Ratna Juwita
Lagi-lagi,
oksigenku dirampas bebas alkohol, tontonanku tetap berkutat pada lampu yang
berkedip-kedip manja, tapi beringas, benar-benar meluluhlantahkan logika
manusia-manusia tak beretika ini. Pendengaranku masih dibungkam gaduh dan riuh
yang kubenci. Ah, tempat yang kubenci tapi kucintai. Mengatakan bahwa aku tak
menyukai tempat ini, ya aku tak menyukainya. Aku tak pernah menyukai laki-laki
hidung belang yang selalu datang ke tempat ini dengan mata jalang, nyalang
melihat dada-dada mulus kami. Kami para gadis yang dihias sedemikian rupa,
ditakdirkan melenggak-lenggokkan tubuh kotor kami dan rela dipegang di sana
sini.
Di
belakang segala riuh ini kami saling duduk di belakang meja rias kami. Diam.
Hanya melirik sesekali jika kecanggungan ini mulai terasa menyiksa. Kami
bekerja, kami bertemu, tapi tak saling berkomunikasi. Apa yang harus kami
bicarakan? Tak ada yang bisa dipertanyakan.
Kebanyakan dari kami berasal dari panti asuhan dari berbagai kota, tak pernah saling bertatap muka, sebelum akhirnya kami memiliki nasib yang sama. Tergadaikan di tempat mengerikan ini. Tempat mengerikan tepat di haluan kotor ibukota yang memberi kami penghidupan.
Kebanyakan dari kami berasal dari panti asuhan dari berbagai kota, tak pernah saling bertatap muka, sebelum akhirnya kami memiliki nasib yang sama. Tergadaikan di tempat mengerikan ini. Tempat mengerikan tepat di haluan kotor ibukota yang memberi kami penghidupan.
“Hiks ... hiks ...” Suara sesenggukan itu meremas ibaku. Kulirik seorang gadis remaja yang duduk di
sudut ruangan mungil ini dengan wajah sembab, sedang air mata terus membanjiri
pipinya.
Jantungku
berdegup keras kala kutatap mata sayu itu. Mirip dengan mataku kala pertama
kali dibawa ke tempat laknat ini. Kepalaku pusing membayangkan kembali masa
laluku, buru-buru kutarik paksa sudut mataku yang sedari tadi menjamah gadis
itu. Gadis tak berdosa, sebentar lagi mungkin kau takkan lagi merasa ketakutan
di sini. Di rumah barumu ini. Aku tersenyum kecut.
Seseorang
berjalan cepat ke dalam ruangan, membuat kami serentak menaruh perhatian penuh
padanya. Alex. Orang biadab yang telah membawa kami kemari, dengan pongahnya
menatap dada dan paha kami yang dibalut kain dan selendang tipis, hampir-hampir
telanjang.
“Khekhe...
pertunjukan akan dimulai.” Ia mengarahkan ibu jarinya ke arah yang berlawanan,
cukup untuk membuat aku dan ‘teman-teman’ senasibku berdiri, berjalan
melewatinya menuju ke panggung maksiat. Geramku sempat memuncak, tapi kutahan
mati-matian ketika tak sengaja menyorot gerakan tangannya yang meremas pantat
wanita di depanku.
***
Kami
penari, tapi tak menari untuk seni. Entah bagaimana, kami menari untuk
memuaskan birahi laki-laki tak tahu diri yang selalu saja mengantri. Gamelan
dan segala gendhing itu tak ubahnya penabuh nafsi, membuat laki-laki di setiap
sudut tempat ini tak terkendali. Tak pernah terpikirkan barang sejenak bahwa
aku bisa bekerja di tempat ini, mungkin akan lebih tepat jika aku menyebutnya
‘terdampar’. Terdampar seperti paus mati yang tak bisa lagi kembali.
“Aku
mencintai pekerjaan ini semata-mata hanya karena di sini aku bisa menari.” Aku
bersikukuh, tak ingin membuatnya mengerti bahwa tak ada alasan lain aku di
sini. Aku hanya berpikir, bila memang aku tak menyukai pekerjaan ini, maka aku harus
dan akan menyukai tarian yang selalu kugandrungi sedari kecil ini. Titik.
