Ø
Unsur Intrinsik :
·
Tema : Kritik pada feodalisme
Jawa (karena roman ini
banyak menceritakan mengenai masyarakat yang berasal dari golongan bawah dengan
masyarakat yang berasal dari golongan atas/ningrat/bangsawan, serta segala
perlakuan tak berperikemanusiaan yang terjadi dalam praktek feodalisme Jawa
atas orang-orang yang dianggap “rendahan”/ berasal dari kaum bawah yang umumnya
lahir di kampung.)
·
Penokohan :
v Gadis Pantai – (1. Polos karena dalam cerita ia sama sekali tak tau apa itu kawin
dan ketakutan saat melihat darahnya -darah haid- di atas tempat tidur. 2. Cekatan terbukti ketika ia diajari menjahit, membatik dan
menyulam -kegiatan wanita utama di pendopo- ia langsung mahir. 3. Ingin Tahu terbukti ia selalu bertanya pada pembantunya apa-apa yang
ia ingin tahu hingga sebagian besar dalam cerita adalah dialog tanya-jawab
antara ia dan pembantunya yang ingin menenangkanya.)
v Bendoro (Suami Gadis Pantai) – (1. Sopan terbukti dari semua tingkah lakunya sebagai seorang
pendopo dengan segala aturan bangsawan. 2. Kejam karena
ia memanfaatkan banyak gadis yang cantik-cantik dari kampung untuk menjadi
‘istri percobaan’nya. 3. Alim karena
ia selalu melaksanakan sholat dan mengaji, serta membaca buku-buku hadits.)
v Emak – (1. Polos karena
begitu mengetahui anaknya dinikahi Bendoro, ia langsung menyerahkannya tanpa
tahu untuk apa sebenarnya Bendoro menikahi Gadis Pantai. 2. Penyayang terbukti ia terus menenangkan Gadis Pantai saat Gadis
Pantai bingung tentang perkawinannya dengan keris (pengganti Bendoro).)
v Bapak – (1. Keras terbukti
di dalam cerita, ia sering memukuli Gadis Pantai ketika Gadis Pantai berbuat
salah. 2.
Cerdik terbukti ia mengelabui Mardinah dan
pengawalnya yang memiliki niat buruk pada Gadis Pantai dengan menyuruh
tetangganya untuk mengumumkan kedatangan bajak laut yang sebenarnya tidak ada.)
v Kepala Kampung – (1. Mudah Gugup terbukti ia selalu berkeringat saban kejadian penyerahan
Gadis Pantai pada Bendoro.)
v Pembantu tua Gadis Pantai – (1. Setia karena dalam cerita, ia sampai rela diusir demi mengabdi
pada bendoronya dan membuat Karim terusir. 2. Rendah diri karena ia berkali-kali mengatakan bahwa ia hanya seorang
budak dan orang rendahan dan tak pantas begini begitu. 3. Jujur karena ia selalu menolak tiap kali Gadis Pantai
menyuruhnya mengambil perhiasan mana saja jika ia mau.)
v Mardinah (Pembantu Gadis Pantai yang baru) – (1. Licik terbukti ia ingin mencelakai Gadis Pantai ketika
menyuruhnya pulang diantar pengawalnya. 2. Matre karena
ia hendak membunuh Gadis Pantai karena iming-iming bahwa ia akan dijadikan
istri kelima Bendoro. 3. Pasrah karena
ia hanya menurut ketik dinikahkan dengan Dul si pendongeng sebagai hukuman.)
v Abdullah, Karim, Said (Anak Bendoro dari istri-istri
sebelumnya) – (1. Penurut terbukti
karena mereka selalu menuruti perintah Bendoro. 2. Cerdas karena
mereka dapat menjawab apa-apa yang ditanyakan Bendoro mengenai agama.)
v Dul si pendongeng – (1.
Pintar karena ia dengan cepat dapat mengerti situasi
‘bajak laut’ buatan Bapak Gadis Pantai walaupun ia dikurung. 2. Penakut karena dalam cerita, ia tidak mau melaut seperti nelayan
lain karena takut mati tenggelam atau dimakan ikan besar.)
v Kakek Tua – (1. Egois karena
ia selalu menyalahkan orang kota sebagai pembawa kerusuhan serta sering
memaksakan pendapat. 2. Cepat marah karena
ia selalu cepat marah apabila menyangkut persoalan orang kota.)
v Warga Desa – (1. Polos karena
selalu mengira bahwa kehidupan ningrat itu selalu enak, nyaman, dsb. 2. Rukun karena mereka selalu bekerja sama dan bergotong royong
membantu satu sama lain. 3. Syirik karena
sebagian dari mereka iri pada Gadis Pantai yang hidup mewah setelah dinikahi
Bendoro.)
v Mak Pin atau Mardikun (Saudara
Mardinah) – (1. Licik karena
ia juga ingin mencelakai Gadis Pantai dengan menyamar sebagai orang tua yang
gagu sekaligus tukang pijit.)
v Pak Kusir (yang mengantar Gadis Pantai) – (1. Ramah karena ia selalu membuat Gadis Pantai tertawa dengan
cerita dan gaya bicaranya. 2. Polos karena
ia langsung gembira begitu Gadis Pantai memberikan tembakau padanya. 3. Sopan karena ia tak berani memandang Gadis Pantai karena Gadis
Pantai adalah istri Bendoro.)
