Ratna Juwita
Hujan pun pernah sesekali ragu: menimang-nimang kesiapannya sendiri untuk terhempas kesekian kali di atas bumi. Meninggalkan awan dengan perasaan yang selamanya diputuskan mati.
Agaknya, awan tak pernah bertanya lebih dulu, acuh pada nafsu hujan untuk bertahan. Hujan jatuh dengan suara debam yang hening, sering tak terdengar, tapi telah cukup menyakitkan. Dan kehilangan awan ternyata lebih menyakitkan.
Pada akhirnya, ia hanya teresap, teralir, teruap, dan bertemu tempat singgah yang baru; awan yang lain. Jatuh cinta, lalu tersakiti lagi tanpa mampu seutuhnya bersama awan yang dimau. Yang diingini.
Kadang rindu begitu menyiksa, ketika aliran juga resapan menjadi begitu lama. Kadang teresap itu menghilangkannya, hingga di suatu tempat, ia muncul lagi; mengalir dan memuara. Mengikuti kelok tanah di bumi yang tak pernah baik mengombang-ambingkannya.
Ia pernah menjadi sangat kotor, mengalir bersama benda benda padat yang tak jarang amis, busuk, dan menjengahkan.
Namun, ia juga pernah menjadi sangat bersih, diteguk, melewati lorong-lorong yang tak panjang, mengendap beberapa saat, lalu terbuang dengan bau yang pesing.
Bukan alam namanya jika tak bermain-main dengannya. Pernah. Ia begitu dalam mencintai untuk kemudian dikhianati. Berulang kali hingga ia sadar, hidupnya tak diciptakan untuk memilih.
Yogyakarta, 1 Mei 2017
0 Creat Your Opinion:
Post a comment