sumber gambar: goodreads.com
Usaha “Menyembuhkan” Islamophobia
Dunia Barat dalam Bulan Terbelah di
Langit Amerika Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Ratna Juwita
Judul : Bulan Terbelah di Langit Amerika
Penulis :
Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit :
2014
Tebal :
355 hlm.
ISBN :
9786020305455
Rate : 4/5
... semua orang adalah teroris di muka bumi ini jika tangan mereka menggenggam kekayaan tanpa menyedekahkannya untuk umat yang terseok-seok kehidupannya. Semua adalah teroris ketika ketamakan terhadap kekuasaan, kekayaan, harta, dan rupa-rupa mengungguli empati dan simpati terhadap mereka yang kekurangan. Karena pada dasarnya, seseorang yang semakin kaya tanpa disadari dia akan semakin kikir. Semakin kikir dan semena-mena. [hlm. 234]
Hanum Salsabiela Rais adalah putri politikus Amien
Rais, lahir pada 12 April 1982. Ia merupakan lulusan Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gadjah Mada. Suaminya, yaitu Rangga Almahendra mendapat gelar
sarjana dari Institut Teknologi Bandung dan melanjutkan S2 di UGM. Ia mendapat
beasiswa dari pemerintah Austria untuk melanjutkan studi S3 di Vienna
University of Economics and Business dan saat ini menjadi dosen di Johannes
Kepler University dan UGM.
Bulan Terbelah di Langit Amerika merupakan novel
ketiga mereka dari trilogi bertema perjalanan spiritual di luar negeri. Dua
novel sebelumnya berjudul 99 Cahaya di
Langit Eropa dan Berjalan di Atas
Cahaya. Novel pertamanya, yaitu 99
Cahaya Langit di Eropa berhasil menjadi novel best seller dan telah dicetak ulang lebih dari 23 kali, bahkan
novel tersebut telah diangkat ke layar lebar pada tahun 2013 dan sekuelnya pada
tahun 2014. Mengikuti jejak novel pertama, Bulan
Terbelah di Langit Amerika juga telah diangkat ke layar lebar pada tahun
2015 dan sekuelnya pada tahun 2016.
Saya membaca novel ini sudah sekitar empat tahun yang
lalu, tapi detail ceritanya masih membekas di ingatan sampai saat ini. Ini
merupakan bukti keberhasilan penulis meramu sebuah cerita yang terus melekat di
ingatan pembaca dalam waktu yang lama. Meninggalkan kesan mendalam yang membuat
saya menelusuri lebih jauh terkait tragedi yang disebut Black Tuesday.
Bulan Terbelah di
Langit Amerika bercerita mengenai Hanum dan Rangga,
sepasang suami istri muslim yang menjalani kehidupan di Eropa. Cerita diawali
dari reka ulang beberapa jam sebelum Pesawat American Airlines menabrak World
Trade Center pada 11 September 2001 di New York. Dua orang berkebangsaan Arab
membajak pesawat tersebut hingga menyebabkan World Trade Center runtuh dalam
kurun waktu dua jam setelah ditabrak. Ribuan orang tewas dalam insiden itu.
Hanum bekerja pada sebuah perusahaan surat kabar harian
Austria bernama Heute ist Wunderbar. Ia kemudian ditugaskan untuk meliput
peristiwa dan mewawancarai keluarga korban Tragedi 9/11 WTC dengan topik “Would
the world be better without Islam?”. Meskipun awalnya menolak, ia akhirnya
memutuskan untuk menerima “tantangan” yang membawanya pada sebuah kenyataan
tragis, tapi menyentuh di balik tragedi mengerikan tersebut.
Suaminya, Rangga, melanjutkan pendidikan dan tengah
membuat paper yang mengharuskannya
mengejar seseorang yang sangat berpengaruh dalam dunia bisnis, sekaligus
menjadi benang merah masalah mereka berdua. Tidak hanya diuji dengan kebencian
masyarakat Amerika terhadap Islam, kekuatan cinta mereka juga diuji dengan
hadirnya pihak ketiga.
Nuansa Amerika yang khas dengan Patung Liberty
langsung menyambut para pembaca di bagian kover. Ilustrasi bulan terbelah pun
menambah kesan mistik yang menyinari bangunan-bangunan di bawahnya. Perpaduan
hijau, abu-abu dan font judul oranye memberi
kesan yang misterius. Saya sangat tertarik membaca buku ini setelah membaca
judul dan melihat kovernya.
Saya bukan pembaca yang mengikuti mereka sejak buku
pertama, 99 Cahaya Langit di Eropa.
Novel ini adalah buku pertama karangan mereka yang saya baca dan membuat saya
ingin membaca buku-buku karangan mereka yang lainnya. Bahasa yang cair dan
mengalir membuat saya tidak kesulitan mengikuti cerita meskipun bahasan dalam
buku ini tergolong berat. Menuntut perenungan dan pemikiran mendalam mengenai
Islam di mata non muslim dan orang-orang yang bahkan terjangkit Islamophobia.
Dikutip dari republika.co.id, Islamophobia adalah
istilah yang menunjukkan sikap takut sekaligus benci terhadap Islam dan umat
Islam. Istilah ini mungemuka pada pertengahan 90-an setelah muncul dalam
tulisan yang dirilis sebuah lembaga sipil Inggris yang dipimpin seorang muslim
sekaligus wakil rektor Universitas Sussex, Inggris. Lebih lanjut, dalam artikel
berjudul “Islamophobia dan Kerukunan Umat Beragama” tersebut disebutkan bahwa
Islamophobia semakin meningkat ketika terjadi serangan 11 September 2001.