·
Latar :
Latar :
§ Tempat :
o Di gedung besar di Kota
Rembang
o Di daerah pesisir
pantai utara Pulau Jawa tepatnya kampung nelayan di Rembang
o Di rumah Gadis Pantai
o Di kamar Gadis Pantai dalam pendopo
o Di ruang tamu pendopo
o Di ruang makan pendopo
o Di dapur pendopo
o Di ruang khalwat pendopo
o Di perahu
o Di rumah Kepala Desa
o Di gerobak
§
Waktu : Sekitar tahun 1930 atau 1940-an dimana
penjajahan Belanda masih berkuasa di Indonesia atau bahkan sudah hampir
berakhir, karena orang-orang di pendopo masih menggunakan Bahasa Belanda pada
beberapa waktu.
§
Suasana :
o
Menegangkan (1. Ketika para pengawal Mardinah
dibacok dan dilempar ke laut. 2. Ketika terjadi perdebatan
antara kakek tua dengan warga serta dengan si dul. 3. Ketika Mardinah dipaksa untuk tidur di luar yaitu di balik semak karena
telah mencoba mencelakakan Gadis Pantai. 4. Ketika Gadis Pantai berteriak
mengatakan bahwa Mak Pin bukanlah seorang perempuan dan tidak gagu. 5. Ketika Gadis Pantai mencoba membawa anaknya keluar dari pendopo dengan
paksa namun, dihadang olh pengawal-pengawal Bendoro.)
o
Mengharukan (1. Ketika Gadis Pantai menangis
sambil menyusui anaknya untuk terakhir kali. 2. Ketika Gadis Pantai nelangsa
karena pelayan tua yang selama ini menemaninya diusir dari pendopo. 3. Ketika Gadis Pantai melepas kepergian Emak dan Bapaknya kembali ke
kampung.)
o
Merisaukan (1. Ketika Gadis Pantai terus
cemburu pada Bendoro yang sering meninggalkan dirinya untuk bekerja.)
o
Menakutkan (1. Ketika para pengawal dan
Mardinah kalang kabut dengan adanya kabar datangnya bajak laut. 2. Ketika warga berbondong-bondong datang ke rumah Gadis Pantai dengan
membawa parang, cangkul, dan peralatan tajam lainnya untuk melawan para
pengawal.)
o
Membahagiakan (1. Ketika Gadis Pantai disambut
warga kampung nelayan saat mengunjungi Emaknya. 2. Ketika Gadis Pantai tidur bersama Bendoro dan merasa nyaman di dekat
Bendoro. 3. Ketika si Dul menikah dengan Mardinah diiringi sorak
sorai warga kampung nelayan. 4. Ketika si Dul akhirnya
memutuskan untuk ikut melaut bersama para nelayan lainnya untuk mencari nafkah.)
o
Menyebalkan (1. Ketika Mardinah membangkang
perintah Gadis Pantai serta memojokkan Gadis Pantai dengan sindirannya. 2. Ketika Bendoro tak mau menyentuh bayinya dan Gadis Pantai malah
menyuruhnya pulang dan menyuruh Gadis Pantai meletakkan bayinya di ranjang.)
·
Alur : Maju, terbukti dari cerita mulai dari
awal yaitu ketika Gadis Pantai tinggal di kampung nelayan kemudian dibawa ke
pendopo, bagaimana kehidupannya kemudian di pendopo, bagaimana ia menyesuaikan
diri sebagai ‘wanita utama’, menjalani hidup dengan Bendoro, mengandung dan
melahirkan bayinya dengan Bendoro serta bagaimana ia diusir dari pendopo oleh
Bendoro setelah melahirkan bayi pertamanya yang berjenis kelamin perempuan dan
ia memutuskan untuk pergi ke Blora karena malu dengan Emak dan tetangganya di
kampung.
·
Sudut Pandang : Orang ke-3 serba tahu.
Sudut Pandang : Orang ke-3 serba tahu.
·
Gaya Bahasa : Campuran bahasa indonesia jaman dahulu dengan bahasa Jawa pada beberapa kata seperti “kanca” dan “colong” serta sebutan bagi orang jawa seperti “Mas Nganten”, “Sahaya”, dan “Bendoro”.
Gaya Bahasa : Campuran bahasa indonesia jaman dahulu dengan bahasa Jawa pada beberapa kata seperti “kanca” dan “colong” serta sebutan bagi orang jawa seperti “Mas Nganten”, “Sahaya”, dan “Bendoro”.
