Ratna Juwita
Seekor
Merpati jantan terbang rendah mengusik ketenangan angin yang berhembus pelan.
Ia mengepakkan sayap dengan bebas, membiarkan beberapa bulu abu-abunya gugur di
udara, sibuk mengulum biji-bijian yang ia dapat dari balik bukit. Sang Merpati terbang menuju satu titik yang
ia yakin takkan salah, di sana Merpati betina dan telur-telurnya menunggui
kepulangannya. Sarang yang ia bangun di puncak teratas sebuah pohon mangga,
bahkan tak terlihat sama sekali olehnya yang terbang di jarak 2 kilometer dari
sarangnya.
Ia,
bahkan manusia pun tak mengerti apakah ia terbang menggunakan naluri. Ia tak
merasa kehilangan arah kala terbang jauh dari sarangnya, sejauh apapun ia pergi
ia akan tetap menemukan betinanya duduk menanti sembari mengerami. Ia sendiri
tidak mengerti, tapi perasaannya jauh lebih bahagia saat bertemu dengan
betinanya, tidak untuk burung merpati lain yang kadang datang menggodanya.
***
“Aku
ingin menjadi manusia.” Suatu hari sang Merpati jantan berkata dengan
pongahnya. “Aku ingin tahu alasan mengapa manusia kadang tak mampu setia,” lanjutnya.
Sang
Dewa yang mendengarnya, tertawa. Merpati betina yang juga mendampingi, merapat
di punggung sang suami. Ia hanya menyetujui usul Merpati jantan untuk merasakan
hidup sebagai manusia dan memahami sendiri bagaimana bentuk kesetiaan seorang
manusia.
“Tidakkah
kau akan menyesal usai memintanya?” Sang Dewa balik bertanya pada Merpati
jantan.
“Kami
yakin, kami ingin. Aku mau tahu, mengapa manusia sukar setia, meski beberapa
dari mereka bisa. Apakah nafsu membutakan logika mereka?” Merpati jantan
bergerak maju beberapa langkah, menegaskan keputusannya.
“Kalian
akan mengerti nanti.. lalu ketika kalian telah bisa memahami, kalian akan
berubah kembali menjadi merpati.” Jawab Sang Dewa. Merpati jantan mengangguk,
tapi sebelum ia bertanya kembali, Sang Dewa telah mengangkat tangannya. “Telur
kalian akan kulindungi.”
***
Merpati
jantan terjatuh, berdebam tubuhnya menghantam tanah. Perlahan, tubuhnya berubah
menjadi tubuh seorang manusia, dari kaki, badan, tangan, dan kemudian wajahnya.
Ia bangkit dengan rasa sakit yang menghimpit tiap kulitnya, lalu memandangi
sayap abu-abunya yang kini menjadi sepasang tangan berwarna kecoklatan. Ia
meraba-raba wajahnya dengan gugup, seolah ia kehilangan benda pusakanya. Paruhnya.
Di
depannya, kerumunan orang berlalu lalang seperti halnya kala ia masih berseliweran
di angkasa sebagai Merpati. Ia meneguk ludah, tak tahu apa yang harus
dilakukannya. Diam-diam ia merasa takut dengan keadaan yang dialaminya, tapi
ini permintaannya.
Ia
terhenyak ketika teringat akan Merpati betinanya. Ia menoleh, berusaha
menangkap sosok Merpati betina di sekitarnya. Tapi nihil, tidak ada siapapun di
sekitarnya kecuali kerumunan pejalan kaki yang membingungkannya. Dadanya
berdebar keras, ia coba berkeliling melewati semak-semak taman kota yang belum
pernah ia jamah. Ia linglung karena tak mendapati apa yang diinginkannya. Saat
itulah matanya menangkap sesosok wanita yang juga memandang ke arahnya. Wanita
itu tersenyum anggun dengan paras yang sedemikian cantiknya, rambut pirangnya
terurai di terpa sepoi angin yang dengan nakal memainkannya. Dada Merpati jantan
berdesir kala menyadari wanita itu berjalan ke arahnya.
