Ratna
Juwita
Leila mendesah. Rantai di kakinya beralih suhu menjadi panas, hampir berhasil menjadi pedang yang mampu mengupas kulit di pergelangan kakinya. Ia duduk terpaksa. Menghalau tubuh sejenak dari terik sinar matahari Kota Baghdad yang terus mengganggu kerjanya. Diletakkannya wadah dari jalinan bambu ke atas jalan berdebu. Ia tepikan sedikit kakinya dalam bayang-bayang bangunan batu, tak acuh lagi pada panas yang menampar kulit wajahnya.
Ia
menghirup udara, seakan itu adalah oksigen paling akhir yang dapat dihirupnya
hari itu. Sesak terus berebut memenuhi rongga dadanya, memintanya berbaring
agar peluh tak pula menghadang rongga hidungnya. Tapi ia Leila. Tak
dibiarkannya lelah mengomando tubuhnya, ia berdiri, mencoba mengintip lecet dan
luka bakar di kaki.
“Tidak
apa.” Ia menguatkan diri, meski raut gamang membentengi wajahnya. Ia perhatikan
sejenak lalu lalang di depannya, orang-orang berjubel, berebut dagangan, tawar
menawar barang yang diingini.
Suara
riuh khas pasar di kota ini telah tak nampak asing di telinga Leila. Tak juga
membuatnya heroik ketika ia melihat seorang anak kecil yang dengan cekatan
merampas beberapa kurma dari wadah penjual yang tengah sibuk melayani
pembelinya. Ia juga akan melakukan hal yang sama jika takdir memutar balikkan
ruhnya dengan anak kecil yang kini berlari minggir, menyembunyikan kurma curian
di balik celana kumelnya.
Leila
mengangkat kembali wadah bambunya yang berisi kurma ke atas kepala. Takut
menghinggapi batinnya jika majikannya memergoki dirinya berhenti memanggul
kurma. Ia berjalan berhati-hati, tak bergeming ketika nyeri terus menggigiti
pergelangan kakinya.
“Apa
yang sedang kau lakukan?!” Leila tersentak ketika sebuah teriakan dan suara
lecutan cambuk kemudian menelanjangi pendengarannya. Ia menoleh ke arah
orang-orang yang berkerumun beberapa meter di depannya. Ia segera menggigit
bibir ketika mendengar tangisan yang membarengi kasak-kusuk penghuni pasar. Ia
tahu pemilik tangisan itu dan lebih tahu lagi suara bentakan siapa itu.
“M-m-maafkan
saya, Tuan! K-kaki saya terbakar,”
Leila
memejamkan mata ketika terdengar sebuah lecutan dan rintihan kesakitan itu
lagi. Tanpa sadar, air mata menggenang di pelupuk matanya. Iba, duka, dan
nestapa beradu mulut dalam kepalanya, membuat ribut gejolak batinnya.
“Ampun,
Tuan!” Wanita itu menjerit semakin menjadi-jadi. Ia meraung, meminta belas
kasihan pada tuannya yang kejam luar biasa. Tuannya seakan tuli pada semua
rintihan itu dan semakin meradang, menerjangkan cambuknya pada kulit budak
perempuannya itu.
Tubuh
Leila gemetar. Ia ingin lari mencabut pisau yang bergoyang-goyang di pinggul
tuannya dan mencabik-cabik tubuhnya dengan itu untuk menyelamatkan temannya. Ia
tidak kuat mendengar jeritan dan tangisan teman seperjuangannya sebagai budak. Tapi
ia urung, ia hanya mampu berjalan dengan pelan dan kaki bergetar, mengontrol
dirinya agar tak melakukan kebodohan yang bisa membunuhnya kapan saja. Pada
batinnya yang lain, ia justru bersyukur bukan dia yang ada di posisi itu. Ah! Apakah
hal hina yang tengah dipikirkannya?
“Tuan!”
Leila mendongak cepat ketika seorang laki-laki melewatinya cepat, menyeruak
kerumunan di sampingnya hingga jelas olehnya tubuh Mina yang terbaring tak
berdaya. Nampak jelas luka cambuk yang mengulitinya, membuat Leila bergidik
membayangkan sakitnya.