“Kau
tahu pekerjaan ini kotor, tapi kenapa?” Khali menanyakan pertanyaan yang
kesekian kali. Pertanyaan yang sama dengan inti yang sama serta maksud yang
sama, membawaku pergi dari sini. Khali sama saja bagiku seperti kebanyakan
lelaki di sini yang hidup untuk hiburan keji. Yang berbeda, ia adalah orang
yang telah memilih para penari di sini, dia tangan kanan Alex.
Aku
selalu berpikir, aku telah terjatuh terlalu dalam pada kemaksiatan ini. Tak
akan ada lagi tempat yang kutuju jikapun aku bisa keluar dari tempat ini dengan
bantuan Khali. Entah apa yang dia bicarakan mengenai cinta dan tetek-bengeknya, aku tak pernah
mengerti. Aku belum pernah merasakannya dan aku tahu itu hanya sebuah dongeng
semata.
Aku
melengos ketika kami beradu pandang. Sedikit muak dengannya. Dia bukan lelaki
rupawan yang menjadi idaman, hanya kekayaan yang bisa membuatnya digandrungi
baberapa penari di sini yang menganggapnya ‘lumayan baik’. Setidaknya sekalipun
sama bejatnya, ia tak memperlakukan wanita seperti laki-laki yang datang
kemari, menyentuh penari tanpa permisi, atau sengaja menyicil rupiah untuk
menyelipkan uang di antara dada kami. Tapi sama saja jika pada akhirnya ia
pernah tidur dengan hampir semua penari di tempat ini.
Aku
membalikkan badan, enggan menjawab pertanyaannya. Pertanyaan simpatik yang
patut kucurigai. Sesaat, kulihat sekelebat bayangan yang kukenal melintas di
depanku. Masih dengan suara sesenggukan yang sama, tapi pipinya memerah, darah
mengalir hampir di setiap bagian wajahnya. Aku tahu itu akan terjadi cepat atau
lambat padanya, sebagai hukuman karena tak mau menari untuk laki-laki tak tahu
malu itu. Aku mengerutkan kening.
“Tapi,
mungkin akan kupikirkan lagi jika kau bisa membantuku sesuatu.” Aku berbicara
dengan angkuh tanpa menoleh. “Hanya jika kau mau.”
“Tentu
saja aku mau, katakan padaku apa yang bisa kulakukan untukmu?” Khali menjawab
cepat. Ya, aku sudah tahu bahwa kau akan berkata seperti itu.
“Bantu
aku untuk mengeluarkan gadis itu dari sini.” Aku menggerakkan sedikit daguku ke
arah gadis yang telah sedikit berada jauh dari kami. Aku tak tahu bagaimana
ekspresinya, tapi aku tahu bagaimana reaksinya setelah ini.
“Kau
gila?”
***
Aku
mondar-mandir memikirkan rencana yang telah kususun dengan Khali tadi pagi. Ya,
malam ini aku harus bisa mengeluarkan gadis itu dari sini. Bagaimanapun juga,
aku tak mau melihatnya bernasib sama sepertiku, jikapun aku tak punya lagi
jalan untuk kembali, aku hanya harus membuat gadis itu kembali sebelum ia
sempat ternodai dan merasakan keganasan tempat ini.
Ah,
apakah aku sedang berusaha menjadi seorang pahlawan sekarang? Pahlawan yang
sama bejat dengan musuhnya? Aku terkekeh pelan. Orang yang kotor dari awal
takkan merasa bersih meski dicuci berkali-kali. Dosa yang tak tertera di depan
mata itu justru yang paling sering membayangi, membuat dadaku selalu sesak saat
memikirkannya. Dosa yang kuyakin takkan pernah bisa kulupakan seumur hidupku,
setidaknya aku masih bisa berkutat dengan kenyataan bahwa keberadaanku di sini
bukanlah kesalahanku sendiri.