“Sedang
mencari apa?” Tanya wanita itu sambil memegangi tasnya. Merpati jantan langsung
gugup menerima pertanyaan itu, ia baru ingat sedari tadi belum mencoba
mengeluarkan suaranya. Apakah masih sama?
“Aku..”
Suaranya terdengar seperti bass, “Aku mencari Merpati betina.” Ia terkejut saat
menyadari kebodohannya, tentu saja Merpati betinanya juga berubah wujud menjadi
manusia, tapi dimana? Ia melirik wanita dengan jaket pink dan celana panjang di depannya. Apakah wanita ini merpati betinaku?
***
Merpati
betina juga terjatuh. Ia mendarat di pepohonan yang lebat daunnya, memaksanya
menahan sakit kala sayapnya hampir robek disambar ranting-ranting yang
menjulang tajam. Saat itu pula, tubuhnya berubah menjadi tubuh seorang manusia.
Ia berubah menjadi wanita yang cantik dengan alis tipis dan rambut hitam yang panjang.
Matanya berwarna coklat, persis dengan matanya saat ia menjadi Merpati. Ia
terkulai di tanah dengan tangan kanan yang sedikit tergores.
Seorang
lelaki yang kebetulan lewat, sempat berjingkat karena kaget mendengar suara
berdebam dari halaman rumah yang tak lagi dihuni. Ia menoleh dan memutuskan
mencari sumber suara karena disergap rasa keingintahuan yang sangat. Ia
mengendap memasuki halaman rumah dengan pagar yang sudah rapuh, mudah saja
baginya membuka gembok berkarat setelah melongok sedikit ke dalam.
Suara
derit pagar seakan memprotes kedatangannya ketika lelaki itu mendorongnya. Ia
langsung mendengar suara rintihan tertahan yang berasal dari bawah satu-satunya
pohon di halaman rumah itu. Ia bergegas menghampirinya dan sangat kaget melihat
seorang wanita tergolek lemas dengan tangan berdarah.
“Apa
yang kau lakukan di sini?” Lelaki itu mendekat, mencoba melihat luka di tangan
Merpati betina. Ia kemudian merobek sedikit tepi bajunya dan membalutkannya di
tangan Merpati betina.
“Aw!”
Jerit Merpati betina kala ia rasa perih mencubit-cubit lengan kanannya.
Lelaki
itu panik, “Ma.. maaf! Ini.. Bagaimana bisa terjadi?” Tanya lelaki itu usai
membalut lengan Merpati betina. Merpati betina menatap lekat lelaki yang
menolongnya itu dengan bingung. “Oh ya, aku Radit. Kamu?” Lelaki bernama Radit
itu mengulurkan tangannya pada Merpati betina.
Sejenak,
Merpati betina terlihat ragu menyambut uluran Radit. Tapi ia menjabatnya juga dengan
tangan kanannya yang masih terasa nyeri, “Aku..” Merpati betina langsung
tersadar. Ia menarik kembalinya tangannya, berdiri, dan melihat ke
sekelilingnya. Ia mencari Merpati jantan yang sedari tadi belum dilihatnya. Ia
gugup, sekaligus bingung.
“Apa
yang kau cari?” Radit ikut berdiri dan mencoba menelaah kecemasan di wajah
Merpati betina. Merpati betina menatap Radit, ia baru ingat bahwa sejak pertama
ia membuka mata, hanya ada Radit di depannya. Apakah ia Merpati jantanku?
***
Merpati
jantan gelisah hampir setiap waktu. Kini ia tinggal di rumah wanita bernama
Bella yang ia temui sebulan yang lalu di sebuah taman kota dan sejak saat itu
pula Merpati jantan tak pernah berhasil menemukan Merpati betina. Ia bingung,
seandainya ia masih berwujud Merpati, ia yakin akan bisa menemukan Merpati
betina seberapapun jauhnya. Namun kini bersamaan dengan wujudnya sebagai
manusia, ia mulai sedikit demi sedikit kehilangan naluri untuk melacak dimana
Merpati betinanya. Naluri Merpatinya hampir punah ditelan akal yang kini
berperan paling besar dalam wujudnya sebagai manusia.