Kini
semua mata tertumpu pada lelaki itu. Lelaki asing yang mereka anggap bodoh
karena berusaha ikut campur dalam masalah ini. Mereka tak ingin membayangkan
apa yang bisa Tuan Qassim yang terkenal bengis itu lakukan pada lelaki asing ini.
Sementara pengawal-pengawal Tuan Qassim yang bertubuh besar bersiap menghajar
lelaki itu ketika kemudian Tuan Qassim mengangkat tangannya. Menghentikan
mereka.
Lelaki
itu memandang budak wanita itu dengan nanar, seakan perih ikut mematuki
kulitnya yang kecoklatan. “Apa yang telah Anda lakukan?” ia memandang lurus
pada Tuan Qassim.
“Apa
yang kau katakan?! Tidakkah kau lihat aku sedang menghukum budakku?!” Tuan
Qassim menunjuk Mina yang tersentak karena takut dihujani cambuk lagi. Lelaki
itu memandang Mina dan Tuan Qassim bergantian, amarah hampir menghijab
logikanya.
“Kenapa
Anda mencambuknya?” Leila mengerutkan kening mendengar pertanyaan konyol lelaki
asing itu. Tuan Qassim terdiam sejenak, segera setelahnya tawa meledak darinya.
“Kau
itu bodoh atau apa? Terserah padaku mau memperlakukannya seperti apa! Dia
budakku! Bu-dak-ku!” Tuan Qassim menyebutkan kata ‘budak’ seperti sebuah hewan
peliharaan. Tapi Leila tak dapat memungkirinya. Budak memang tak lebih dari
manusia yang diatur dan dipekerjakan layaknya seekor hewan, diperjualbelikan
sesuai kehendak majikan, bahkan kaki mereka diikat dengan rantai sepanjang
waktu agar tak hilang dari pengawasan.
Bagian
manakah dari kami yang berbeda dari hewan?, Leila tersenyum sinis menanggapi
pertanyaannya sendiri.
Tiba-tiba
Tuan Qassim menunjuknya. Jantungnya hampir berlarian saat 2 orang pengawal Tuan
Qassim datang menyergapnya, menyeretnya ke hadapan Tuan Qassim, dan melempar
Leila ke samping Mina. Tak menghiraukan kurma yang berceceran dari wadah
bambunya. Lelaki itu berusaha menahan diri agar tak menghajar Tuan Qassim dan
pengawalnya.
“Lihat!”
Tuan Qassim menunjuk Leila dan Mina. Leila bangkit susah payah, mencoba
menegakkan tulang punggungnya yang dihantamkan paksa ke tanah. Ia memeluk Mina
yang masih menangis lirih di sampingnya. “Lihat! Mereka adalah budakku! Aku
bebas menghukum mereka sesuai kehendakku! Jika mereka berbuat salah, aku bahkan
bisa memasung mereka berhari-hari dimanapun aku mau!” Tuan Qassim meludah. Tepat
di lengan Leila. Leila hanya diam, masih memeluk Mina dan tak berani mengusap
ludah tuannya yang menggenang di lengannya. Ini semua sudah terlampau biasa
baginya.
Lelaki
asing itu menghela nafas berat, tak ia turuti amarahnya yang terus meracuni
untuk mencabut pedangnya. Jika ada hal yang ingin dilakukannya, ia bukan ingin
menumpahi jalanan dengan darah dan membaui pasar dengan bau anyirnya. Ia masih
berpegang teguh pada logika meski nurani menjerit, tak kuasa melihat martabat
manusia yang digadaikan karena uang dan kuasa.
Ia
bergelut dalam pikirnya, enggan melirik pada Leila dan Mina yang tampak kotor karena
debu yang melucuti tiap inci tubuhnya. Kulit yang seharusnya hanya digunakan
memasak dan mengurus rumah tangga, kini legam dan merah karena hujatan panas
dan cambuk yang merampas hak mereka untuk merdeka. Ia telah berkeliling dunia, melihat
banyak penderitaan dan kemiskinan, tapi ini adalah tindakan yang paling tak dapat
disepakati oleh batinnya.
