yang sama lagi. Memang itulah tujuan badai.” [Haruki
Murakami, hlm. 78]
“What doesn’t kill you, makes you stronger.”
---------------
Man’s
Search for Meaning Karya Viktor E. Frankl


Ini adalah sebuah buku semi biografi pengarang yang merupakan
salah satu prang yang berhasil selamat dari holocaust Nazi pada Perang Dunia I
hingga kini menjadi seorang psikiater. Tidak hanya akan mendapatkan ketenangan,
tetapi juga pengetahuan dalam waktu yang bersamaan jika kalian membaca buku
ini.
Sama seperti buku pertama, buku ini juga merupakan pengalaman
nyata penulis dalam mempertahankan kewarasannya di tengah krisis kemanusiaan
yang dialaminya selama Perang Dunia I di sebuah kamp pengasingan. Setiap hari,
penulis harus berhadapan dengan mayat teman-temannya serta kekerasan yang terjadi
siang dan malam. Tentunya, pengalaman seperti ini tidaklah “sekadar pengalaman
biasa”.
Buku ini menunjukkan perubahan pandangan penulis terhadap
hidup. Alih-alih kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya akibat segala macam penderitaan
yang dirasakannya di kamp pengasingan, ia justru menjadi jauh lebih “kuat” dan
lebih “hidup” daripada sebelumnya. Kalian tidak akan merasa seperti seseorang
tengah berusaha memberitahumu ini dan itu untuk dilakukan melainkan memberikan
contoh nyata implementasi pemikiran penulis di masa-masa paling sulit dalam hidupnya.
Lewat pengalamannya itu, penulis juga akhirnya justru
menemukan sebuah metode terapi yang disebut psikoterapi untuk pasien-pasien
penderita depresi. Pengalaman-pengalaman menyakitkan penulis ditambah fakta
bahwa penulis kini menjadi seorang psikiater tentunya menjadi nilai tambah
untuk buku ini.
Buku ini tidak tebal, hanya sekitar seratus sekian halaman. Tentunya
sangat cocok buat kalian yang mungkin memiliki short attention span atau
yang belum pernah membaca buku sejenis sekalipun.
Beberapa quote yang aku suka dalam buku ini:
“Apa pun bisa dirampas dari manusia, kecuali satu;
kebebasan terakhir seorang manusia—kebebasan menentukan sikap dalam setiap
keadaan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri.”
“Tidak
perlu merasa malu karena menangis. Menangis adalah bukti bahwa seorang manusia
memiliki keberanian yang besar, yaitu keberanian untuk bertahan melewati
penderitaan.”
Oh
iya, aku akan meng-update lagi postingan ini jika aku sudah membaca buku-buku
lainnya yang dirasa cocok. Kalian juga boleh banget menambahkan di kolom
komentar buku-buku bertema serupa yang sudah kalian baca ^^ Aku tunggu, ya!
0 Creat Your Opinion:
Post a comment