Tidak.
Ia tidak ingin menyerah pada kesetiaan sebenarnya yang tengah diuji atas
permintaannya. Kini ia tahu mengapa manusia terkadang tak mampu bersikap setia
pada pasangannya, itu karena mereka tak memiliki naluri sebagai Merpati. Tapi,
apakah hanya itu? Ia ingin tahu apa sebabnya manusia mampu setia apabila mereka
tak memiliki naluri Merpati seperti halnya dirinya?
“Kau
masih cemas?” Bella telah masuk dan menghampiri Merpati jantan tanpa
disadarinya. Merpati jantan mengangguk. Ia beruntung di rumah ini hanya ada
Bella dan 2 manusia yang Bella sebut sebagai ‘pembantu’. Bella pernah bercerita
pada Merpati jantan bahwa orangtuanya bekerja di luar negeri dan hanya pulang 3
bulan sekali. Itulah sebabnya ia dengan mudah menawarkan tempat tinggal
sementara untuk Merpati jantan.
“Aku
ingin tahu..” Merpati jantan kembali menekuri angkasa yang bersemburat warna
kuning bercampur merah di sisa-sisa terakhir takhta mentari.
“Soal?”
Bella meletakkan nampan berisi susu dan sepiring nasi di atas meja berukuran
sedang di dalam kamar.
“Mengenai
kesetiaan. Bagaimana manusia bisa setia padahal mereka bukan Merpati?” Merpati
jantan menoleh sedikit pada Bella yang tengah duduk di atas tempat tidurnya.
Bella sedikit berpikir untuk menjawab pertanyaan aneh yang untuk kesekian
kalinya ditanyakan oleh Merpati jantan.
“Memangnya
kesetiaan hanya ada pada Merpati?” Bella balik bertanya, “Manusia justru
memiliki kesetiaan yang melebihi Merpati, karena manusia juga memiliki naluri.”
Merpati jantan memandang Bella lama.
“Kalau
begitu mengapa banyak manusia yang tak dapat setia?”
“Menurutku,
itu karena manusia adalah makhluk yang sempurna.” Merpati jantan mengerutkan
kening tak mengerti, “Justru karena manusia memiliki nafsu dan akal, terkadang
mereka tak dapat mengendalikannya. Jika naluri kita lebih kuat dari nafsu, manusia
bisa sangat setia. Namun, apabila nafsu yang menguasai kita, kadang akal pun
tak sanggup menahannya, lalu jadilah apa yang disebut..” Bella membuat tanda
petik di udara, “Pengkhianatan?”
Merpati
jantan terdiam. Memikirkan apa yang dikatakan oleh Bella. Ia tahu, ia dan
manusia memiliki kondisi psikologi dan biologi yang berbeda. Dalam wujudya
sebagai Merpati ia hanya memiliki naluri, sedangkan manusia dibarengi akal dan
nafsu. Jika dengan segala hambatan itu manusia masih mampu setia, Merpati
jantan yakin itu akan menjadi titik kesetiaan paling mengagumkan yang pernah ia
mengerti.
“Lalu
kau?” Merpati jantan duduk di samping Bella, “Mana yang lebih berkuasa, nafsumu
atau nalurimu?” Bella menunduk, mencoba menyembunyikan degup jantungnya yang
berdetak cepat saat Merpati jantan duduk di sampingnya. Sedekat itu dengannya. Ia
mengumpat, tidak tahu sejak kapan dirinya menjadi begitu terpesona oleh Merpati
jantan. Ia enggan mengakui bahwa ia jatuh cinta pada Merpati jantan. Bella
memejamkan mata, berusaha mengatakan pada dirinya sendiri bahwa Merpati jantan
hanya orang asing. Orang asing yang baru dikenalnya, yang bahkan tak pernah ia
tahu nama dan asal-usulnya.
