(sumber gambar di sini)
Ratna Juwita
“Anak-anak,
kita sudah sampai!” Bu Yasmin, guru sejarah kami yang memiliki suara bak lagu
nina bobo setiap kali mengajar di kelas, berseru gembira. Kami semua berjajar rapi di depan museum
setelah melewati gapura pintu masuk khas militer. Di sana, tulisan “Museum
Brawijaya” yang sangat besar di bagian
atap, langsung menyambut kami.
Mataku memandang sekeliling. Tepat di depan kami,
terdapat tugu persegi panjang dengan patung setengah badan seorang laki-laki berpeci,
menempel di atasnya. Samar-samar, aku membaca tulisan yang tertera di tugu
hitam itu: Jenderal Soedirman. Dadaku langsung bergejolak. Mati aku!
“Berjuanglah Sudirman, pahlawan
kita!” Suara nyanyian sumbang yang mengutip dari lagu pembuka animasi Captain
Tsubasa itu langsung disambut gelak tawa di sekelilingku. Salah satu
teman—paling menyebalkan—di kelas, Nando, menyanyikan liriknya sambil
mengulurkan tangan kiri ke arahku dan tangan kanan menempel di dada, seolah
sedang membacakan puisi cinta.
Aku menyunggingkan senyum terpaksa.
Pura-pura ikut menikmati ejekan mereka. Sial!
Inilah alasanku tidak pernah suka
mengunjungi museum bersama teman-teman. Namaku yang sama dengan nama salah satu
jenderal TNI itu sering kali menjadi bahan olok-olokan mereka. Tak
henti-hentinya aku merutuki orangtua yang tidak bisa memilih nama keren dan
bagus untuk anak semata wayangnya ini. Kalau boleh, aku bakal lebih senang kalau diberi nama Lautan, Gemintang, Cakrawala, atau apa pun selain nama pahlawan yang sering digunakan
sebagai nama jalan.
“Ssst! Diam, Anak-anak! Jangan
menghina nama pahlawan kita! Kalian tahu Jenderal Soedirman adalah ….”
Bola mataku berputar. Bu Yasmin
selalu mengulang hal yang sama tentang Jenderal Soedirman dengan harapan
teman-temanku akan lebih menghargai pahlawan itu. Kenyataannya, mereka justru akan semakin gencar
mengejekku dan tak pernah sedikit pun terlihat menghargai Jenderal Soedirman.
Apalagi “Sudirman” yang ada di depan mereka ini.
***
Mataku menjelajah ke tiap benda yang terpajang di dalam museum ini. Sebelum masuk ke museum, aku sangat tertarik dengan tank amfibi bernama AM-TRACK yang terletak di halaman. Tank itu terlihat nyata dan keren. Maksudku, itu adalah tank sungguhan yang digunakan dalam Agresi Militer Belanda I tahun 1947! Beruntung aku masih bisa melihatnya.
Aku memang tidak terlalu menyukai
pelajaran sejarah, tapi aku selalu suka cerita-cerita peperangan, aksi, mafia,
atau apa pun yang melibatkan tokoh-tokoh keren. Adegan tembak-menembak adalah
salah satu favoritku.
Kali ini, kami sedang melihat-lihat
ruang lobi yang berisi relief wilayah kekuasaan Majapahit, daerah tugas pasukan
Brawijaya, dan sebagainya. Jujur saja, berkeliling di bagian ini membuatku
menguap lebih lebar. Untungnya, di sini tidak terdapat segala hal yang
berhubungan dengan Jenderal Soedirman sehingga teman-teman berhenti mengolokku
untuk sesaat.
Nando
terlihat beringsut ke arahku. Aku sedikit menjauhkan kepala ketika wajahnya
mendekat, tetapi ia menarik lenganku. “Man, museum ini katanya
salah satu yang angker!” bisik Nando.
Segera saja bulu kudukku meremang.
Kami sedang berada di Ruang Koleksi I yang banyak terdapat foto dan
lukisan-lukisan pertempuran. Jujur saja, berada di sana sudah membuat
perasaanku tidak enak. Aku melirik ke arah
Nando yang kemudian cekikikan sambil berteriak lumayan keras, “Man, Man, ada fotomu!”