·
Amanat :
Amanat :
o
Tidak penting
apakah kita ini termasuk orang rendahan ataupun seorang bangsawan, kita tetap
sama di mata Allah.
o
Jangan
memperlakukan seseorang semena-mena sekalipun ia seorang budak.
o
Memisahkan seorang
anak dengan ibunya merupakan hal yang keji.
o
Wanita bukanlah
sebuah ‘percobaan’ maupun seorang ‘pemuas nafsu seks laki-laki.
o
Kejujuran itu mahal,
maka dari itu tetaplah berbuat jujur sekalipun nantinya dapat mencelakakan kita
sendiri.
o
Mengabdi itu yang
utama adalah kepada Allah bukan kepada manusia yang dijunjung seakan ialah
penguasa dunia.
o
Hargailah siapa
saja orang yang berada di sekelilingmu.
o
Kekuasaan bukanlah
suatu ‘ladang’ kesombongan, berbuat adillah ketika kekuasaan berada di
tanganmu.
Ø
Unsur Ekstrinsik :
·
Judul : Gadis Pantai
·
Pengarang : Pramoedya
Ananta Toer
·
Penerbit : Lentera Dipantara
·
Cetakan : Ke-7, September 2011
·
Tahun Terbit : 2011
·
Tempat Terbit : Jakarta
·
Tebal Halaman : 272 hal
Ø
Nilai-nilai
dalam Roman :
v Nilai Sosial : Dalam
roman ini digambarkan mengenai kekejaman yang tak berperikemanusiaan dan tak
beradap seorang penguasa yang memiliki kedudukan sebagai ningrat/bangsawan
kepada seorang gadis lugu dari sebuah kampung nelayan yang dicampakkan setelah
dijadikan istri percobaan sang penguasa. Jelas sekali bahwa ini merupakan
kritik terhadap feodalisme jawa yang digambarkan sangat kental dalam Roman Gadis
Pantai ini. Feodalisme yang seakan memberi sekat tebal kasat mata terhadap
orang-orang dari kalangan rendahan dengan orang-orang dari kalangan
atas/ningrat. Berikut cuplikan dialog dalam roman ini: ‘”Kita sudah ditakdirkan oleh yang kita puji dan yang kita sembah buat
jadi pasangan orang atasan. Kalau tidak ada orang rendahan, tentu tidak ada
orang atasan.”’ (hal. 99). Ditambah lagi, ‘orang rendahan ditakdirkan’
untuk mengabdi pada seorang atasan seperti dalam cuplikan dialog berikut: ‘“Semua, Mas Nganten, untuk mengabdi pada
Bendoro.” ‘(hal. 69).
v Nilai Moral : Dalam roman ini, diceritakan bahwa tak
seharusnya seorang ibu dipisahkan dari anak yang telah dikadung dan
dilahirkannya, seperti dalam cuplikan dialog berikut: ‘“Mestikah saya pergi tanpa anak sendiri? Tak boleh balik ke kota untuk
melihatnya?” “Lupakan bayimu. Anggap dirimu tak pernah punya anak.”’ (hal.
257). Apalagi Bendoro hanya menjadikan Gadis Pantai sebagai ‘istri percobaan’
sebelum akhirnya ia menikah dengan seorang dari kalangan bangsawan. Ia hanya
menganggap Gadis Pantai hanya mengabdi padanya sebagai seorang rendahan kepada
atasan, lalu membuang Gadis Pantai atau mengembalikannya pada bapaknya setelah
Gadis Pantai melahirkan anaknya. Ini merupakan satu tindakan dari praktik
sistem Feodalisme Jawa yang tak berperikemanusiaan.
v Nilai Pendidikan : Diceritakan bahwa seorang wanita
utama sebagai istri dari Bendoro harus belajar mengaji, menjahit, menyulam, dan
merenda. Dibuktikan dari cuplikan roman berikut: ”Kemudian Gadis Pantai pun belajar menyulam, merenda, dan menjahit.”
(hal. 70). ‘Gadis Pantai mulai membatik,
seorang guru batik didatangkan.’ (hal.69). Tidak seperti di kampung
nelayannya dulu yang bahkan di usianya yang menginjak 14 tahun, ia sama sekali
tidak bisa membaca dan menulis, bahkan hingga ia menjadi wanita utama di
pendopo, ia masih belum bisa membaca dan menulis. ‘“Mas Nganten,: katanya perlahan. “Sahaya bisa baca bisa tulis, Mas
Nganten bisa?”. Untuk ketiga kali dalam sehari Gadis Pantai terguncang.’ (hal.
125). Serta anak-anak Bendoro yang diwajibkan belajar setiap waktu. ‘ “Apa kerja mereka di sini?”. “Mengabdi,
kalau siang belajar.”’ (hal. 55).
v Nilai Agama : Dalam roman ini, Bendoro selalu sholat dan mengaji
di sebuah ruangan yang bernama ‘khalwat’. Khalwat sendiri dalam Bahasa Arab
artinya ‘seorang laki-laki dan seorang perempuan yang berduaan tanpa ada
siapapun sebagai orang ketiga’. ‘Pada
tangan kanannya ia membawa tasbih, pada tangan kirinya ia membawa bangku lipat
tempat menaruhkan Qur’an. ......,langsung ia menuju ke permadani di depan,
meletakkan bangku lipat di samping kiri dan tasbih di samping kanan dan mulai
sembahyang.’ (hal.36). bendoro pun juga mengaji setelah melaksanakan
sholat. ‘Dan Bendoro telah menyelesaikan “Bismillahirohmanirrohim”,...’