Tuan
Qassim mencibir lelaki itu, ia mengangkat cambuknya, membuat jantung Leila dan
Mina berhenti berdetak barang sesaat karena takut yang kalut menguasai mereka.
Mina menangis lebih keras di atas ketidakberdayaannya.
“Tunggu,
Tuan!” Tuan Qassim menghentikan lecutan cambuknya. Menatap murka pada lelaki
asing itu. “Aku akan membeli mereka.”
***
Leila
dan Mina duduk canggung di atas tempat tidur lelaki itu. Leila terus memeluk
Mina sepanjang perjalanan, memberi kekuatan agar Mina berhenti menangis. Ia tak
menyangka lelaki itu akan membeli mereka, ia pikir lelaki itu berbeda atas
semua tindakannya pada Tuan Qassim. Leila menggertakkan gigi, lelaki selalu
sama. Menganggap mereka hanya sebagai dagangan yang bebas diperjualbelikan.
Leila
menatap sengit pada lelaki itu ketika pintu kamar terbuka. Lelaki itu masuk
dengan senyum samar di wajahnya, ia membawa sebuah kotak di tangannya.
“Siapa
nama kalian?” lelaki itu berdiri tepat di depan Leila dan Mina.
“Leila.”
Jawab Leila singkat.
“Mina,”
Mina masih masih sesenggukan. Lelaki asing itu tersenyum.
“Leila
dan Mina, ya? Aku...” ia tampak berpikir sejenak. “panggil saja aku Sin.”
Lelaki bernama Sin itu mengeluarkan beberapa obat-obatan dari dalam kotak itu. “Ini...
bisakah kau berikan pada Mina? Kalian bisa istirahat di sini setelah itu. Obati
juga lukamu, Leila!” Sin menyerahkan obat-obatan itu pada Leila, berdiri, dan
melangkah keluar.
“Tunggu,
Tuan!” Leila mengutuk kelancangannya sendiri. Sin berbalik.
“Apa
ada yang kalian butuhkan? Oh, ya! Makanan... akan kuambilkan makanan!” Sin
berbalik lagi.
“Bukan
itu, Tuan! Kami sudah biasa tidak makan.” Leila meremas botol obat di
tangannya.
“Kalau
begitu jangan dibiasakan. Itu bukanlah sebuah kebiasaan yang baik.” Sin
berbalik menghadap Leila dan Mina lagi.
“Tuan,”
Sin memperhatikan Leila. “s-setelah ini apa yang harus kami lakukan? Apakah
mengangkut kurma atau membersihkan unta? Atau...” Leila meneguk lidahnya
sendiri, ia tak ingin mengatakannya. Tapi cepat atau lambat, tuannya pasti akan
memintanya. “atau melayani Tuan?” Mina memandang Leila ragu. Ia mencoba
menalaah apa yang sedang dipikirkan oleh teman seperjuangannya itu.
Sin
memang baik hati membayar mereka dengan harga yang sangat mahal, tidak
sebanding dengan saat Tuan Qassim membeli mereka dulu. Tapi, pasti ada harga
yang juga harus dibayar karena telah menyelamatkan mereka dari kekejaman Tuan
Qassim.
Sin
mencoba berpikir, lalu kemudian tertawa. “Melayaniku? Bagaimana kalian akan
melayaniku sedangkan kalian bukanlah istriku?” Leila dan Mina tertegun.
“L-lalu
untuk apa Anda membeli kami?” Mina kini angkat bicara. Sin segera menghentikan
tawanya. Melihat raut wajah itu, nyali Leila dan Mina langsung menciut. “Maafkan
kami.”
Sin
terdiam. Ia duduk berselonjor dengan punggung bersandar pada dinding batu. “Tidak
apa, memang aneh jika aku membeli kalian tanpa bermaksud apapun. Tapi, aku
memang tidak bermaksud apa-apa, aku hanya tidak bisa melihat kalian
diperlakukan seperti itu oleh majikan kalian.”
“Kami
ini... budak.” Leila menatap Sin lurus. Terpatri segala lara yang pernah
singgah dalam hidupnya. “Kami dilahirkan sebagai budak, oleh wanita yang juga
disebut budak. Kami sudah tak memiliki apa yang orang lain sebut sebagai
kehormatan, atau keperawanan? Semua itu direnggut dari kami atas nama budak.”