Sontak, teriakannya itu lagi-lagi disambut gelak tawa. Desisan Bu Yasmin menyahut kemudian. Foto
yang dimaksud Nando adalah lukisan Jenderal Soedirman yang mengadakan inspeksi
pasukan di Malang dalam rangka persiapan pemulangan tawanan perang Jepang,
tertulis keterangan di
bawah lukisan itu.
Aku mulai jengkel dengan kunjungan
museum ini. Seharusnya, aku memohon pada ibu untuk memberiku izin membolos satu
kali saja, tapi setelah kupikir-pikir, aku mungkin melewatkan Hawaii Waterpark
Malang. Rencananya, kami akan pergi ke sana begitu kunjungan museum selesai
untuk me-refresh otak. Tidak ada
wahana air seperti itu di kota kami, Banyuwangi.
Kami bersiap meninggalkan ruangan
ketika mataku sekali lagi terjerat pada lukisan Jenderal Soedirman tadi. Dalam
lukisan besar yang kira-kira berukuran empat kali dua meter itu, terlihat tiga
orang berpakaian serba hijau dengan kemeja putih dan dasi hitam di baliknya,
serta mengenakan penutup kepala hitam. Orang yang paling depan adalah Jenderal
Soedirman yang berjalan sambil memberi hormat, kemudian di belakangnya terdapat
dua orang yang mengikutinya.
Beberapa orang tentara Indonesia berbaris di bagian tepi sambil memegangi senapan,
kemudian diikuti
orang-orang
yang sepertinya adalah jenderal atau panglima, dan yang paling belakang berderet orang-orang
yang berpakaian seperti pasukan Jepang.
Tanpa sadar, aku dibuat merinding.
Seakan-akan aku juga berada di sana, merasakan kewibawaan orang yang sebenarnya
tidak tampan, tapi memiliki pandangan mata yang tajam. Ia terlihat kurus dengan
bibir penuh yang sedikit menonjol, tapi ia terlihat gagah dalam balutan pakaian
hijau tua itu.
“Man …”
Aku seperti bisa melihat langkah
tegap, tegas, dan tak kenal takut dalam lukisan tak bergerak itu. Meskipun
begitu, entah mengapa, ada
perasaan tidak enak yang menyergapku.
“Dirman …”
Seperti …
“Sudirman!”
Aku terkesiap. Menoleh. Mendapati Bu
Yasmin telah berada di sebelahku dengan raut muka cemas.
“Yaampun! Ibu kira kamu kesurupan!
Jangan bikin Ibu takut, dong! Kamu ngeliatin lukisan itu nggak kedip.
Tegang.” Bu Yasmin mengguncang lenganku.
Mataku berkedip, baru benar-benar
merasa berpijak lagi di atas lantai museum. Sesaat kemudian, aku mencoba
mengulas senyuman yang kuharap sedikit memberikan efek tenang pada Bu Yasmin.
“Ah, iya maaf, Bu. Saya cuma ngerasa
… lukisan ini keren, terus … lho mana teman-teman?” Aku memandang ke sekeliling
dan hanya menemukanku berdua dengan Bu Yasmin.
“Mereka sudah ke Gerbong Maut sana.
Ibu tadi baru sadar kalau kamu tidak ada. Ibu sudah takut saja kamu hilang
tiba-tiba!” ujar Bu Yasmin menjelaskan. Aku manggut-manggut.
Eh, apa?
“Gerbong Maut, Bu?” tanyaku antusias.
Bu Yasmin mengangguk, terlihat kebingungan dengan perubahan reaksiku. Aku
hampir melewatkan yang satu itu! Padahal, itu benda di museum ini yang paling
ingin kulihat! “Di mana, Bu?” lanjutku tidak sabar.
Bu Yasmin mengangkat tangan, menunjuk
pintu keluar, “Di sana … lho, Man! Sudirman! Aduh, anak ini! Jangan tinggalin
Ibu!”
Aku tak tagi menggubris panggilan Bu
Yasmin dan langsung melesat ke luar ruangan.
***
Mataku tertuju pada sebuah gerbong berukuran
kecil yang berwarna perpaduan putih dan hitam. Di salah satu bagian, terdapat
lubang persegi yang merupakan satu-satunya pintu masuk gerbong. Tidak ada lagi
lubang, jendela, atau pintu lainnya. Di bawah lubang yang berbentuk persegi itu
terdapat lempengan besi persegi panjang dengan tulisan “GR 10152”. Nama gerbong
tersebut adalah “Gerbong Maut”.