(hal. 37). Anak-anak Bendoro pun diajari mengaji setiap hari. ‘”Ya, di samping kiri kan ada surau. Di sana
mereka belajar, juga mengaji.”’ (hal. 55). Lalu, nilai-nilai agama yang
diterapkan di pendopo berbeda dengan di kampung. ‘“...
sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor,
miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh
orang yang tahu agama.”. “Kebersihan,Mas Nganten, adalah bagian penting dari
iman. Itu namanya kebersihan batin. Ngerti Mas Nganten?”’ (hal. 41)
v Nilai Budaya : Dalam roman ini, nilai budaya sangat kental terasa
di setiap sudut masalah/konflik yang terdapat dalam cerita. Bagaimana perbedaan
budaya dan tradisi antara orang atasan dengan orang bawahan, antara orang kota
dan orang kampung. ‘”Di kampung orang tak
berhias bunga pada sanggulnya,”. ”Di kota, Mas Nganten, barang siapa sudah
bersuami, sanggulnya sebaiknya dihias kembang.”’ (hal. 55). ‘”... Karena dengan emas... karena.. ya,
supaya dia tidak kelihatan seorang sahaya, supaya tidak sama dengan orang
kebanyakan”’ (hal. 54). Bahkan, di
kampung juga tak mengerti apa itu dan bagaimana minyak wangi itu. ‘”Apa ini?”. “Minyak wangi, Mas Nganten.”’
(hal. 27). Serta perilaku seorang wanita utama yang harus selalu tenang, sopan
dan santun. ‘“Antarkan!” Gadis Pantai
menumbuk lantai dengan kaki sebelah. “Ceh,ceh,ceh. Itu tidak layak bagi wanita
utama, Mas Nganten. Wanita utama cukup menggerakkan jari dan semua akan
terjadi....”’ (hal. 28). Lalu, di kampung, orang-orang biasa melayani diri
sendiri. Mandi, makan, minum, dsb sendiri, namun di pendopo, sebagai seorang
atasan/ningrat, ia didampingi oleh seorang pelayan yang selalu setia mengabdi
dan membantu urusannya di dalam pendopo. ‘“mBok,
aku tak pernah dilayani sebelum ke mari.”’ (hal. 64). Dan hal yang paling
tidak saya mengerti adalah budaya masa lalu yang memperbolehkan saja menikah
dengan diwakilkan sebilah keris hanya karena ia seorang Bendoro yang dianggap
tak pantas turun ke kampung untuk melaksanakan pernikahan percobaan yang bahkan
untuk dirinya sendiri. ‘Kemarin malam ia
telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris.’ (hal. 12). Bahkan,
wayang juga asing keberadaanya di kampung sedangkan ada di pendopo ‘“Wayangkah itu?”. “Di tempat Mas Nganten
tak ada wayang?”. “Kami hanya pernah dengar. Tak ada gambar wayang di
rumah-rumah kami di kampung nelayan.”’ (hal. 85) serta perbedaan keyakinan
antara orang kota dengan kampung nelayan yang hanya melihat bahwa laut itu
berkuasa. ‘”Mereka tidak mengerti, Mas
Nganten. Wayang itu nenek moyang kita sendiri.”. “Nenek moyang mBok sudah tidak
ada, tapi laut tetap ada.”. “Uh-uh Mas Nganten, kita tidak bakal ada kalau
nenek moyang kita tidak ada.”. “Kakek itu pernah bilang mBok, segalanya
bersumber di laut. Tak ada yang lebih berkuasa dari laut. Nenek moyang kami
juga bakal tidak ada kalau laut tidak ada.”’ (hal.86). Hal ini jelas
membuktikan bahwa kampung nelayan hanya menganggap bahwa laut itu berkuasa,
berkuasa menelan nelayan yang diburu ombak, atau membiarkan salah satu ikan
besarnya melahap nelayan yang tak sengaja menangkapnya, serta memberikan
penghidupan pada para nelayan, sedangkan di pendopo, Bendorolah yang berkuasa,
semua orang mengabdi kepada Bendoro, semua di tangan Bendoro.
Ø Kekurangan Dalam Roman :
Menurut pendapat saya, Roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini memiliki kekurangan pada bahasa yang digunakan kurang komunikatif pada pembaca, sehingga pembaca yang tidak mengerti atau belum mengerti tentang sastra, terkadang tidak menangkap maksud dari hal yang coba dituangkan oleh Pramoedya Ananta Toer, sang penulis dalam karyanya ini. Memang, gaya bahasa yang digunakan oleh beliau merupakan gaya bahasa yang ada pada saat itu, belum tersentuh EYD dan belum mengenal perubahan jaman yang pada saat ini, kita rasakan telah mengubah sebagian besar bahasa yang kita gunakan. Pramoedya hidup pada jaman penjajahan Belanda, dan memang setting dari cerita ini adalah sekitar tahun 1930 atau 1940-an di mana penjajahan Belanda masih atau bahkan sudah hampir berakhir karena pelayan tua pembantu Gadis Pantai, di dalam cerita sering menceritakan mengenai bagaimana ia dan suaminya serta kakeknya berjuang melawan penjajahan Belanda dan berulang kali mencoba untuk kabur dari Kerja Rodi Belanda yang sangat menyiksa rakyat Indonesia pada saat itu.