Aku
selalu menyesali nasibku, mengapa aku di sini? Aku ingin pergi, tapi kutelan
mentah-mentah semua harapan semu itu. Aku tak pernah tahu siapa ibuku, siapa
sanak saudaraku, atau bahkan apakah mereka semua masih hidup? Jikalau iya,
apakah mereka akan menerimaku yang seperti ini? Yang telah tak punya lagi harga
diri? Aku tersenyum kecut.
Aku
muak setiap kali melihat pantulan dari diriku sendiri pada gadis itu. Gadis
baru yang selalu menyita perhatianku, biasanya aku tak pernah merasa segelisah
ini terhadap apapun yang terjadi di sekelilingku. Nasibku sendiri telah
mengurai segala nuraniku, tapi mengapa gadis itu bisa menyulamnya lagi walau
hanya menjadi helai? Aku kelu melihat tangisnya, sakit melihat darahnya.
Setidaknya sekali saja aku ingin seseorang pergi dari sini, keluar dari tempat
biadab ini, dengan bantuanku, dengan bantuan yang dulu selalu kuharap tapi tak
pernah kudapat.
Aku
tersentak, seketika lamunanku buyar. Pemandangan yang ada di depanku bukan lagi
tentang gadis itu, tapi untuk kesekian kali adalah laki-laki kurang ajar ini.
Mereka semua. Aku melenggak-lenggokkan tubuhku dengan lincah, kuanggap ini
sebagai terakhir kali untukku dan untuk mereka. Aku mencibir.
Kutatap
sekilas meja penuh bir yang berada tak jauh
di depanku, pura-pura tak tahu ketika beberapa lelaki mencoba berebut
menyisipkan lembaran lima puluh ribuan di dada. Alex mabuk, ditemani oleh Khali
di sampingnya, memandangku gelisah. Rupanya ia berhasil membuat Alex sampai
semabuk itu, dan aku sedikit memujinya meski ia melakukannya dengan ekspresi
seperti itu. Cih, aku jijik melihat wajah itu. Wajah-wajah ini.
“Neng,
tariannya bagus.” Celetuk seorang lelaki berjas lengkap yang menari bersamaku.
Aku tersenyum, dalam hati kuartikan perkataan itu sebagai ‘Neng, dadamu mulus.’.
“Jaipong
memang asyik, Kang. Sering ke sini?” Aku membalasnya dengan acuh meski senyum
tetap kutopengkan di wajahku.
“Saya
selalu ke sini malah dan yang selalu saya pilih selalu Eneng...” ia menyisipkan
lembarannya lagi dengan mata berkedip. Uh, kuharap aku bisa menahan untuk tak
memuntahkan isi perutku sekarang ke wajahnya.
“Kenapa,
Kang?” suaraku meninggi, seiring dengan alunan gamelan yang semakin menggila.
Sengaja kubuat nada suaraku mendayu-dayu, membuat wajahnya semakin terlihat
genit.
“Urusan
rakyat selalu bikin repot, di partai rumit berebut kuasa, stres, Neng!”
Aku
hanya membuat mulutku berbentuk seperti huruf O sambil manggut-manggut seolah
mengerti. Mereka semua ingin segera kulenyapkan. Bukan hal baru jika wakil
rakyat datang kemari dengan alasan hiburan padahal mereka berselendang kuasa.
Mereka dipilih untuk memperjuangkan nasib rakyat. Nasibku. Nasib kami. Tapi apa
yang mereka lakukan? Gaji mereka ditelan mentah-mentah tanpa usaha, kursi
jabatan ditinggalkan dan setiap hari datang kemari untuk menari dan menyentuh
tubuh kami. Biadab.
Kulirik
beberapa orang yang baru masuk ke tempat ini. Orang-orang berseragam aparat
keamanan. Ah, lagi-lagi. Aku selalu yakin merekalah dalang dibalik berdirinya
tempat ini, bagian dari tempat terkutuk ini. Mereka melindungi tempat ini dari
mata aparat yang lain demi beberapa lembar uang, bahkan tak jarang kami disuruh
melayani mereka sebagai upah. Bangsat! Mengapa aku merasa begitu malu tinggal
di negara ini?