Mina mencoba meremas tangan Leila yang gemetar.
Leila
menunduk, mencoba menyembunyikan air matanya dari tuan barunya. Ia tidak tahu
apa yang membuatnya mengatakan semua itu pada Sin. Sin jelas tak berbeda dari
majikan-majikannya sebelum ini, tapi ada hasrat untuk menumpahkan apa yang selama
ini ia pendam dalam diamnya, yang ia harus tanam dalam-dalam pada pasrahnya.
Sin
turut menunduk. Ia menjelajahi tanah rumah sewa murahan itu dengan matanya. Ia
tak berpikir untuk membeli rumah singgah sementara yang lebih bagus dari ini,
tapi kini ia menyesal karena ternyata ia bertemu dengan 2 wanita malang itu. Setidaknya,
ia ingin memberikan tempat yang nyaman untuk kedua wanita itu.
Sin
menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Berusaha mengurangi
sedikit kerisauan yang mengurung batinnya.
“Setelah
ini kalian bebas.”
***
Leila
memingit langit dengan gemintangnya pada sepasang netra. Entah bagaimana
kebebasan serasa teramat asing baginya, ia tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Sudah seminggu lamanya ia dan Mina ditinggal pergi tuannya. Ia
tidak tahu kemana ia harus mencari tuannya, sedangkan tak mungkin pula baginya
menyerahkan diri kembali sebagai budak.
Tak
ia hiraukan dingin angin yang mencoba merayunya menenggelamkan diri ke dalam
balutan selimut. Tuannya tak hanya memberinya kebebasan, ia juga memberikannya
tempat tinggal. Apa yang sebenarnya tengah dipikirkan oleh tuannya ia sama
sekali tak dapat menjamahnya, bisa menerjemahkan niatnya pun tidak.
Dulu
ia selalu mengidamkan sebuah kemerdekaan baginya dan juga para budak wanita
lainnya, tapi kini ketika kemerdekaan itu diberikan secara cuma-cuma oleh
seseorang yang ia sendiri tak tahu siapa, semua itu seakan hanya sebuah
fatamorgana. Tak benar-benar ada oase yang bisa menyiram dahaga akan hal yang
ia pun tak tahu apa. Fatamorgana yang ia ciptakan sendiri berbalik meminta tanggung
jawab akan kebebasannya. Setelah bebas, apa yang harus dilakukan oleh seorang
budak yang telah dibeli hidupnya sejak ia lahir?
Leila
menyentuh bekas hitam di pergelangan kakinya, bekas yang timbul karena rantai
yang saban hari terikat di sana. Entah mengapa ia jadi rindu pada kehidupannya
yang dulu, setidaknya ia memiliki tujuan hidup, yaitu mengabdi pada seorang
majikan, bukannya gamang dalam balutan nyawa yang sibuk mengembara, meminta kembali
seorang tuan yang pergi meninggalkannya.
“Leila...”
sebuah tangan menyentuh pundaknya. Leila menoleh dan mendapati Mina yang
memandangnya tak mengerti. “Apa yang sedang kau pikirkan? Tuan Sin?” dua
pertanyaan Mina itu berhasil menohok tepat di ulu hati Leila. Tuan Sin? Benarkah
tanpa ia sadari ia telah memikirkan Tuan Sin?
Leila
tersenyum canggung. “T-tentu saja tidak, untuk apa aku memikirkan Tuan Sin? Bukankah
kita sudah bukan budak lagi?” Leila mengalihkan pandangan dari tatapan
menyelidik Mina. Tingkahnya semakin membuat Mina curiga akan sesuatu yang
mungkin telah terjadi pada hatinya. Sesuatu?
“Kau
tak ingin mencarinya?” Mina meremas lembut pundak Leila yang sedikit menegang. Semakin
jelas olehnya apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
“A,
aku...” Leila tersenyum, berusaha untuk menyangkal ucapan Mina ketika kemudian
dilihatnya wajah Mina yang teduh. Sama sekali tak menghakiminya, tapi menuntut
sebuah kejujuran darinya. Leila menggigit bibir. “Kita hanya budak.”