Menurut pendapat saya, Roman Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini memiliki kekurangan pada bahasa yang digunakan kurang komunikatif pada pembaca, sehingga pembaca yang tidak mengerti atau belum mengerti tentang sastra, terkadang tidak menangkap maksud dari hal yang coba dituangkan oleh Pramoedya Ananta Toer, sang penulis dalam karyanya ini. Memang, gaya bahasa yang digunakan oleh beliau merupakan gaya bahasa yang ada pada saat itu, belum tersentuh EYD dan belum mengenal perubahan jaman yang pada saat ini, kita rasakan telah mengubah sebagian besar bahasa yang kita gunakan. Pramoedya hidup pada jaman penjajahan Belanda, dan memang setting dari cerita ini adalah sekitar tahun 1930 atau 1940-an di mana penjajahan Belanda masih atau bahkan sudah hampir berakhir karena pelayan tua pembantu Gadis Pantai, di dalam cerita sering menceritakan mengenai bagaimana ia dan suaminya serta kakeknya berjuang melawan penjajahan Belanda dan berulang kali mencoba untuk kabur dari Kerja Rodi Belanda yang sangat menyiksa rakyat Indonesia pada saat itu.
Saya
sendiri juga tidak tahu dimana tepatnya latar waktu dalam roman ini terjadi,
karena di sisi satu, pelayan tua Gadis Pantai menceritakan bagaimana
pengalamannya dulu menghadapi Belanda, disini bisa saja berarti Penjajahan
Belanda sudah berakhir. Tetapi, Bendoro merupakan Bendahara dari Belanda, dan
sebagian diceritakan bahwa Bendoro dan beberapa pengawal/keluarga pendopo masih
menggunakan Bahasa Belanda, berarti Penjajahan Belanda saat itu masih belum
berakhir.
Sehingga, bahasa yang digunakan pun masih
bahasa kental pada saat itu dengan sedikit perubahan dari pihak penerbit, saya
rasa. Di sisi lain, pada awal cerita, jujur saya merasa bosan membacanya karena
sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan jaman pada saat ini, walaupun saya
juga mengerti bahwa justru novel-novel seperti ini yang banyak dicari dan
digemari oleh para sastrawan di Indonesia, lagipula novel ini juga telah
diterjemahkan ke 42 bahasa, serta mendapatkan berbagai macam penghargaan dari
berbagai pihak baik dari dalam maupun di luar negeri. Tapi, saya akan bahas ini
menurut sudut pandang orang-orang biasa seperti saya.
Pada awal cerita, novel ini langsung memasuki
puncak konflik yaitu dengan diceritakannya Gadis Pantai yang tahu-tahu sudah
dinikahi oleh seorang Bendoro di kota menggunakan (atau mungkin diwakilkan) sebuah
keris. Kehidupan yang baru pun mulai dijalaninya, bagaimana ia mulai belajar
bersikap, belajar menjahit, dan sebagainya. Dari sini, cerita berjalan dengan
datar-datar saja sampai hampir berakhir, dimana Gadis Pantai mendapatkan haid
pertamanya, rasa cemburu pada Bendoro yang sering meninggalkannya untuk
bekerja, kerinduannya pada Bendoro dan seorang laki-laki tamu
Bendoro yang kemudian mulai membuatnya jatuh cinta. Namun, setelah itu
laki-laki itu tak pernah diceritakan lagi oleh Pramoedya. Perjalanan cerita
dari roman ini memang penuh dengan konflik, baik itu konflik batin maupun
konflik keluarga, namun hanya itu yang diceritakan, dan pada akhirnya Pramoedya
benar-benar ‘menombakkan’ kritikannya terhadap sistem Feodalisme Jawa yang tak
berperikemanusiaan pada saat itu dengan menceritakan bahwa dengan kejinya,
Bendoro mengusir Gadis Pantai dari pendopo dan merampas anak Gadis Pantai
darinya.
Novel
ini tidak membawakan sesuatu yang baru kepada para pembaca, hanya sebuah
kekejaman Feodalisme Jawa dan praktiknya di masa lalu dan memang itu tujuan
Pramoedya menulis novel ini. Sebagai orang yang tak tahu seluk beluk bagaimana
penulisan sastra dan sebagainya, saya memang tidak menangkap makna lainnya
selain hanya melihat bahwa praktik Feodalisme memang merupakan praktik yang
kejam. Tapi, saya juga tahu, bahwa saat ini, sudah banyak film-film yang juga
menceritakan hal serupa walaupun tidak sama persis mengenai perbuatan semacam
ini ataupun bahkan lebih kejam dari ini. Namun, mungkin karena waktu itu beliau
tinggal di jaman yang berbeda dengan kita, perbuatan semacam ini masih belum
terlalu umum ada di Indonesia dan mungkin biasanya hanya terjadi pada kalangan
atas dan kalangan bawah dalam sistem Feodalisme Jawa, sedangkan saat ini
walaupun kita sudah tidak menyebutnya dengan ‘Sistem Feodalisme Jawa’ lagi,
hal-hal seperti ini sudah bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan, telah umum dan
banyak kita temui dalam kehidupan masyarakat di sekitar kita seperti memisahkan
anak dengan ibunya atau marilah kita tengok kejadian yang belum lama terjadi di
Negara Indonesia tercinta ini tepatnya di kota Garut, Jawa barat.