***
“Lanjut,
Kang!” aku mencoba merebut beberapa lembar uang mereka. Hari sudah beranjak
larut, tapi tak ada satu saja dari mereka yang mengangkat kaki dari sini.
Sengaja aku menggila hanya untuk hari ini, melayani tatapan genit dan
tangan-tangan nakal mereka. Hanya untuk hari ini.
Pyaaar!
Alunan
gamelan mendadak berhenti setelah bunyi itu. Alex, lebih tepatnya Khali yang
membuat Alex seolah menjadi orang yang memecahkan bir-bir itu. Sudah dimulai.
Alex menggelepar di atas lantai dengan posisi tengkurap, seolah ia benar-benar
mabuk padahal beberapa dari bir itu telah kami sisipi dengan obat tidur.
Suasana
hening sejenak, tapi sesaat kemudian semua kembali seperti semula. Aku lirik
Khali yang menyulut beberapa batang korek api dan melemparkannya ke lantai yang
dipenuhi bir.
“Kebakaran!
Kebakaran!!” Khali berteriak kesetanan, mengalahkan suara gendhing yang
perlahan senyap.
“Kebakaran!”
Beberapa lelaki lain dengan wajah kalut berlari menuju pintu, membuat gaduh
riuh suasana di tempat ini. Ah, aku lebih suka gaduh riuh yang seperti ini. Aku
tertawa pelan. Entah setan mana yang berhasil menyusup di pikiranku hingga aku
merasa segembira ini, tak pernah terasa menyenangkan melihat wajah dan teriakan
ketakutan mereka.
Beberapa
penari juga panik, berebut keluar dari tempat ini. Dasar bodoh, tak ada dari
orang-orang ini yang berusaha untuk memadamkan api. Mereka bergelut dengan
ketakutan mereka dan keselamatan nyawa mereka sendiri. Khali menyeret tubuh
Alex sedikit menjauh dari api, membuka paksa beberapa botol bir yang telah
diganti dengan bensin, lalu menyiramkannya secara membabi buta ke seluruh
ruangan. Tak ada yang melihatnya. Tentu saja karena mereka semua buta, telah
buta pada upaya untuk mencari jalan keluar.
Aku
mengangguk pada Khali yang bergidik memandang kobaran api yang semakin
membesar, sudah tak bisa lagi dipadamkan. Aku mengangguk padanya, ia berlari ke
ruangan dalam untuk merespon, tapi aku mengikutinya. Gadis itu juga panik, tapi
hanya mampu berdiri di sudut ruangan dengan mata yang rapuh, tubuh yang
demikian ringkih.
“Kau,
keluarlah!” Ketika aku mengatakan hanya ‘kau’ aku memang benar-benar serius.
Khali Membopong gadis itu paksa meski ia meronta di sisa tenaganya, suara-suara
teriakan orang yang terkunci di ruangan luar terus menggigiti pendengaranku.
Kami
bergegas, sebelum orang-orang itu sadar ada pintu di ruangan ini yang tidak
terkunci. Beberapa penari rupanya menyadari dan segera beranjak mengikuti kami.
Kini kami semua berada di luar, menghirup udara yang sebagian terantai alkohol
dan bau-bauan lainnya. Khali menurunkan gadis yang gemetaran itu, segera
beberapa penari memeluknya untuk menenangkannya. Kuambil kayu yang telah
kusiapkan sedari awal di samping pintu, menarik nafas dalam-dalam, dan
menghembuskannya dengan berat.
“Terimakasih.”
Kuayunkan pukulan bersamaan dengan kata-kata terakhir itu ke arah Khali yang
masih membelakangiku. Para penari memekik keras, aku mengacuhkannya. Khali
tergeletak tak berdaya di depanku dengan kepala bersimbah darah, “...dan maaf.”