Merpati
jantan juga merasakan hal yang sama. Ia tidak tahu benda apa yang berada di
balik dadanya, yang tiap kali berdetak cepat hampir membuatnya sesak ketika
berdekatan dengan Bella sejak awal jumpa. Ia dan Bella saling berpandangan,
menemukan irama detak terbaik yang menyusup di kesenyapan mereka. Entah mengapa
tubuh mereka memaksa untuk saling mendekat, meski Bella mencoba menahannya,
wajahnya terus maju mendekati wajah Merpati jantan.
Merpati
jantan tersentak kala sekelebat bayangan Merpati betina terbayang di benaknya.
Ia berdiri tergopoh-gopoh dengan nafas yang tersengal-sengal, lalu berlari keluar
meninggalkan Bella yang turut berlari mengejarnya dengan perasaan yang kalang
kabut luar biasa.
***
Merpati
betina memutuskan untuk berjalan-jalan di sore hari bersama Radit. Tepat
sebulan ia bersama Radit, meninggalkan kenangan yang tak pernah kenyang
memenuhi memorinya. Mereka berdua berjalan beriringan, menapaki jalan entah ke
arah mana kaki akan membawa mereka pergi. Merpati betina masih belum lupa pada
Merpati jantannya, tapi ia juga hampir putus asa mencarinya. Radit, laki-laki
yang baru ia temui mau membantunya menemukan apa yang tidak jelas ia cari.
Cukup
lama mereka saling mendengarkan degup jantung masing-masing dan membiarkan
kenyamanan menaungi kebersamaan mereka, hingga akhirnya Merpati betina
menemukan topik yang selama ini ingin ditanyakannya pada Radit.
“Radit..”
Panggil Merpati betina lirih, membuat Radit menoleh. “Menurutmu, kesetiaan itu
bagaimana?” Radit menangkap kepolosan yang tersirat dari wajah Merpati betina,
ia tersenyum samar.
“Mmm..
kesetiaan, ya?” Radit memandang sudut langit yang paling jelas warna senjanya, “Kesetiaan
itu tidak pudar di telan waktu, tidak punah ditelan nafsu, dan tidak
tergadaikan karena jauh.” Jawab Radit. Matanya menerawang entah kemana. “Kesetiaan
itu menunggu.” Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, menutupi rasa
malu yang tidak ia tahu darimana mampirnya.
Merpati
betina tahu manusia lebih dari sekedar mengkhianati. Manusia itu luar biasa
dengan segala kekurangan yang ada, mereka bisa melompati apa yang menghalangi.
Ia berpikir, Merpati jantan salah mengenai manusia yang tak mampu setia. Justru
kesetiaan manusialah yang paling sempurna, karena masih dapat setia ketika
mereka dihadapkan pada banyak pilihan dan rintangan yang disebabkan akal dan
nafsu mereka. Benar-benar salah.
Tiba-tiba
seorang lelaki berlari keluar dari dalam sebuah rumah. Mengagetkan mereka
dengan keributan yang tak mereka ketahui. Dada Merpati betina langsung berdebar
ketika lelaki itu menatap sekilas padanya, namun ia masih terus berlari ke
jalan tanpa menyadari sebuah mobil
melaju mendekatinya.
Spontan
Merpati betina berlari. Ia tak mengerti mengenai naluri atau apapun yang
memaksanya berlari, yang ia tahu ia melompat, mendorong lelaki tadi ke tepi
jalan, dan membiarkan mobil itu menghempaskannya ke badan jalan.
***
Mobil
itu berhenti. Merpati jantan yang masih setengah sadar, hanya mampu menatap
nanar darah yang mengalir deras dari wanita yang baru saja mendorongnya. Menyelamatkannya.
Wanita itu tergeletak tepat di depan matanya. Membuat seluruh tubuhnya
bercucuran keringat yang seakan tiada habisnya.
Radit
berlari menyusuri jalan yang melengang sepi. Menghampiri wanita yang baru saja
dikenalnya sebulan belakangan, kini terkapar tak berdaya di hadapannya untuk
kedua kalinya.