Bupati
Garut, baru-baru ini juga menikahi seorang gadis belia dengan iming-iming uang
dan kekayaan yang didapatkannya dari jabatannya sebagai Bupati wilayah Garut,
Jawa Barat. Namun, 4 hari setelah pernikahan tersebut, Bupati itu menceraikan
gadis belia tersebut bahkan tidak secara baik-baik, melainkan melalui sms. Tidakkah itu jauh lebih kejam dari
cerita dalam roman Gadis Pantai? Memang, gadis itu juga tak berumur 14 tahun
seperti Gadis Pantai, melainkan telah berumur 17 atau 18 tahun, tetapi di jaman
sekarang ini, umur segitu masih
dianggap ‘kecil’. Gadis belia itu diceraikan bahkan sebelum memiliki anak, dan
difitnah pula oleh Bupati itu bahwa gadis itu sudah tidak perawan lagi.
Bukankah itu merupakan sebuah bentuk pelecehan terhadap wanita?
Ya,
saya juga tahu bahwa jaman dahulu, Gadis Pantai maish sangatlah polos karena
berasal dari keluarga miskin di sebuah kampung nelayan. Ia memang
memprihatinkan karena ia tak lagi memiliki anak yang telah dilahirkannya,
kehilangan kedua orang tua dan suaminya, serta pergi dari kampung yang selama
14 tahun telah melihatnya tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dengan
segala kepolosan dan keluguannya. Namun, masih banyak juga di jaman sekarang
ini, orang-orang yang bernasib jauh lebih buruk dari Gadis Pantai. Hanya saja,
sayangnya di masa itu, hukum dikuasai oleh Belanda, jadi tidak ada hukuman yang
menjerat Bendoro yang telah mencampakkan dan membuat hidupnya terasa sangat
menderita itu, berbeda dengan sekarang yang telah dibentengi oleh hukum yang
melindungi hak-hak kaum perempuan terutama HAM bagi masing-masing warrga negara
walaupun hukum di negeri ini juga belum sebaik yang diharapkan. Masih
kecolongan disana-sini serta bolongnya keamanan negeri terhadap siapa-siapa
yang dilanggar HAMnya, namun tidak mengadukannya pada aparat negara.
Ø Kelebihan Dalam Roman :
Roman ini berisi tentang kritik pada Feodalisme Jawa yang dirasa tak beradap serta tak berperikemanusiaan, tentu saja saya baru membaca roman dengan cerita seperti ini. Ini merupakan salah satu kelebihan dalam roman ini, yaitu jarang sekali ada orang yang menuangkan cerita sejenis ini pada novel yang digarapnya. Dari segi cerita, memang cerita seperti ini sudah tidak asing lagi dimata kita yang telah banyak melihat, membaca ataupun menonton cerita dengan tema seperti ini. Namun, roman ini dapat membawa saya benar-benar seperti memasuki jaman yang telah diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam roman Gadis Pantai ini.
Roman ini berisi tentang kritik pada Feodalisme Jawa yang dirasa tak beradap serta tak berperikemanusiaan, tentu saja saya baru membaca roman dengan cerita seperti ini. Ini merupakan salah satu kelebihan dalam roman ini, yaitu jarang sekali ada orang yang menuangkan cerita sejenis ini pada novel yang digarapnya. Dari segi cerita, memang cerita seperti ini sudah tidak asing lagi dimata kita yang telah banyak melihat, membaca ataupun menonton cerita dengan tema seperti ini. Namun, roman ini dapat membawa saya benar-benar seperti memasuki jaman yang telah diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam roman Gadis Pantai ini.
Saya seperti ikut terlarut dalam cerita
karena penjelasan letak tempat, bentuk serta sikap para tokoh pelaku tergambar
jelas di dalam roman ini. Jadi, imajinasi pembaca seakan dapat menyatu dengan
imajinasi yang diinginkan oleh penulis agar pembaca mengetahui dengan jelas
bagaimana rupa dan bentuk tempat-tempat maupun benda-benda yang ada dalam
cerita. Penggambarannya begitu simple,
walaupun ada beberapa benda yang hanya disebutkan namanya saja tanpa dirincikan
lebih lanjut mengenai rupa dan bentuknya karena mungkin pada masa itu benda
tersebut sudah tidak asing lagi ditemui dalam kehidupan sehari-hari, namun
mungkin di jaman sekarang ini sudah beralih nama ataupun telah tak dipergunakan
lagi karena perbedaan jaman.