“Tidakkah
kau ingat Tuan Sin sudah membebaskan kita?”
“Aku
tetap merasa aku hanya budak.” Leila sengaja menekankan kata ‘hanya’ dalam
ucapannya. Entah apakah itu untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia memang
hanya seorang budak ataukah ingin mengingatkan Mina bahwa mereka pernah menjadi
budak.
Mina
terdiam sejenak. “Masih teringat jelas diingatanku bahwa kita adalah budak
seminggu yang lalu. Bahkan sejak 19 tahun yang lalu. Tapi dengan kebaikannya,
Tuan Sin membebaskan kita, memerdekakan kita yang bahkan bukan sesiapanya. Hanya
orang yang kebetulan ditemui dalam perjalanannya.” Leila mendongak. Menatap
Mina.
“Perjalanannya?”
ia membeo. Mina mengangguk ragu.
“Aku
tidak sengaja bertemu dengannya tadi pagi dan aku mengikutinya. Aku melihatnya
masuk ke dalam sebuah kapal yang berlabuh di dermaga. Kata orang sekitar, kapal
itu baru sampai seminggu yang lalu... itu artinya Tuan Sin kemungkinan awak
kapal yang akan berlayar lagi esok pagi.” Leila terduduk. Ia mencoba mencerna
tiap kalimat yang lahir dari mulut Mina.
Leila
tidak mengerti apa yang tengah bergejolak dalam hatinya, yang jelas di sana
hanya terasa sebuah kehancuran. Apa yang terjadi dengannya? Ia pun tengah
mencari jawaban atas pertanyaan itu. Wajah Tuan Sin berulang kali menggenangi
memorinya, dosakah ia? Ia tidak ingin mengakui sesuatu yang belum pernah
dirasakannya itu sebagai sebuah hal yang sering ia baca di buku dongeng.
Prinsipnya
adalah menjadi seorang budak, ia tak boleh merasakan apapun selain mengabdi
pada tuannya. Tapi mengapa prinsip itu diluluhlantahkan oleh seseorang yang
baru saja datang? Ataukah ini semua hanya ilusi sebagai rasa terimakasih karena
telah memapahnya dari kehinaan seorang budak? Ia tidak mengerti.
“Kau
jatuh cinta, Leila.” Mina menekankan kata yang paling tak diakuinya. Ia menangis.
Sebagian dari dirinya seakan terhapus oleh duka. Antara mengakui jati diri dan
membuang kisah masa lalu. Masih pantaskah ia?
“Aku
hanya budak.” Leila mengulangi kalimat itu sekali lagi, tapi yang ia temukan
hanya kehancuran yang lain. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa sangat
sakit ketika mengatakannya. Mina memeluknya.
“Pergilah,
walau hanya berterimakasih dan mengucapkan selamat jalan padanya.”
***
Apabila cinta memberi isyarat
padamu, ikutilah dia,
walau jalannya sukar dan curam.
Dan apabila sayapnya memelukmu,
menyerahlah padanya
walau pedang tersembunyi di antara
ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu.
Dan kalau dia bicara padamu,
percayalah padanya.
(Khalil
Gibran)
Sin
menatap lurus pada laut lepas yang membiru. Ombak-ombak berkejaran seakan siap
mengantarnya berlayar kapan saja ia inginkan, meninggalkan Baghdad, dan segala
hal di dalamnya. Meninggalkan Leila dan Mina. Ia harap Leila dan Mina tidak
kembali menjadi budak setelah ia meninggalkannya, rasanya berat meninggalkan
mereka yang tak punya sanak saudara, tapi akan semakin bodoh dirinya jika
membawa mereka serta.
Ada
duri yang entah bagaimana menelusup dalam hatinya. Duri apa lagi? ia merasa
sesuatu tertinggal di Baghdad, tapi ia tak tahu apa. Ia putuskan berkeliling
kapal dan turun untuk terakhir kali menginjak tanah kota itu. Setidaknya, ia
tidak tahu apa yang bisa terjadi padanya selama pelayaran. Laut bisa saja
menenggelamkannya bersama seluruh kenangannya, tapi laut juga bisa mengantarnya
pada pulau dan samudera lain yang belum pernah dikunjunginya atau bahkan
mempertemukannya kembali dengan monster-monster yang kerap bersembunyi di
dalamnya? Sin tersenyum kecil.