Kami mengitari gerbong sembari
mendengar penjelasan seorang pemandu yang penjelasannya tidak kudengarkan dari
awal masuk museum. Namun, kali ini berbeda. Aku sangat penasaran dengan gerbong
yang bahkan sempat viral di internet karena menangkap sesosok perempuan yang
terlihat dari lubang pintu masuk saat seorang anak laki-laki sedang dibidik
kamera. Teman-temanku bahkan sudah mencari banyak fakta mengenai gerbong ini di
internet dan terus menyebarkan desas-desus bahwa gerbong ini berhantu.
“Karena kepanasan, kondisi juga
mengenaskan, seratus tawanan yang dibawa oleh tiga gerbong tercatat dalam
dokumen di perpustakaan, semua namanya, baik yang selamat dan yang meninggal,”
ucap pemandu berperawakan sedang dan kulit kecoklatan karena terbakar sinar
matahari itu.
Aku bergidik membayangkan berada di
dalam gerbong sempit bersama tiga puluh tujuh orang lain dan melakukan
perjalanan selama enam belas jam, seperti kata pemandu itu selanjutnya.
Ditambah lagi, para pejuang kita tidak diberi makan dan minum, tidak ada udara
yang masuk, dan terpanggang di siang hari karena bahan seng gerbong merupakan
konduktor panas.
Aku memisahkan diri dari rombongan
yang berada di sisi seberang pintu masuk dan berjalan kembali ke bagian depan
gerbong. Mataku menangkap sebuah papan yang ditempel di samping lubang masuk
yang terdapat tulisan dalam huruf balok:
“Salah
satu diantara 3 gerbong maut yg. pernah digunakan oleh mil. Belanda untuk
mengangkut 100 orang tawanan pedjoeang Indonesia dari penjara Bondowoso pindah
ke tempat tahanan Bubutan Surabaya tgl. 23-11-1947 karena diperjalanan pintu
ditutup/kunci mengakibatkan meninggal 46 orang, sakit payah 11 orang, sakit 31
orang, sehat 12 orang.”
Usai membaca tulisan itu, mataku
berkunang-kunang. Kakiku serasa melayang di udara, Aku melihat Nando tertawa bersama teman-teman
segengnya, Bu Yasmin datang
tergopoh-gopoh, dan … sebuah gerbong yang diam, tapi
terasa mencekam. Tenggorokanku tercekat dan napasku mulai terasa pendek-pendek.
***
Mataku
mengerjap, samar-samar kulihat beberapa orang laki-laki berseragam seperti tentara
dengan sesuatu yang berbentuk seperti senapan tergantung di bahunya, sedang
berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti. Karena keterbatasan cahaya, aku
bahkan tidak mengenali warna pakaiannya.
Jantungku berdentum hebat. Di mana ini? Seingatku, aku masih
berada bersama teman-teman, Bu Yasmin, dan seorang pemandu berwajah ramah di
Museum Brawijaya. Aku mencoba mengingat lebih jelas, tapi sebuah bentakan
membuyarkan semuanya.
Orang-orang
berseragam dan membawa senapan itu, membentak-bentak dengan Bahasa yang sama
sekali asing. Keningku terlipat dan alisku bertautan.
Siapa mereka? Tentara?
Mau
tak mau, tubuhku mulai gemetaran mendengar bentakan-bentakan yang mereka
lontarkan. Meskipun aku tidak mengerti hal yang mereka katakan, bukan berarti
aku tidak bisa menangkap nada kemarahan dalam suara mereka.
Ini seperti … sedang menonton film kemerdekaan live di atas panggung. Adegan
ketika para penjajah menyiksa para pejuang.
Bulu kudukku berdiri. Aku
bahkan tak berani mengedarkan pandangan. Dadaku bergemuruh. Ributnya sangat
keras hingga aku takut semua orang mendengarnya, terutama para tentara yang sedang
mengamuk itu. Beberapa kali, terdengar suara pukulan, hentakan, hingga tubuh
yang limbung disertai suara mengaduh dan mengerang. Kondisi yang sangat gelap
benar-benar membuatku fungsi otakku seolah berhenti. Aku tidak bisa
mengobservasi keadaan di sekelilingku dengan lebih jelas dan akurat.