Aku tersenyum kecut, beberapa penari memandangku ngeri, aku hanya mengedikkan
bahu seolah tak terjadi apapun.
“Kalian
pergilah! Aku memang sama sekali tak mengenal kalian, tapi aku tahu kalian
orang-orang baik. Terimakasih untuk kerja keras kalian selama ini...” aku
menatap mereka satu persatu. Merangkai beberapa memori yang sempat terekam di
benakku.”...maaf telah membuat keributan ini.”
“Ha?”
seorang penari yang terlihat lebih tua dariku mengerutkan kening. “Kau...” ia
tak meneruskan kalimatnya.
“Ya,
aku yang membuat semua keributan ini, maafkan aku. Kita sama-sama ada di sini
karena kita mencintai jaipong, tarian impian kita. Sedikit banyak, aku tahu
bahwa kalian bertahan hanya untuk tarian ini, hanya karena di tempat lain
hampir jarang ditemukan jaipongan lagi...,” ucapku panjang lebar. “... setidaknya
tolong teruskan tarian ini, tidak di tempat seperti ini, aku serahkan nasib
tarian ini pada kalian ....” Aku melirik gadis kecil yang memandangku iba itu,
“dan padamu.”
Aku
tersenyum sekilas, tak pernah aku bicara dengan mereka seperti ini. Kali ini
entah mengapa aku merasa bahwa kami—aku dan mereka—sama-sama hidup, bukan
seperti boneka mati yang diam saja diperlakukan tak senonoh oleh para lelaki
bejat di dalam sana. Segera kuseret tubuh Khali ke dalam dengan susah payah.
Aku juga tak bisa meninggalkannya hidup, ia dan semua laki-laki yang kini
terkurung itu sama. Dan akan kulenyapkan bersama.
“Kau
mau kemana?” Penari yang duduk paling dekat denganku di meja rias memandangku
penuh tanya ketika pintu akan kututup dari dalam. “Kau tak ikut dengan kami?”
aku menggeleng sebagai jawaban.
“Tempatku
sudah bukan dunia.” Aku mengunci pintu.
***
Aku
harus minta maaf pada Tuhan soal ini nanti. Aku terkekeh. Suara orang-orang
yang masih menjerit itu tak kuhiraukan, terdengar pula beberapa bunyi dobrakan
pada pintu, tapi sudah jelas takkan berhasil. Khali menaruh beberapa benda
besar di pintu sebelum ia memecahkan bir-bir itu, atas perintahku.
Barang-barang besar yang takkan mungkin berpindah dengan hanya sebuah dobrakan.
Tapi
aku menyukai suara kepanikan dan kobaran api yang semakin ganas ini. Aku
menyukai tempat ini, yang seperti ini, yang dipenuhi kobaran api yang
menghancurkan segalanya, termasuk kami dan mereka semua.
Jikapun
nanti aku tak bertemu dengan Tuhan, aku ingin minta maaf pada orang-orang ini
di neraka. Aku tertawa, apa yang kupikirkan? Aku sungguh membenci orang-orang
ini, sudah lama aku berniat melakukan ini dan gadis itu memberiku alasan
terkuat untuk melakukannya.
Kubiarkan
rasa sakit menjalari seluruh tubuhku yang dijamah api, panas, nyeri, sakit. Aku
mendesah. Bisakah aku mengutuk-Mu untuk semua rasa sakit ini, Tuhan? Aku
percaya padamu bahkan jikapun aku tak sembahyang dan terlalu berkubang dalam
dosa, tapi aku menuntut-Mu untuk jaipong yang kucintai. Biarkan ia lestari, meski
aku harus menjadi bahan bakar nerakamu karena ini, pintaku satu yang pasti,
biarkan jaipongku tetap menari.
***
Malang, 10 Oktober 2014
Cerpennya bagus kak, sangat menginspirasi. Jangan lupa kunjungi blog kami juga ya kak, semoga karya kami juga bisa menginspirasi kakak. Trims
ReplyDeleteMakasih udah berkunjung dan baca cerpen ini ya :)
DeleteOkay I'll visit your blog