Dijelaskan pula bahwa dalam istilah Islamophobia, Islam dipersepsikan tidak
mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain. Lebih rendah dibanding budaya
Barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis daripada berupa suatu
agama.
Membaca penjelasan tersebut, didapatkan gambaran bahwa
Islamophobia merupakan sesuatu yang sama sekali tidak menyenangkan, terutama
bagi orang Islam. Akibat beberapa orang yang mengaku Islam dan melakukan
tindakan kriminal cenderung brutal, umat Islam seluruhnya mendapatkan stigma
sedemikian rupa dari orang-orang non muslim, terutama di Amerika. Kepedihan
yang diciptakan oleh tragedi 9/11 bukanlah sesuatu yang remeh, hingga kini kata
“teroris” juga ikut disematkan bersanding dengan kata “Islam”.
Topik inilah
yang coba diangkat oleh Hanum dan Rangga selaku penulis dalam Bulan Terbelah di Langit
Amerika. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama bergantian antara tokoh Hanum
dan Rangga, penulis memberikan gambaran bahwa menjadi orang Islam di tengah
orang-orang yang membenci Islam bukanlah hal yang mudah meskipun tidak
seluruhnya benar-benar membenci Islam. Perjalanan yang ditulis dalam bentuk
karya fiksi ini benar-benar meyakinkan pembaca, seolah-olah cerita yang dituangkan
menjadi novel terebut benar-benar ada dan terjadi. Bumbu kisah cinta Rangga dan
Hanum yang manis juga menambah pemahaman saya terhadap kehidupan pernikahan.
Bahwa, pernikahan tidak selamanya diisi oleh kabahagiaan, melainkan juga duka,
cemburu, dan hal-hal lainnya.
Mungkin karena mereka menyasar pembaca dewasa,
sehingga beberapa kalimat berbahasa asing muncul tanpa diberikan catatan kaki
mengenai artinya. Namun, akan lebih baik lagi apabila kalimat-kalimat berbahasa
asing, terutama yang bukan Inggris diberi catatan kaki agar pembaca yang awam,
bahkan yang masih berusia remaja dapat ikut menikmati perjalanan Hanum dan
Rangga di tanah Amerika. Kesan Amerika dan luar negeri tidak akan hilang
meskipun tidak menggunakan bahasa asing karena penggambaran setting tempat benar-benar detail. Hanum
dan Rangga berhasil menyajikan Amerika di depan mata pembaca dengan
penggambaran tempat yang deskriptif ditambah lagi suasana yang dibangun dengan
apik sehingga saya turut merasakan gejolak emosi tokoh-tokohnya.
Tidak hanya itu, pada beberapa bagian juga terdapat
peta sederhana yang tidak membingungkan. Memberikan gambaran pada pembaca
mengenai letak tempat-tempat ikonis dalam cerita serta jarak dari satu tempat
ke tempat lainnya. Transportasi yang mereka gunakan juga sangat membantu. Kesan
luar negeri benar-benar sangat terasa, ikut berperan membangun jalannya cerita.
Tidak hanya sebagai “tempelan” saja. Alur campuran yang digunakan oleh penulis
juga sama sekali tidak membingungkan. Setiap setting waktu dan lokasinya
dibubuhkan di bagian atas ketika pergantian sudut pandang tokoh dari Hanum ke
Rangga maupun sebaliknya.
Saya menyukai sosok Hanum yang tegas, mandiri, dan
berani, tanpa kehilangan karakternya sebagai seorang perempuan yang terkadang
juga butuh dilindungi dan ketakutan. Penggambaran karakter tokoh-tokohnya
dibuat sangat manusiawi. Walaupun tokoh Stefan terasa menyebalkan, saya
menyukai pemikirannya yang kritis terhadap beberapa hukum Islam yang
dianggapnya tidak logis. Beberapa hal yang merupakan hasil dari pemikiran
kritisnya, membuat saya merenung. Karakternya yang terkesan urakan dan
seenaknya sendiri berhasil membuat cerita semakin terasa hidup.
Adegan yang paling saya sukai dalam novel adalah
ketika beberapa kali kebencian orang non muslim terhadap Islam, dibalas
kebaikan oleh para tokohnya. Seperti ketika Khan dan Stefan akhirnya bisa
saling memahami setelah lama saling adu argumentasi, bahkan hampir bermusuhan.
Perbuatan baik Khan telah menyadarkan Stefan dari kesalahannya selama ini.
Prolog yang memukau dengan runtutan peristiwa dalam tragedi 9/11 berhasil
diakhiri dengan ending yang
memuaskan. Walaupun buku ini berbentuk trilogi, setiap bukunya memiliki cerita
tersendiri. Tidak membaca kedua buku sebelumnya tidak akan membuat pembaca
kebingungan membaca Bulan Terbelah di
Langit Amerika.
Empat tahun lalu saya berpikir, apakah tokoh-tokoh dan
semua kejadian di dalam novel ini benar-benar nyata? Sekarang saya tahu, Hanum
dan Rangga hanya berhasil membuat saya percaya bahwa karangan rekaan mereka ini
benar-benar nyata.
Referensi:
Mashuri, Ikhwanul Kiram. 201.
Islamophobia dan Kerukunan Umat Beragama. https://www.google.com/amp/s/m/m/republika.co.id/amp/opxtnc319
diakses pada 3 Mei 2019 pukul 11.00 WIB.
Widjaja, Munady. Fakta Tentang Hanum
& Rangga. https://x.detik.com/detail/metropop/20160523/Fakta-tentang-Hanum-dan-Rangga/
diakses pada 3 Mei 2019 pukul 10.00 WIB.
0 Creat Your Opinion:
Post a comment