Saya mengerti bagaimana penggambaran dan
dapat mengimajinasikannya dengan baik selama membaca roman yang menurut saya
cukup menyentuh ini. Saya seakan tidak mau berhenti membaca begitu cerita
mengalami konflik yang baru setelah di awal cerita, telah langsung dimulai
konfliknya. Menurut saya, novel ini tidak membosankan, hanya saja menurut teman
sebangku saya, novel ini membeosankan dan saya tahu apa sebabnya. Bagi orang
yang tak terlalu menggeluti bidang sastra, novel seperti ini memang bukanlah
sebuah novel yang cukup menarik untuk dibaca. Bukan berarti saya menganggap
saya cukup mengetahui seluk beluk sastra, sehingga saya tidak bosan membaca
roman ini. Bukan. Saya hanya berpendapat bahwa cerita yang diangkat ini unik. Jujur
saja, pada awalnya saya sempat kesal karena Pramoedya berusaha menunjukkan
kejamnya sistem Feodalisme Jawa yang berlaku pada saat itu. Karena saya juga
orang Jawa, saya tidak terima orang Jawa dikatakan tidak beradab dan tak
berperikemanusiaan.
Tapi, kemudian saya mencoba untuk memahami
apa yang coba disampaikan oleh Pramoedya ini lewat roman Gadis Pantai. Saya
mengerti, bahwa Pramoedya sendiri juga sebenarnya orang Jawa, lahir di Jawa dan
keturunan Jawa, hanya saja beliau tidak menyukai sistem yang berlaku pada saat
itu. Saya juga tidak menyukainya karena memang sistem ini tidak
berperikemanusiaan dengan membuang seorang gadis lugu yang berasal dari kampung
setelah menjadikannya ‘istri percobaan’ atau dengan alasan lain setelah
menjadikannya ‘pelampiasan seks’ seorang atasan/ningrat pada mas itu.
Pramoedya berhasil merubah sudut pandang saya
mengenai novel yang dianggap membosankan oleh teman saya ini menjadi roman yang
menyentuh. Saya ingin sekali membaca kedua buku lanjutan dari Roman Gadis
Pantai ini, tapi sayangnya itu tidak mungkin karena telah
dibuang/dibakar/dimusnahkan oleh kekejaman penjajahan pada masa itu. Saya jadi
sedikit banyak mengerti bagaimana kekuasaan pada masa itu serta kesenjangan
sosial yang sebenarnya telah ada sejak jaman dahulu kala, mengenai orang dari
kalangan bawah dengan orang yang berasal dari keluarga ningrat.
Alurnya cukup pelan, namun pasti. Pelan-pelan
merambat ke duduk permasalahan dalam roman hingga akhir dari cerita yang
membuat saya penasaran bagaiamana lanjutan dari roman yang membuat hati saya
seakan tak ingin berhenti membaca cerita ini. Saya tidak puas kalau hanya
membaca sampai disini saja, tapi apa daya memang hanya sampai sini saya harus
berhenti membacanya. Saya kira, memang pantas kiranya roman ini diganjar dengan
berbagai penghargaan dan diterjemahkan ke dalam 42 bahasa, karena roman ini
memang berbeda dari yang lain. Seakan mampu menguliti ‘neraka tanpa perasaan’
yang disebutkan Pramoedya dalam roman ini, mengajari kita bagaimana dahulu kala
orang rendahan diperlakukan dan disuruh mengabdi kepada atasan.
‘”Ya, orang kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja
berat tapi makan pun hampir tidak.”’ (hal.
54).
Atau ‘“Tambah mulia seseorang, Mas Nganten, tambah tak perlu ia kerja. Hanya orang kebanyakan yang kerja.”’ (hal. 68)
‘”Sahaya sering berpikitr, Mas Nganten... betapa adilnya kalau setiap orang punya rumah sebesar ini.”’ (hal. 80) ‘
”Mas Nganten adalah wanita utama, segala apa terbawa karena Bendoro. Begitulah Mas Nganten, jalan kepada kemuliaan dan kebangsawanan tak dapat ditempuh oleh semua orang.”’ (hal. 83). ‘
“Sahaya adalah sahaya. Dosa pada Bendoro, pada Allah seperti sahaya begini menempatkan diri lebih tinggi dari lutut Bendoronya.”’ (hal. 64).
Atau ‘“Tambah mulia seseorang, Mas Nganten, tambah tak perlu ia kerja. Hanya orang kebanyakan yang kerja.”’ (hal. 68)
‘”Sahaya sering berpikitr, Mas Nganten... betapa adilnya kalau setiap orang punya rumah sebesar ini.”’ (hal. 80) ‘
”Mas Nganten adalah wanita utama, segala apa terbawa karena Bendoro. Begitulah Mas Nganten, jalan kepada kemuliaan dan kebangsawanan tak dapat ditempuh oleh semua orang.”’ (hal. 83). ‘
“Sahaya adalah sahaya. Dosa pada Bendoro, pada Allah seperti sahaya begini menempatkan diri lebih tinggi dari lutut Bendoronya.”’ (hal. 64).