Semua
orang seolah tengah dihukum seperti yang biasa ibu guru lakukan jika kami nakal
atau membuat gaduh kelas saat jam pelajaran. Bedanya, di depan mukaku kini, senapan ditodongkan,
dihantamkan, diikuti kaki yang melayang ke muka. Beruntungnya, aku berada di
barisan tengah sehingga tidak merasakan ciuman sepatu mereka. Mataku mulai terbiasa dengan
keremangan, menyaksikan beberapa orang yang berjongkok di depanku tumbang,
untuk kemudian berusaha berjongkok lagi.
Aku
baru memahami situasi dengan lebih jelas ketika satu per satu, orang-orang yang
tadinya berjongkok dan disiksa, kini dipaksa masuk ke dalam sebuah gerbong yang
terlihat kecil … aku menelan ludah. Gerbong itu terlihat samar memiliki dua
warna satu gelap dan satu lebih terang dengan satu pintu kecil di salah satu
sisinya. Jangan bilang …
Begitu
tersadar,
kakiku melangkah dan berjalan ke arah pintu gerbong ketiga dengan bergetar. Salah seorang tentara,
mendorong tubuhku dengan keras.
Aku hampir terjerembab, tapi berhasil menguasai tubuhku
kembali. Langkah kaki semakin terasa berat. Degup
jantungku membuat seluruh tubuh melemas, tidak ada bagian tubuhku yang tidak
bergetar, jalanku sempoyongan, tapi di sisi lain ada sepercik semangat untuk
melawan yang datang entah dari mana.
Bahwa, aku tidak ingin tunduk dan dikalahkan begitu saja oleh para tentara
berhidung mancung ini. Semacam … semangat perjuangan.
Kakiku
melangkah dengan berat
ke dalam gerbong yang telah penuh. Aku menjadi orang terakhir yang masuk. Tubuh
ringkih yang tidak bertenaga ini dipaksa berdesakan ketika akhirnya pintu
ditutup dengan keras. Keadaan seketika menjadi gelap dan menyesakkan. Aku lebih
memilih keremangan yang tadi dibandingkan kegelapan total saat ini. Hanya suara
embusan napas yang mampir di gendang telingaku. Suara embusan napas yang tidak
normal. Tersengal, bau, dan penuh dengan ketidaknyamanan.
Saat
kurasakan gerbong mulai bergerak, seseorang bergoyang, menabrak dadaku dan
membuatku terbatuk. Aku bahkan lupa bernapas, takut kalau satu embusan napasku
saja bisa membuat gerbong ini menjadi semakin sesak dan pengap. Seolah, satu
embusan napas menjelma satu tubuh manusia yang semakin membuat gerbong terasa
sempit. Entah hanya perasaanku atau semakin lama, dinding gerbong seolah
bergerak menghimpit kami.
Semua
orang terbatuk, saling berusaha berebut oksigen. Pening menyerang. Aku berusaha
sekuat tenaga menjaga tubuh agar tidak merosot ke bawah karena pasti aku akan
terhimpit dan terinjak, lalu mungkin … mati
begitu saja. Tubuhku bergidik membayangkannya. Sekarang, paru-paruku
terasa terbakar.
Meskipun
kupaksa untuk tetap terjaga, mataku berangsur terpejam. Satu suara yang
terdengar sekarat, mampir di telingaku seolah-olah itu adalah tenaga
terakhirnya yang disalurkan untuk berseru dengan bahasa yang lagi-lagi tak
kupahami, tapi membuat perasaanku bergejolak di detik-detik terakhir. Di
telingaku, teriakannya terdengar seperti, “Berjuang hingga titik darah
penghabisan!”.
***
“Dirman … Sudirman … Sudirman …”
Sayup-sayup, aku mendengar sebuah
suara yang taka sing di telinga karena begitu sering memanggil namaku itu.
Mataku terbuka perlahan dan cahaya yang terang langsung menyergap retinaku.
Membuatku memejamkan mata berkali-kali sebelum akhirnya terbiasa.
“Sudirman! Syukurlah!”
Mataku menangkap wajah Bu Yasmin
dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia terlihat benar-benar
lega. Aku bingung.