Jantung
Merpati jantan mencelos ketika ia melihat titik hitam di telapak tangan kanan
wanita itu. Titik itu mengingatkannya dengan titik hitam pada ujung sayap kanan
Merpati betinanya. Ia lekas menghampirinya. Ia pangku tubuh wanita yang
menatapnya dengan mata sedikit terpejam itu. Tangannya bergetar. Barulah ia
benar-benar yakin, ini Merpati betinanya dengan mata berwarna coklat yang
membuatnya jatuh cinta. Ia menangis.
“Mer..
pa..ti.. jantanku?” Tanya Merpati betina dengan nafas tersengal dan kalimat terpenggal.
Ia meneteskan air mata kala dilihatnya Merpati jantan mengangguk. “Akhir ... nya ....”
Ia tersenyum, sedangkan darah masih terus mengalir deras dari kepalanya.
Radit
dan Bella saling bergantian memandangi 2 orang asing yang ternyata saling
mengenal satu sama lain. Mereka berusaha memahami hal yang belum sepenuhnya
mereka ketahui.
“Maafkan
aku.” Merpati jantan tergugu dalam tangisnya. “Aku hampir menggadaikan
kesetiaan kita, maafkan aku,” tuturnya dengan rasa penyesalan yang bergerumbul
di dada. Merpati betina menggeleng lemah.
“Kau ...
ma ... sih ... sama. Masih ... se ... galanya,” ucap Merpati betina sambil berusaha
mengusap pipi Merpati jantan perlahan, hingga akhirnya tangannya terjatuh dan
matanya terpejam penuh. Tak lagi sanggup berbuat sesuatu. Nyawa telah terpisah
dari raganya, membuat Merpati jantan merasakan nyeri yang teramat sakit di ulu
hatinya. Nyeri yang tak pernah ia tahu kapan ia pernah rasakan selain ini. Ia
mengiba, meminta Dewa mengembalikan nyawa betinanya dengan segala penyesalan
yang tersumbat di jiwanya.
Ia
teringat kala Merpati betina tersenyum untuknya, terbang bersamanya, dan
mengerami telur menunggui pulangnya. Ia tersedu dan airmata semakin deras
membanjiri wajahnya. Ia hampir mengkhianati Merpati betinanya jika tadi ia tak
terbujuk naluri. Seandainya ia bisa memacu kembali waktu yang pernah terlampaui,
ia ingin memberi kenangan paling indah yang pernah ia buat untuk betinanya.
Merpati
jantan menggeleng dan kemudian berteriak dengan suara yang menyayat-nyayat
hati.
***
Radit
dan Bella terkesiap dari lamunannya. Mereka terduduk di trotoar tanpa tahu
mengapa mereka bisa duduk di sana. Mereka saling berpandangan. Kemudian
memperhatikan jalan yang sepi, dengan mobil menepi di sisi kiri. Mereka mencoba
mengingat apa yang terjadi, tapi sekeras apapun mereka mencoba menelaah apa
yang terjadi, mereka tetap lupa dengan apa yang pernah mereka lalui.
***
Satu
waktu, Merpati jantan mati disaat anak-anaknya telah berhasil mendewasakan
diri. Anak-anak merpati bergerumbul menangisi kepergiaan sang ayah dan
menguburnya di bawah pohon tempat sarang mereka berada. Di samping kuburan yang
mereka buat untuk ayah mereka, ada sebuah gundukan lagi yang mereka tahu dari
ayah mereka bahwa itu adalah makam ibu mereka.
Selebihnya
mereka hanya didongengi oleh ayah mereka mengenai Merpati yang mencoba setia sebagai
manusia, yang entah mengapa seolah terdengar begitu nyata. Tentang seekor
Merpati yang dengan hati hancur mengubur sendiri bangkai Merpati betinanya, tentang
seekor Merpati yang berjuang mati-matian seorang diri menetaskan telur-telur
yang ditinggal mati ibunya, dan tentang seekor Merpati yang dengan keyakinannya
bermonolog mengenai kesetiaan yang berbuntut pada sebuah pengorbanan.
Mengenai
naluri dan Merpati.
***
0 Creat Your Opinion:
Post a comment