Dari cuplikan beberapa dialog di atas,
tahulah kita bagaimana Sistem Feodalisme Jawa dipraktikkan di masa lalu,
Pramoedya berhasil menggambarkannya pada hampir setiap dialog yang ada pada
roman ini. Membawa, para pembaca pada jaman yang berbeda dengan beliau,
memahami bagaimana Feodalisme Jawa itu membatasi manusia dan membaginya
berdasarkan derajatnya atau keturunannya serta dari mana dia berasal. Tidak
hanya itu sebenarnya yang ditusuk oleh Pramoedya dalam Roman Gadis Pantai ini. Disini,
ia juga menceritakan bagaimana Bendoro itu sholat, mengaji, dan membiayai
segala apa yang dibutuhkan Gadis Pantai dikampungnya mengenai didirikannya
sebuah surau ataupun didatangkannya seorang guru mengaji. Namun, terlepas dari
semua itu, ia menjadikan beberapa orang gadis cantik dari kampung sebagai ‘istri
percobaannya’ termasuk Gadis Pantai sendiri.
Ini jelas sudah bertentangan dengan ajaran
agama Islam sesungguhnya. Ia mengaji, ia sholat tapi apa yang dilakukannya tak
ubahnya seorang binatang. Saya jadi sedikit merasa bahwa tak hanya Feodalisme
yang disinggung oleh Pramoedya, melainkan Agama Islam pula. Agama Islam jelas
tak mengajarkan kepada pemeluknya untuk melakukan apa yang telah dilakukan oleh
tokoh Bendoro dalam roman tersebut, sungguh tidak pantas dan sama sekali
bertentangan apabila ia sholat, ia mengaji tetapi apa yang diamalkannya di
kehidupan sehari-hari berbeda dengan apa yang dipelajari dari sholat dan
mengajinya. Saya jadi menyimpulkan, bahwa Pramoedya berusaha untuk memberitahu
kita bahwa Sistem Feodalisme Jawa bahkan lebih kuat pengaruhnya dibandingkan
ajaran Agama Islam yang selama ini ditekuri tokoh Bendoro. Segala apa yang
dilakukakannya bernafaskan Islam, namun itu tak menghalanginya untuk tidak
mencampakkan seorang gadis di bawah umur yang telah dinikahinya serta merampas
anak darinya. Berarti, Sistem Feodalisme Jawa sudah tak dapat lagi diganggu
gugat pada masa itu.
Perbedaan kasta sangat kental terlihat dan
terasa antara orang kampung dengan orang kota, orang rendahan dengan orang
atasan. Pramoedya benar-benar menceritakan secara gamblang bagaimana Feodalisme
yang dibencinya itu merangkak jauh dari rasa kemanusiaan yang seharusnya ada
dalam diri setiap manusia. Karena sebab itulah seperti yang telah saya sebutkan
sebelumnya, bahwa roman ini memang mampu menjelaskan segala titik permasalahan
Sistem Feodalisme Jawa yang berkembang pada masa itu dengan lugas, pelan namun
pasti, menusuk dengan perlahan dan menunjukkan setiap lekuk tak
berperikemanusiaannya sistem itu berjalan.
Menurut saya, gaya bahasa yang digunakan oleh
Pramoedya Ananta Toer dalam roman Gadis Pantai ini sangat menarik karena
merupakan campuran dari Bahasa Indonesia dengan beberapa Bahasa Jawa dalam
beberapa kata. Ini menjadikannya seakan ‘utuh’ dengan nuansa Jawa di dalamnya
dan semakin menekankan bahwa yang beliau bahas dalam roman ini adalah tentang
masyarakat Jawa beserta sistemnya pada masa itu. Dialognya seakan murni berada
di depan kita, seakan kita mendengarkannya tepat di depan tokoh-tokoh yang
berbicara lengkap dengan tempat yang menaungi tiap kejadian. Tidak banyak
ulasan mengenai gerakan tokoh selama tokoh tetap diam selama pembicaraan, berbeda
dengan novel jama sekarang yang saban percakapan disertai gerakan tokoh ataupun
kata ‘katanya’/’ujarnya’/’ucapnya.
Dialognya benar-benar sederhana, namun mudah
dipahami, walaupun saya sempat bingung pada beberapa dialog, siapakah yang
sedang bicara ini karena tidak ada keterangan setelah dialog tentang siapa yang
sedang bicara, baru diakhir dialog saya paham sesiapa yang sedang berdialog
tersebut. Tidak terlalu menekan, apa adanya dan terkesan memang inilah sastra
lama. Bahasanya khas, enak dibaca dan tidak terlalu banyak kata-kata yang tidak
dimengerti oleh pembaca. Dari sudut cover
saja, roman ini telah menggambatrkan masa lalu yang kental dengan pakaian serta
raut muka orang-orang pada jaman dahulu, sehingga begitu melihat covernya, pembaca akan langsung mengerti
latar waktu kapankah cerita dalam roman ini berlangsung.
Sampai sekarang, saya sendiri masih
terngiang-ngiang dengan kata-kata pada dialog
dalam roman Gadis Pantai ini, karena dialognya yang sederhana serta
menyentuh perasaan mengenai praktik Sistem Feodalisme Jawa. Roman yang luar
biasa.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteAssalamualaikum. Ka cara buat blog lucu gini gimana? -ola
ReplyDeletewaallaikumsalam, dibuatin temen hehe
DeleteAssalamualaikum ka cara buat blogs lucu gimana?
ReplyDeleteClassy😍😍
ReplyDeleteIg : @tantrim_20