“Bu Yasmin?” tanyaku lebih seperti
mencoba memastikan. “Apa … aku kenapa?” Mataku menatap wajah teman-teman yang
mengerubungi. Mereka juga memasang wajah lega, bahkan Nando yang jail
sekalipun.
“Kamu pingsan tadi di dekat Gerbong
Maut,” jawab Bu Yasmin lamat-lamat, menekankan setiap kata-katanya.
Dadaku kembali bergemuruh. Ingatanku
terbang ke kejadian yang mengerikan dalam mimpiku. Hanya mimpi? Aku kira, aku benar-benar sudah mati. Sial, bulu
kudukku langsung berdiri. Bahkan, napasku masih
tersengal, takut oksigen
lari
dari paru-paruku. Keadaan di dalam gerbong begitu menakutkan. Gelap dan sesak.
Mungkin desas-desus aneh tentang Gerbong Maut itu memengaruhi otakku sampai seperti ini.
“Uh,
um, saya tadi mimpi berada di Gerbong Maut, Bu.” Aku bisa mendengar suara terkejut
di sekelilingku.
Bu
Yasmin terlihat bingung, tapi kemudian berkata, “Tenang, itu cuma mimpi, Man.”
“Man, jangan-jangan kamu dimasukin hantu! Aku
nggak
lagi ngejek kamu Jenderal Sudirman sang pahlawan pembela kebenaran, tapi jangan
bilangin hantunya kalau aku suka jailin kamu, ya? Plis!” Nando menangkupkan
kedua telapak
tangannya di depan dada.
Beberapa temanku tertawa, beberapa lagi
tidak. Terlihat rona
ketakutan di wajah mereka.
“Hush! Jangan ngomong gitu, Nando!”
Bu Yasmin menengahi.
“Tapi kata—”
“Sudah, kalau kalian tidak menurut,
kita batal ke Hawaii Waterpark!”
Suara Bu Yasmin langsung disambut
suara protes dari teman-teman, termasuk aku. Yang benar saja! Aku bahkan rela
mengorbankan diri diejek di sini hanya untuk menikmati Hawaii Waterpark!
“Jangan, Bu! Saya mohon! Kami pengin
banget ke Hawaii Waterpark! Justru di situ sajian utamanya!” pintaku.
“Oh, jadi kalian nggak benar-benar
mendengarkan penjelasan bapak
pemandu?
Pikiran kalian pasti dipenuhi Hawaii Waterpark! Kalau begitu, tugasnya Ibu
tambahin. Kalian harus
buat cerpen tentang perjalanan ini, terserah cerpennya seperti apa!”
“Yaaahhh …” Suara-suara kekecewaan
yang keluar bersamaan dari mulut kami, menggema di langit-langit museum.
Aku memandang teman-temanku yang langsung lesu.
Nando bahkan langsung pura-pura pingsan di lantai untuk mendramatisir suasana. Mau tidak mau, aku
dibuat
tertawa melihatnya.
Aku
tidak tahu apakah itu hanya sekadar mimpi atau ilham,
yang jelas, aku sudah mendapatkan ide untuk cerpen perjalanan ini: GR 10152!
***
Yogyakarta, 2 Juni 2019
Aaaaaa sukakkkk😇😇 krn aku suka Sejarah jd gak pernah bosen deh kalo baca yg beginian😍😍
ReplyDeleteIg : @tanttim_20
Wah, makasih banyak ya udah baca dan komen :D Suka sejarah? Mantap tuh, aku juga agak suka wkwk walaupun engga hafal tahun tahunnya xD
Deletekeren kak,apa yang di sampaikan nggak bertele-tele, bahasanya gampang banget di pahami,keseluruhan isi baguss, good job kak :)
ReplyDeleteIG : @tnoviani.15
Hehe, makasih banyak komentarnya :D bahasanya agak puitis gitu sih ini >< syukurlah kalo gampang dipahami
Deletekeren kak,apa yang di sampaikan nggak bertele-tele, bahasanya gampang banget di pahami,keseluruhan isi baguss, good job kak :)
ReplyDeleteIG : @tnoviani.15
Uwooooo, ini kereeenn... 😍😍
ReplyDeleteMumpung 17an, nggak nyoba bikin lagi, Ra? X3
Wkwk waduuu ada banyak hal lain yang harus kukerjakan xD
Delete