“Tuan
Sin!” Leila belari terengah-engah. Ia berhenti, menghirup udara yang bergantian
memaksa masuk. Sin menatap Leila dengan sedikit terkejut, rasanya baru seminggu
yang lalu ia meninggalkan Leila dan Mina, tapi Leila benar-benar terlihat
berbeda tanpa rantai dan baju lusuhnya.
“Leila?”
Sin mencoba meyakinkan penglihatannya. Leila tersenyum tipis. Sin diam, ada
sesuatu yang berdesir dalam dadanya ketika ditatapnya mata Leila. Apa yang
salah?
Leila
mengatur nafasnya pelan-pelan, menyisakan kesunyian yang memayung canggung. Hanya mata mereka yang saling beradu kata
yang tak dikecap lewat lidah, memilin ketenangan yang menyeruak pasrah dalam
dada. Seakan tatapan itu telah mewakili seluruh kalimat yang susah payah
diuntai selama seminggu, menghamburkan deretan paragraf rasa yang tak dituang
di atas kertas. Tatapan mereka adalah tinta, hatinya yang mengeja, dan hanya
senyum yang menjawab semuanya.
“Tuan
Sin! Kapal akan segera berangkat!” Seorang awak kapal menyeru dari atas kapal,
membuyarkan tinta tatapan mereka. Leila salah tingkah.
“Aku
harus berangkat.” Lidah Sin mendadak kelu melihat ekspresi sedih Leila. Sin
terdiam, lalu didongakkannya wajah Leila yang menunduk layu. “Wanita adalah
makhluk yang mulia, terlepas apakah ia budak, bekas budak, ataupun wanita
biasa. Tak perlu risau pada masa lalu, bagaimanapun kau menyalahkan takdirmu itulah
yang mesti kau lalui. Ingatlah bahwa kapal tak berlayar bersama ombak, ia
melawannya.” Leila terpana pada kata-kata Sin. Sin tersenyum lebar, lalu
bergegas menaiki kapal.
Satu
lagi yang Leila ingat dari dongeng-dongeng yang kadang ia baca, bahwa cinta
bukanlah sesederhana hasrat untuk memiliki. Cinta itu memberi bukan memiliki. Dan
Sin, bukan untuk dimilikinya.
Sin
melambai pada Leila. “Leila! Suatu saat, jika kau mendengar nama Sinbad, saat
itulah aku menjadi orang yang telah menaklukkan samudera! Dan kau, kau wanita
pertama yang ingin kudengar namamu sebagai bangsawan Baghdad! Selamatkanlah
wanita-wanita sepertimu!” Leila menangis haru, melepas kapal yang berlayar ke
tengah laut. Seketika itu Mina menggenggam tangannya, matanya menyiratkan ada
hal yang terlupa olehnya.
“Tuan
Sin! Tuan Sinbad!” Leila melambai, “Jazakallahu
khair1!” Leila berteriak bersamaan dengan Mina. “Selamat jalan!”
Laut
itu menjadi saksi biksu yang memisahkan 2 insan yang tak sanggup mengungkap
apapun yang tersemat di hati mereka, tapi juga penghubung yang takkan pernah
putus mengabarkan cinta lewat riak-riak ombaknya. Memahat kisah yang tak
terekam oleh buku, hanya kisah yang dibangun dari memori yang masih tersisa di
benak kedua insan yang hanya mampu berbicara lewat tatapan dan berkirim kabar
lewat terpaan. Selama mereka sama-sama masih menghela udara di bumi yang sama.
Adalah wanita yang menitikkan air mata,
dan masih mempedulikan yang dicinta
Adalah wanita yang menjahit teguh
seorang pria
pada titik kekuatan dengan kelembutannya
***
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMas jangan ngerusuh wkwk harusnya dibaca donk sampai abis xD
DeleteAku gak tau caranya :'
eh busheh panjang amir
ReplyDeleteHehe.. waktu itu ikut lomba ketentuannya demikian :D
Delete